webnovel

-22-

Bima dan yang lainnya sedang berjalan menuju kelas, menaiki tangga ketika mereka mendengar suara perempuan yang tak asing. Bima tak mendengar percakapannya dengan jelas, tapi ia mendengar jika perempuan itu sedang menyebut-nyebut namanya. Ketika dirinya berhasil sampai di anak tangga yang mengarah langsung ke tempat duduk dekat tangga, ia bisa melihat tiga perempuan yang sedang duduk di sana. Salah satu perempuan itu menatapnya dengan tatapan terkejut dan Bima menyeringai.

"Oh, ow." Kata Fanny melihat keberadaan Bima sedangkan Ara memalingkan wajahnya sambil berusaha menutupinya.

"Sepertinya ada yang sedang membicarakanku." Kata Bima sambil berdiri di depan Sinta.

Sinta menatapnya tajam, "Memangnya kenapa?"

"Tidak, aku sering mendengar orang lain yang membicarakan diriku dan mereka semua adalah sekelompok wanita yang mengagumi diriku. Aku tak menyangka kau menjadi salah satu dari mereka."

Sinta menatap Bima dengan tatapan jijik, "Aku mengagumimu?" Sinta tertawa dan berkata, "Oh, tentu saja! Aku sangat kagum dengan dirimu yang begitu percaya diri dan suka sekali mengejek orang lain. Terlebih lagi orang lain itu adalah perempuan. Seorang lelaki dewasa seharusnya tidak melakukan hal itu."

"Jadi menurutmu, kelakuanmu yang membicarakan orang lain tanpa sepengetahuannya adalah tindakan yang lebih baik?"

"Tanpa sepengetahuannya? Lalu untuk apa kau berdiri di sini sambil berkata, sepertinya ada yang sedang membicarakanku?" Kata Sinta sambil menirukan suara Bima.

"Aku memang tahu kau sedang membicarakanku, tapi aku tak tahu apa yang sedang kau bicarakan. Apa kau sedang membicarakan persoalan teater dua tahun lalu?" Kata Bima dengan nada yang sangat menyebalkan. Ia mencoba menggoda Sinta dengan kejadian memalukan itu lagi dan lagi.

"Tidak perlu sok tahu."

"Aku tidak sok tahu. Tapi aku memang tahu, melihat ekspresimu yang begitu terkejut ketika melihatku adalah suatu tanda yang sangat jelas jika kau sedang berbicara tentang kejadian teater dua tahun lalu. Itu adalah kejadian yang sangat memalukan bagimu, bukan?"

Sinta yang sebelumnya hanya duduk itu pun berdiri, ia berdiri tepat di hadapan Bima. Teman-teman Sinta maupun Bima hanya menonton di sekitar mereka tanpa berniat memisahkan.

"Tidak! Aku tidak malu! Seharusnya kau yang merasa malu! Kau-" Belum sempat Sinta menyelesaikan perkataannya, Bima maju selangkah yang membuat Sinta mundur satu langkah. Namun, hal itu gagal dilakukan sebab saat ini posisi kakinya terhenti akibat adanya kursi yang berada tepat di belakangnya.

"Kenapa aku harus malu? Bukan aku yang kepergok mencibir orang yang tak dikenal. Bukan juga aku yang menolak mengajak berkenalan padahal sebenarnya ia mau. Untuk seseorang yang memiliki ego setinggi dirimu, kejadian dua tahun lalu pasti menjadi hal yang paling memalukan hingga kau begitu menolak kehadiranku serta membenciku. Bukan begitu, Sinta Danari?" Tanya Bima dengan seringaian khas miliknya.

Posisi tubuh Bima yang sangat dekat membuat Sinta terdiam. Seharusnya ia melawan, seharusnya ia memberontak, tapi itu semua tak bisa Sinta lakukan. Entah mengapa dirinya tak mampu menggerakkan tubuhnya, bahkan saat ini pun napasnya terasa tercekat di tenggorokkannya. Aroma parfum Bima masuk di hidung Sinta tanpa mau lagi keluar. Benar-benar rasanya seperti sedang terbius. Tidak. Lebih tepatnya Bima adalah setan yang membuat tubuh manusia tak bisa bergerak ketika tertidur dan menakutinya dengan suara-suara seram milik mereka.

Kejadian yang terjadi antara Bima dan Sinta membuat mereka berdua menjadi pusat perhatian. Ada beberapa pasang mata yang menyaksikan kejadian itu, walaupun tak banyak. Posisi tangga yang menjadi akses masuk mahasiswa sebelum pergi ke kelas masing-masing itu hari ini cukup ramai dilalui, ditambah dengan seseorang yang menjadi pusat perhatian itu adalah Bima. Seorang lelaki yang dikenal dingin dan angkuh terhadap perempuan, secara ajaib kini berdiri sangat dekat dengan seorang perempuan.

Melihat Sinta tak bergerak, Bima berkata, "Menggoda seseorang tak pernah semenyenangkan ini. Kau, tahu? Seseorang yang tak mau dikalahkan sepertimu harus banyak belajar untuk mengalah, sebab tak bisa setiap saat kau menuntut kemenangan yang bahkan dirimu saja tak pantas untuk mendapatkannya." Kata Bima sambil berjalan meninggalkan Sinta menuju kelasnya.

Setelah Bima berjalan meninggalkan Sinta dan yang lainnya, bel pergantian jam kuliah berbunyi. Itu merupakan tanda jika kelas Bima dan teman-temannya dimulai. Prada, Nuca, dan Ino yang masih berdiri dekat tangga merasa canggung untuk berjalan mengikuti Bima. Pada akhirnya, Prada yang merasa tidak enak dengan Sinta itu pun berkata, "Kita duluan, ya. Mau masuk kelas." Perkataan Prada membuat Sinta menatapnya dan mengangguk.

"Astaga, itu tadi sangat menegangkan." Kata Ara dan diikuti anggukkan kepala Fanya, ia menambahkan, "Dan banyak pula yang menonton." Sinta mengedarkan pandangan matanya. Beberapa orang berdiri di sekitarnya, itu tandanya mereka menonton kejadian itu.

Sinta yang sangat kesal itu pun pergi berlalu dan membuat kedua temannya mengikutinya.

"Iiihh, kesal, kesal, kesal! Kenapa sih, dia harus jadi lelaki yang sangat menyebalkan!" Seru Sinta ketika sudah berhasil menjauh dari tangga.

"Sabar." Kata Ara sambil berjalan di samping Sinta.

"Iya, Sin. Sudah tak perlu lagi dipikirkan." Kata Fanya yang diikuti anggukkan kepala dari Ara.

"Tidak usah dipikirkan? Tidak bisa! Aku harus membalasnya."

"Memangnya kamu mau berbuat apa? Kamu kan tahu Kak Bima itu seperti apa, jika memang ia selalu membuatmu kesal, lebih baik jika kamu menghindari dirinya." Kata Ara.

"Tidak bisa! Selama ini aku sudah terlalu sering menghindarinya, mulai sekarang aku tak akan menghindarinya lagi. Jika memang ia senang mengerjaiku, aku juga akan melakukan hal yang sama. Memangnya dia pikir hanya dia yang bisa menggangguku? Aku juga bisa mengganggunya!"

Ara menggelengkan kepala, "Tidak. Jika kamu membalasnya, kamu akan kesulitan."

"Aku setuju. Kami tahu jika berhadapan dengan Kak Bima merupakan hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Kamu harus mengakuinya, Sin. Kita mungkin akan selalu terpaku jika berbicara dengannya, membayangkan aku berada di posisimu tadi membuatku bergidik ngeri." Kata Fanya dengan bergidik ngeri.

Ara menambahkan, "Iya, benar. Aku tak bisa membayangkan berada di posisi sedekat itu dengan Kak Bima. Apalagi ketika dirinya menyeringai, aura Kak Bima sangat mengintimidasi."

Perkataan kedua temannya itu membuat Sinta membayangkan kejadian beberapa menit lalu yang pada akhirnya membuat wajahnya memerah. Sinta memang tahu jika berhadapan dengan Bima merupakan hal yang sulit untuk dilakukan, namun ia tak bisa terus-terusan diam saja ketika Bima mengintimidasi dirinya seperti itu.

"Aku tak mau dianggap lemah olehnya. Aku akan membuktikan kepadanya jika aku bukanlah perempuan yang bisa dengan mudah ia takhlukkan. Pesonanya itu tak akan bisa membuatku luluh lantak seperti perempuan-perempuan lain. Enak saja menganggapku sama dengan perempuan lain!" Ara dan Fanya hanya terdiam ketika usaha mereka menghentikan Sinta bertindak gila kepada Bima sia-sia.

Setelah itu, Sinta dan yang lainnya memutuskan untuk pulang. Sinta berjalan menuju halte bersama Ara yang berjalan menuju kosnya. Fanya berjalan menuju parkiran motor untuk pulang ke kosnya juga. Sebenarnya Ara juga membawa motor, namun sepeda motornya itu masih dikirim dari rumahnya dan baru akan sampai besok atau lusa. Teman baru Sinta itu, keduanya berasal dari luar kota.

Sinta pulang dengan wajah yang tertekuk hingga sampai di rumahnya. Bunda yang menyadari hal itu pun bertanya dengan heran, namun Sinta hanya diam, ia tak mau menjelaskan. Setelah sampai di kamarnya, Sinta menuju ke kamar mandi untuk menunaikan ibadah sebelum ia melemparkan tubuhnya di kasur. Ia berteriak keras dengan wajah yang tertutupi bantal. Setelah puas berteriak, Sinta meraih ponselnya untuk memberi mengirim pesan kepada kedua sahabatnya melalui pesan grup. Tak ada balasan. Sinta pun memutuskan untuk mengirim pesan personal kepada Ruri. Cukup lama Sinta menunggu balasan dari Ruri, namun tidak kunjung ada. Ponsel Sinta tak berdering yang menandakan tak ada pesan masuk, hingga ia pun bertambah kesal. Pada akhirnya ia memutuskan untuk menghubungi Saka. Ia mengirimi Saka pesan, beberapa menit menunggu tidak ada jawaban. Sinta bosan menunggu, sampai akhirnya ia tertidur pulas di kasurnya.

Adzan Ashar berkumandang, Sinta terbangun dari tidurnya. Ponsel yang tergeletak tak berdaya di sampingnya itu ia abaikan. Sinta menuju kamar mandi untuk mandi, setelahnya ia menunaikan ibadah dan berdoa guna menenangkan hatinya. Biasanya saat Sinta memiliki suatu masalah, tidur adalah jawabannya. Ketika tidur, masalah yang membuatnya kesal itu akan ia lupakan, namun kali ini ia masih merasa kesal. Hingga Sinta pun memutuskan untuk membersihkan dirinya dengan cara mandi dan beribadah.

Setelah selesai melakukan kedua hal itu, Sinta mengecek ponsel miliknya. Terlihat pesan Saka yang membalas pesannya satu jam yang lalu diikuti dengan beberapa panggilan suara yang tak terjawab miliknya. Pesan dari Ruri belum tampak batang hidungnya, lalu saat ia membaca pesan Saka dan hendak membalasnya, terlihat ada panggilan suara yang masuk. Ruri menelepon.

Sinta menjawab telepon Ruri dan segera berteriak, "Huaaa! Aku kesaaal!"

Ruri yang sudah berjaga-jaga menjauhkan ponselnya itu pun bernapas lega. Beberapa jam yang lalu ia mendapat pesan singkat dari Sinta. Sinta mengirim pesan dengan memanggil namanya menggunakan caps lock, hal itu menandakan jika saat ini Sinta sedang kesal. Setelah Ruri pulang kuliah, dirinya segera menelepon sahabatnya yang satu itu.

"Kenapa?"

"Kak Bima membuatku kesal! Dia berbicara denganku sama seperti dua tahun lalu." Keluh Sinta kepada Ruri.

Ruri berpikir sejenak sebelum bertanya, "Kak Bima mendekatimu dan berbicara tepat di depan wajahmu?"

"IYA!"

"Sebentar, aku akan ke rumahmu. Kemudian kita akan menelepon Saka." Ruri berbicara hal itu dengan maksud tersembunyi.

Beberapa menit kemudian, Ruri sampai di rumah Sinta. Ia tertawa ketika melihat wajah kusut milik sahabatnya itu. Mereka pun segera menelepon Saka. Sinta segera bercerita dengan heboh mengenai kejadian antara Bima dan dirinya. Ruri menahan rasa gemas sampai sepanjang Sinta bercerita, dirinya memeluk guling dengan sangat erat hingga Sinta selesai bercerita.

Setelah itu, Saka tertawa. Ia berkata, "Aku bisa membayangkan wajahmu yang sedang kesal." Ruri terdiam mendengar hal itu.

Keesokan harinya, Sinta berangkat menuju kampus seperti biasa. Ia naik bus dan berjalan menuju kelasnya. Di perjalanannya menuju kelas, banyak pasang mata yang memandanginya kemudian berbisik-bisik dengan lawan bicara mereka. Sinta heran akan hal itu, ia bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan penampilannya hari itu. Pertanyaan itu pun terjawab ketika ia sampai di kelas dan bertemu dengan kedua temannya.

"Sinta! Sini!" Seru Fanya.

"Ada apa, sih? Banyak orang yang melihatku dan berbisik-bisik."

"Kejadian kemarin menyebar dengan cepat!" Seru Fanya.

Sinta mengernyitkan dahinya dan mengingat sesuatu. Belum sempat Sinta terkejut, ada seseorang yang duduk di sebelahnya dan bertanya, "Apa benar jika kamu adalah kekasih Kak Bima?" Pertanyaan itu membuat Sinta semakin terkejut. Sejak itu ia tahu jika memang masa perkuliahannya akan menjadi masa-masa yang sulit. Sangat sulit.

Setelah teman sekelasnya bertanya hal itu kepadanya, Sinta memutuskan untuk menemui Bima setelah ia selesai dengan kelasnya hari ini. Ia mengirim pesan kepada Prada melalui media sosialnya dan bertanya tentang keberadaannya. Prada berkata jika saat ini dirinya sedang berada di kantin bersama dengan Bima dan teman-temannya yang lain.

Sinta berjalan cepat dari kelasnya menuju kantin. Ara dan Fanya yang mengetahui niat Sinta untuk menemui Bima di sana pun mencoba dengan keras mencegah Sinta melakukannya.

"Sudahlah, Sin. Jangan kamu lakukan itu. Bisa jadi bukan Kak Bima yang mengatakannya." Kata Ara.

Sebenarnya Sinta berniat melakukan hal itu karena ia menuduh Bima yang menyebarkan gosip jika Sinta adalah kekasihnya.

"Tidak mungkin! Pasti dia yang mengatakan hal itu, ia ingin aku kesal!"

"Bisa jadi hanya orang-orang yang menyimpulkannya sendiri. Kan kamu tahu bagaimana sikap Kak Bima terhadap perempuan. Wajar jika mereka mengira kamu adalah kekasihnya, tak ada satu pun perempuan di kampus ini yang diperlakukan sepertimu." Kata Fanya.

"Halah! Aku yakin dia yang melakukannya."

Usaha Ara dan Fanya untuk menghentikan Sinta bertemu dengan Bima merupakan hal yang sia-sia, sebab saat ini mereka telah sampai di kantin. Suasana ramai di kantin membuat Sinta mengedarkan pandangannya guna mencari keberadaan Bima. Sinta pun berhasil menemukan Bima yang sedang duduk di bangku yang berada di tengah-tengah kantin sambil meminum minumannya.

Sinta berjalan mendekati meja Bima dan berkata, "Heh! Untuk apa kau sebar gosip yang tidak bermutu!" Sinta membentak Bima dan membuat beberapa orang terkejut. Saat ini ia menjadi pusat perhatian di kantin fakultas itu.

Bima mengernyitkan dahinya, melihat Bima tak kunjung menjawab, Sinta berkata, "Aku bertanya kepadamu!"

"Apa?" Tanya Bima dingin.

"Kau tuli, hah?"

Bima berdecak dan melanjutkan kegiatan makannya. Melihat hal itu, Sinta semakin kesal, "Aku tahu jika kau hanya ingin membuatku kesal! Tapi tak perlu menyebar berita yang tidak benar! Memangnya siapa yang mau menjadi kekasihmu!" Mendengar ucapan Sinta, Fanya menutup mukanya, Ara mencoba menenangkan Sinta dengan mencoba mengajaknya pergi, dan Bima tetap melanjutkan kegiatan makannya.

Prada yang terkejut pun bertanya, "Tunggu dulu, sebenarnya ada apa?"

"Kak Bima menyebarkan gosip jika aku adalah kekasihnya!" Kata Sinta kepada Prada.

Bima yang mendengar hal itu pun menghentikan kegiatannya dan menatap Sinta tajam. Ia berkata, "Untuk apa aku menyebarkan hal itu? Siapa yang mengatakan jika aku yang menyebarkannya?"

"Aku tahu kau yang melakukan itu!"

"Jangan hanya berbicara tanpa bukti. Kau datang kemari membentakku lalu menuduhku melakukan hal yang bahkan tak terpikir olehku untuk aku lakukan!"

"Lalu jika bukan kau, siapa yang menyebarkan hal itu?" Kata Sinta sengit.

"Kenapa tak kau tanya saja ke orang yang mengatakan hal itu kepadamu? Asal kau tahu, jika memang aku yang melakukannya, aku akan melakukan hal itu ke orang lain! Bukan orang sepertimu kuakui sebagai kekasihku!"

Sinta membuka mulutnya karena tak terima dengan ucapan Bima, "Orang sepertiku memang tak pantas menjadi kekasihmu! Aku pantas untuk orang yang jauh lebih baik daripada kau! Jauh, jauh lebih baik daripada kau!"

Suasana kantin memanas dengan semakin sengitnya perdebatan yang terjadi di antara Sinta dan Bima.

Bima tertawa mengejek, "Lebih baik? Lebih baik jika dia mati daripada harus menjadikanmu kekasih! Pergilah! Kau sangat membuatku muak!"

Sinta terdiam menatap Bima, ia baru pertama kali ini melihat ekspresi Bima yang terlihat begitu marah. Melihat itu, Sinta mendapatkan ide cemerlang. Ia pun menyeringai ke arah Bima dan berkata, "Oh, apakah aku mengganggumu?"

"Tentu saja! Kehidupanku menjadi semakin kacau ketika kau ada di dekatku!" Sinta semakin tersenyum lebar mendengar perkataan Bima. Ia yakin jika idenya ini adalah ide tercemerlang yang pernah ia pikirkan.

Melihat Sinta justru tersenyum lebar ke arahnya, Bima tahu sesuatu akan terjadi. Dan benar saja, Bima menatap Sinta semakin tajam ketika ia berkata, "Baiklah. Mulai sekarang aku akan terus ada di dekatmu supaya hidupmu semakin kacau. Pertemuan kita dua tahun lalu sangat menggangguku sampai detik ini. Jadi, aku akan membuatmu juga merasakan hal yang aku rasakan. Selamat menikmati sisa hidupmu yang akan selalu terganggu dengan keberadaanku. Dengan senang hati aku akan melakukannya." Sinta berkata demikian sebelum berjalan pergi meninggalkan kantin. Meninggalkan Bima yang mengatupkan bibirnya rapat-rapat.