webnovel

lima belas

Ivan muncul dari balik dapur dengan membawa dua cangkir kopi hitam di gelas-gelas kertas, juga satu kotak tisu. Harry menyambar tisu selembar, dan menyeka wajahnya yang penuh dengan air mata. "Terima kasih, Pendeta."

Ivan duduk kembali di kursi bagiannya. "Apa yang menimpanya?"

Harry bergeming, dari matanya seolah-olah menyiratkan kalau dia menghitung sampai sepuluh sebelum menjawab, "Aku masih memilikinya."

Ivan berlagak dirinya akan siap menerima apapun jawaban yang dilontarkan oleh Harry, tapi semakin diulur-ulur, semakin Ivan juga mulai takut dengan kemungkinan jawabannya. Dengan jawabannya barusan, apakah Bella Stefa masih hidup? Tidak mungkin. Harry telah menghabiskan sekitar enam tahun terakhir di penjara. Bagaimana mungkin di saat yang sama dia menyembunyikan atau bahkan menyekap seorang gadis? Dia pasti sudah gila!

"Di mana dia?" tanya Ivan setengah menggertak.

"Terkubur."

"Di mana?!"

"Hokkaido."

Ivan menarik napas berat, "Begini, Harry, jawaban-jawaban satu kata ini membuat kita pasti semakin lama di sini. Kau awalnya datang ke kantorku pagi ini untuk suatu alasan, yaitu mengakui perbuatanmu. Tapi semakin ke sini, kau semakin terlihat ketakutan sendiri. Kau terlihat tidak sanggup mengumpulkan keberanian, itu sebabnya aku kemari. Ayo katakan saja, apapun itu. Yang terburuk sekalipun."

"Kenapa kau peduli?"

"Agaknya kau bisa menjawabnya sendiri. Seseorang tidak bersalah akan dihukum mati untuk perbuatan yang sudah kau lakukan. Kemungkinan masih ada waktu untuk menyelamatkannya."

"Sejujurnya, aku tidak begitu yakin."

"Apa kau benar-benar pembunuh Bella Stefa?"

"Ini konfidensial, Pendeta?"

"Itu maumu sendiri."

"Iya."

"Kenapa kau tidak langsung mengaku saja? Membuat afidavit atau semacamnya, dan berusaha menolong Furuya Satoru. Itu yang semestinya kau lakukan, Harry. Kau kerap bilang bahwa hidupmu tak lama lagi. Bukankah sangat riskan untuk mengulur-ulur?"

"Konfidensial atau tidak?"

Ivan menghirup napasnya dalam-dalam untuk kesekian kali, kemudian membuat kesalahan tak sengaja dengan menyeruput sedikit kopi itu; Harry ternyata benar.

"Kalau itu maumu, baiklah."

Sebuah senyuman disusul cedutan. Dia memandang sekeliling, hanyut dalam obrolan membuat keduanya lupa kemungkinan sedang dimata-matai. "Aku melakukannya, Pendeta. Aku tidak tahu kenapa."

"Kau menculik gadis itu di lapangan parkir?"

Harry kembali memeras kepalanya, seperti hendak ingin meremuknya sekalian. Sakit kepalanya kembali menghantam bagaikan petir yang tiba-tiba menjalar. Rahangnya mengeras, bibirnya masih terus berusaha menganga untuk melanjutkan cerita. "Aku menculiknya, lalu membawanya pergi ke suatu tempat. Kami meninggalkan Kanto. Aku menawannya selama beberapa hari. Lalu kami bersetubuh. Kami…"

"Kau tidak bersenggama, kau memerkosanya."

"Iya, berulang kali. Kemudian aku menghabisinya, dan menguburnya." Harry tercenung sekejap. "Aku mencekiknya dengan sabuknya, dan sabuk itu sampai sekarang masih melilit lehernya."

"Setelah itu kau menguburnya?"

"Iya." Harry sambil memandangi foto itu, dan Ivan hampir saja melihat senyuman terukir di bibir seseorang yang ada di depannya.

"Di mana kau menguburnya?"

"Di Shibuya, tempatku tumbuh besar. Banyak bukit, cerukan, jalanan yang biasa dilalui truk-truk pengangkut kayu-kayu gelondong. Dia tidak akan pernah ditemukan. Aku sampai merasakan betapa depresinya para penyelidik itu mencarinya dan tak kunjung ditemukan."

Ivan tidak menimpali lama sekali. Sepertinya dia terlalu percaya diri ketika mengatakan kalau dia akan siap dengan kemungkinan jawaban terburuk. Sementara dia terpaksa meresapi kenyataan yang sungguh memuakkan itu. Namun, dia masih punya pemikiran kalau ada kemungkinan Harry berdusta, akan tetapi Ivan tidak terlalu bisa memaksa dirinya untuk mempercayai itu. Sebab keuntungan apa yang didapatnya dengan berdusta dari semua pengakuannya itu? Apalagi dilihat dari kondisinya kalau ajalnya sudah di depan mata.

Lampu-lampu dapur mulai dipadamkan karena sudah mulai sepi, musik rap di radio sudah tidak lagi menggema. Tiga laki-laki kulit hitam bertubuh besar berjalan melintasi bangsal. Mereka mengangguk kecil kepada Ivan dan hanya melirik saja pada Harry. Pintu kembali ditutup dari luar.

Ivan mengambil salinan foto yang sudah mengering itu. Dia membaliknya dan menuliskan sesuatu di kertas itu. "Bagaimana dengan sedikit latar belakang, Harry?"

"Tentu saja. Toh, aku tidak punya pekerjaan lain."

"Apa yang kau lakukan di Kanto?"

"Bekerja untuk sebuah perusahaan yang bernama R.S Kaijo. Sebuah perusahaan konstruksi. Mereka terikat kontrak untuk membangun sebuah gudang di daerah barat Kanto. Aku dipekerjakan sebagai buruh kasar, dan hanya itu yang aku dapatkan. Mereka membayarku kurang dari upah minimum, dibayar secara tunai, tidak ada transkrip gaji. Enam puluh jam satu minggu, satu tarif, tidak ada asuransi, tidak ada keahlian. Percuma memeriksa perusahaan itu, karena tak ada catatan resmi bahwa aku pernah jadi salah satu pekerjanya. Aku menyewa kamar di sebuah motel tua di sebelah barat Kanto, namanya Nishiyama Onsen. Coba saja periksa, kemungkinan motel itu masih ada. Lima ribu yen seminggu. Pekerjaan itu berlangsung selama lima atau sampai enam minggu. Suatu hari aku melihat lampu-lampu, menemukan lapangan parkir di halaman belakang SMA, membeli tiket, dan duduk bersama penonton yang lain. Dan tidak mengenal siapa pun. Mereka menonton pertandingan futbol. Sementara aku, memperhatikan para personil pemandu sorak. Aku menyukai pemandu sorak. Selalu, tidak tahu kenapa. Susah dihilangkan. Bokong-bokong mungil mereka yang lucu, rok-rok mini, celana ketat yang kerap kali tersingkap. Mereka melompat, melambung dan saling melempar bergantian, mengamati itu dengan detail sehingga kau bisa melihat banyak sekali. Mereka kerap terlihat sebagai pemeran sampingan dalam sebuah pentas atau pertandingan futbol, tapi dengan memperhatikan mereka sebagai pentas utama itu sesuatu yang beda. Mereka ingin kau lihat. Itulah saat-saat aku jatuh cinta pada Stefa. Dia ada di sana untukku, memperlihatkan dan memamerkan semua yang dia punya. Aku tahu sejak awal kalau dia adalah orangnya."

"Korban berikutnya."

"Benar, korban berikutnya. Oleh karena itu, di hari yang sama, pada hari Jumat ketika aku menonton pertandingan-pertandingan futbol yang lain, aku tidak pernah duduk di tempat yang sama untuk kedua kalinya, pun tidak pernah memakai baju yang sama. Juga tidak luput topi, aku menggunakan topi yang berbeda. Orang-orang sekarang pintar, mampu dengan sendirinya mengingat penampilan orang lain, termasuk dari hal-hal yang dirasa menurut orang itu sepele. Seolah-olah dengan sendirinya aku merasa ada dorongan. Semakin hari semakin kuat." Dia menyeruput kopinya kemudian bibirnya mengecap, disusul keningnya mengkerut.

"Apa kau melihat Furuya Satoru?"

"Mungkin. Aku lupa. Aku memang datang ke pertandingan futbol itu, tapi aku tidak terlalu memperhatikan pertandingan itu, tidak melihat apa pun selain Stefa. Kemudian Stefa menghilang, bertepatan dengan selesainya musim pertandingan futbol. Aku menjadi putus asa. Stefa mengendarai BMW merah, keren sekali, kemungkinan satu-satunya di kota ini, jadi tidak sulit buatku mencarinya. Aku mendapatinya malam itu, dia memarkir mobilnya di halaman parkir belakang mal. Seperti biasa, dia suka dengan tempat-tempat ramai. Aku menebak mungkin dia akan menonton film. Aku terus menunggu. Ketika keadaan memaksaku sabar, aku bisa. Secara kebetulan, masih ada ruang di sebelah mobil BMW-nya Stefa. Aku turut memakirkannya di sana."

"Kau punya mobil? Apa mobilmu?"

"Sebuah pickup Chevrolet tua, aku mencurinya di Chiba. Aku memundurkan mobil itu ke lapangan parkir tepat di sebelah mobilnya Stefa dan menyejajarkan pintu mobilku dengan pintu mobilnya. Ketika dia berjalan memasuki jebakan itu, aku langsung menyergapnya. Aku memiliki pistol dan segelintir tali, itu sudah cukup. Dan aku tidak menimbulkan suara sedikit pun."

Harry mengutarakan cerita-cerita itu dengan lengkap secara leluasa, seperti sedang membangun sebuah adegan dalam film.

Air matanya sudah lama berhenti dan mengering bersama pelipisnya. "Itu mungkin menjadi akhir pekan yang sangat buruk bagi Stefa. Di sisi lain aku juga merasa kasihan padanya."