7 Romantic Night

"Lin …," panggilnya dengan melambaikan tangan, tanpa menoleh.

"Iya … ada apa?" tanya Lin yang sudah menghampirinya.

"Masak ini dong," pintanya menunjukkan kornet kaleng dengan dan juga brokoli.

Lin menerima bahan masakan itu, lalu diam seolah sedang berpikir.

Wat berdiri dan menutup pintu kulkas, lalu ia menghadap pada Lin.

"Ada ide?" tanya Wat menatap Lin.

Tatapan Wat membuat Lin terdiam. Bola mata cokelat nan bening itu, membuat jatungnya seolah berhenti seketika.

"Lin?" panggil Wat, membuat Lin tersentak.

"Oh ... eu … i—iya … a—aku, belum terpikirkan mau masak apa, Wat," jawab Lin, gugup.

Wat tersenyum, kemudian terkekeh dengan menggelengkan kepala, memalingkan pandangannya. Sepertinya ia paham kalau sang istri grogi berada di dekatnya.

"Kita masak bersama, bagaimana?"

Lin membulatkan matanya, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

"M—ma—sak?"

Wat menyeringai, kemudian menarik pelan pergelangan Lin dan membawanya ke depan wastafel.

"Wat?"

"Kamu cuci brokoli, aku akan mengambil telur untuk mencampurkannya dengan kornet ini," ujar Wat, mengusap kepala Lin.

"Ka—mu mau masak apa, Wat?"

"Oh, ini mau di—"

"Ooaaa … oooaaa …."

Wat membesarkan matanya dengan senyum terpaksa.

"Itu, si kembar yang mana yang nangis. Sudah, kamu temani anak-anak saja, aku yang akan masak untuk makan malam kita," ujar Wat.

"Tunggu saja, nanti aku—"

"Prioritaskan anak dulu, baru aku, ya …."

Lin tersenyum, menganggukkan kepalanya. Ia memilih menurut pada Wat dan bergegas menuju ke kamar anaknya.

Wat diam melihat Lin yang baru saja masuk ke dalam kamar. Kemudian ia menghela napas, merasa tidak enak pada Lin.

'Sepertinya Lin masih mencintaiku,' batinnya bergumam. 'Semoga dengan hadirnya si kembar, perhatiannya untukku bisa beralih pada si kembar.'

***

Tok tok tok

Suara ketukan pintu begitu pelan, terdengar dari arah luar.

Lin menoleh, kemudian ia beranjak menuju pintu tersebut. Ia membukanya pelan, melihat Wat ada di baliknya.

"Sudah tidur mereka?" tanya Wat.

"Sudah," jawab Lin.

"Ayo, makan dulu," ajak Wat dengan senyumnya yang selalu membuat Lin terpana.

"Oke."

Lin beranjak keluar dari kamar si kembar dan mengikuti langkah suaminya yang sudah berjalan lebih dulu menuju ke meja makan.

"Wat …? Ada apa ini?" tanya Lin heran, melihat meja makan yang dibuat seindah mungkin oleh Wat, meskipun hanya ada dua menu masakan yang tertata rapi di atas meja makan tersebut.

"This is romantic night," jawab Wat menarik pinggang sang istri hingga tubuh mereka menyatu.

"Wat!" mata Lin membesar melihat Wat bertingkah seperti itu.

"Lusa kita sudah kembali dan aku akan sibuk kuliah," tuturnya kemudian merebahkan kepalanya di bahu Lin.

Tangan Lin ragu untuk menggapainya.

Namun akhirnya ia mengumpulkan keberanian untuk memeluk sang suami.

"Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja. A—ku … tidak akan mengganggu kamu, selama kuliah nanti," ucap Lin.

Wat melepas pelukan Lin. Kini tangannya berada di bahu sang istri, dengan tatapan yang begitu dalam.

"Adanya kamu dan si kembar, akan menjadi penyemangat saat aku kuliah nanti."

Lin tidak sanggup lagi menahannya. Ia ingin melepas seluruh gejolak yang ditahannya selama ini.

Lin menarik tengkuk Wat pelan, kakinya jinjit hingga berhasil bibirnya bertemu dengan bibir Wat.

Ia mengecupnya sesaat, kemudian melepasnya dan menatap mata Wat.

Wat menganggukkan kepalanya, memberikan lampu hijau pada sang istri.

Lin menutup kedua matanya, kembali meraih bibir Wat dan melumat bagian bawahnya, begitu lembut dengan tempo yang teratur.

***

Lin dan Wat kini sudah menginjakkan kakinya, di dataran negara asalnya. Setelah melalui perjalanan panjang yang ekstra melelahkan, karena adanya si kembar yang kerap menangis, membuat Lin maupun Wat ingin segera tiba di rumah dan beristirahat.

Mobil sang ayah –Top-, sudah menunggu di depan bandara, untuk menjemput anak, menantu serta kedua cucunya.

"Cucu opa …," seru Top langsung menyambar Pin yang kini digendong oleh Wat.

"Sama opa dulu ya, nak … papa mau masukkan barang ke mobil dulu," ujar Wat. "Lin, masuk ke mobil, langsung istirahat," perintahnya kini pada sang istri.

Tanpa penolakan, Lin segera masuk ke dalam mobil mertuanya, ia begitu lelah.

Line melihat dari dalam, Wat yang sedang memasukkan tiga koper bawaan mereka ke dalam bagasi mobil, sementara ayah mertuanya masih menggendong Pin di luar, terlihat begitu bahagia bertemu dengan cucunya.

'Nas, nanti malam kita ke rumah nenek dan kakek ya,' batinnya kemudian memberi kecupan di pipi Nas yang sedang tertidur sangat pulas.

***

"Lin!" seru sang mama –Nam-, menghampiri dan kemudian memeluk anaknya yang sudah beberapa tahun tinggal di luar negeri.

"Ma … Lin kangen," tuturnya, sama sekali tidak bohong. "Ma … ini Nas, mau gendong?"

"Cucu nenek? Wah … cantik sekali … mirip mamanya ya …."

Sementara itu, Wat yang sedang mengendong Pin, kini sedang berbicara dengan ayah Lin.

"Yah, maaf ya … kami kembali tidak memberi kabar sebelumnya. Rencananya tidak secepat ini," ujar Wat.

"Tidak masalah … yang penting, sekarang kalian sudah sampai dengan selamat di sini," balas ayah Lin –Khiel.

"Bagaimana kabar keluarga, sehat?" tanya Wat.

"Iya … baik semuanya. Kamu juga, semoga selalu diberikan kesehatan dan rezeki yang melimpah, untuk istri dan juga kedua anak kamu," tutur Khiel. "Iya kan, Pin?"

Khiel mencubit pelan pipi Pin.

"Sudah satu tahun lebih ya, kalian pergi ke New York. Tidak terasa, yang awalnya sempat ragu karena Lin belum juga hamil setelah beberapa bulan menikah, sekarang ia sudah melahirkan dua anak sekaligus, yang lucu seperti mereka," tutur Khiel.

"Iya … doa kami, doa keluarga, semuanya dikabulkan. Ayah yang meminta dan menuntut cucu laki-laki, kini sudah ada Pin. Sementara Lin yang menginginkan anak perempuan, diberikan Nas," tutur Wat, kini memandang Lin.

Khiel tersenyum, memegang bahu menantunya.

"Wat … apakah kamu sudah mencintai Lin? Hmm … karena saat lamaran dari ayah kamu yang pertama kali datang ke rumah itu … ayah tidak melihat raut bahagia dari wajahmu."

Wat tersenyum, tidak berani menatap Khiel.

"Ayah … itu sudah lama sekali. Sekarang sudah ada hasilnya, bukan? Pin dan Nas adalah hasil dari pernikahan aku dengan Lin."

Khiel menepuk bahu Wat dengan memberikan senyuman.

***

Lin masuk ke dalam kamarnya, melihat Wat yang sudah merebahkan tubuhnya dengan telungkup.

Lin terkekeh melihatnya, ia menghampiri dan membangunkan sang suami, memintanya agar tidur dengan benar.

"Wat … tidur yang benar. Nanti badanmu sakit kalau seperti ini."

Tanpa menjawabnya, Wat berbalik badan, kemudian menarik pelan kepala Lin dan menjatuhkannya tepat di atas dadanya.

Wat diam.

'Kenapa tidak terasa apapun?'

"Wat?"

"Ssst! This is romantic night."

"Lagi?"

"Hm."

Lin melipat kedua bibirnya, menurut saja.

Wat meraskannya lagi, namun memang tidak ada getaran apapun saat berada dekat dengan Lin seperti ini.

'Ternyanta aku memang tidak mencintainya.'

avataravatar
Próximo capítulo