webnovel

Tidak Kembali

B.

[Gak ada kabar lagi, Tar?]

"Nataya sayang," panggil Bian menatap hangat ke dalam bola mata legam putri kecilnya. "Nataya bisa ke kamar dulu, enggak? Nanti Papa susulin sekalian kita langsung pergi ke tempat yang Nataya mau, ya?"

Siapa pun sudah bisa tahu kalau itu adalah kalimat pengusiran.

Namun, Nataya yang tak mengetahui maksud sebenarnya mengangguk penuh semangat. "Papa janji gak sibuk hari ini?"

"Janji, Sayang." Ubun-ubun Nataya dihujami kehangatan oleh Bian. Lantas, mengacak rambut Nataya pelan. "Kalau ada apa-apa ke sini lagi, ya, Sayang? Nataya bisa sendiri, kan, ya?"

"Bisa!" sahut Nataya berbinar indah. Tungkai kaki mungil itu spontan melompat ke bawah dengan hebatnya, berlari cepat penuh antusiasme yang tinggi.

"Hati-hati, Nat! Jangan lari-lari!" teriak Bian tatkala sosok yang tingginya mencapai lututnya sudah hilang. "Papa tunggu, ya!"

"Iya!"

Nataya tak pernah gagal untuk mewarnainya. Tinggal satu masalah lagi untuk diselesaikan.

Apalagi kalau bukan wanita penuh masalah ini? Gemas, geram juga. Padahal waktu itu Bian sudah mengingatkan Tarana, bahkan sampai Tarana sendiri muak.

Tut! Tut!

"Apalagi, Bian?! Kamu tidak bisa meninggalkan saya sendiri hanya untuk beberapa saat, ya?! Saya itu lagi ada urusan, Bian! Mengerti sedikit!"

"Tunggu. Tahan semua perkataan kamu dan biarkan saya yang berbicara." Bian melangkah tegap ke pintunya. Menutup daun pintu itu agar Nataya tak bisa lagi menyelonong masuk dan mendengarkan pembicaraan tak mengenakan ini. "Pulang, Tar."

"Enggak! Enak aja telepon-telepon tahu-tahu nyuruh pulang!" sentak Tarana berang. "Mau saya blokir nomor kamu?!"

"Jangan mengancam seperti anak kecil sekarang, Tar. Pulang," perintah Bian mendesak. "Kita bicarakan di rumah. Saya tidak tahu kamu ada di mana, tapi tidak baik kamu mengoceh di depan umum."

"Apa? Maksud kamu, kamu mau kita berantem gitu?"

"Ya, karena kamu duluan yang memulai. Saya dari awal gak berniat cari masalah sama kamu. Justru kamu yang cari masalah sama saya, Tar!"

"Masalah, apa, sih?"

Tarana ini lupa atau sengaja menguji kesabaran Bian, sih? "Pilih. Saya ke sana sekarang atau kamu ke rumah."

"Gak dua-duanya!" Sejauh apa pun Tarana kesal, ia tidak memiliki nyali untuk mematikan sambungan ini sepihak.

Marahnya orang penyabar lebih seram ketimbang galaknya orang pemarah. Tarana tidak bisa memukul keduanya sama rata sekarang. "Saya cuman lagi ketemu temen aja, Bian. Nanti sore, jam tiga saya juga udah pulang. Tolonglah."

"Bagikan lokasi kamu ke saya kalau begitu," ujar Bian dengan mudahnya. "Saya jemput kamu ke sana sekalian ajak Nataya jalan-jalan. Keputusan saya tetap sama. Pilih, Tar."

"Bian, tolonglah," pinta Tarana memelas.

"Pilih," desak Bian menolak memberikan Tarana celah. "Saya gak suka kamu keliaran tanpa kabar begini, ya, Tar."

"Ya, okay." Tarana menaikkan rambutnya pasrah. Hatinya gundah, juga kesal sekali karena tak bisa melawan. "Saya minta maaf, Bian. Tapi kasih saya waktu satu jam dari sekarang? Saya lagi ada urusan."

"Tiga puluh menit, Tar. Termasuk kamu yang sudah sampai di rumah," pungkas Bian tanpa perlu repot-repot bernegosiasi. "Ya, oke. Empat puluh lima menit. Saya tidak mau mengecewakan Nataya karena udah janji."

"Kamu buat janji lagi sama Nataya tanpa kasih tahu saya, Bian?" Intonasi suara Tarana meninggi seperti sedia kala. "Ya wajar kalau saya gak kasih tahu kamu! Orang kamu juga seenaknya!"

"Kita bicarakan di rumah," tukas Bian tak ingin banyak bicara. "Sudah dulu. Lebih cepat lebih baik kalau kamu pulang, Tar."

Tut!

Ponsel pipih itu terpelanting lagi ke kasur sembari menyugar rambut pendeknya naik ke atas.

Ini gila, sungguh. Menikah seharusnya atas dasar komitmen yang mantap dan kuat. Bukan atas dasar perjodohan karena kekhawatiran dari ibunya, ataupun ayah Tarana yang ingin anaknya mendapatkan tanggung jawab sebagai seorang istri.

Keduanya sama sekali belum siap. Baik Tarana, juga Bian. Tidak ada yang siap di sini untuk hubungan mereka berdua. Kecuali kesepakatan untuk menjaga Nataya sebaik mungkin.

Karena, di dalam hati Bian pun, mulai cemas dan penuh kecurigaan.

Heh …. "Kacau."

***

Klak!

Tarana sama sekali enggan menoleh ke ruang tamu yang diisi oleh ayah dan anak itu. Bergerak cepat menuju kamarnya juga kamar yang ditempati oleh Bian. Menolak untuk berpaling sekalipun namanya dipanggil berulang kali.

"Tar! Tarana!"

Kaki Tarana yang semula berjalan cepat malah berganti menjadi berlari. Tidak mau tertangkap, hingga akhirnya ia sampai lebih dulu untuk mengunci rapat kamar mereka agar tak dimasuki orang lain. Sekalipun orang itu adalah tuan rumahnya, Bian Pramoko.

"Tar! Kita harus bicara, Tar! Jangan kabur!"

"Siapa kamu suruh saya buat bicara?" balas Tarana melengking tajam. "Siapa kamu bisa suruh saya buat pulang?! Siapa kamu bisa suruh saya buat jangan temenan?!"

"Saya gak pernah bilang begitu. Jangan nambah-nambahin, Tar." Bian menggeleng pasrah. Dasar Tarana. "Kamu berlebihan. Dan jangan teriak-teriak begitu. Nanti Nataya denger. Gak baik buat dia."

Dan di saat bimbang begini, Tarana justru paling ingin Nataya hilang. Bukan jahat, tapi itu kejujuran dari lubuk hatinya.

Tentu saja ia tidak akan melakukannya, karena ia juga sayang pada Nataya dalam waktu yang singkat.

Tapi untuk dirinya yang seketika menjadi seorang ibu, itu tidaklah mudah. Percayalah. Apalagi niatnya hanya untuk membalas dendam tiba-tiba saja merangkap menjadi penjaga balita?

Emosinya juga turun naik. Jujur. Ia butuh perhatian lebih, tapi dari siapa? Mustahil dari orang yang ia nikahi karena musuh. Tidak mungkin mengharapkannya dari Bian.

"Tar? Udah mulai tenang?" tanya Bian merendahkan nada suaranya. "Bisa kita bicara di dalam?"

"Nataya ada di luar," tutur Tarana berdiam diri. "Mending kamu ke sana daripada kamu ke sini, Bian."

"Ya, tapi saya butuh kamu sekarang. Kalau ada masalah biasakan untuk membicarakannya, Tar, biar semuanya selesai," tutur Bian membujuk. "Ayolah, Tar. Kalau untuk desakkan saya itu, saya minta maaf. Ada hal yang mengganggu saya."

"Apa?"

"Makanya itu kasih saya masuk dulu."

Bian sungguh pandai membujuk. Dibumbui dengan sedikit rasa penasaran di ujungnya, Tarana sudah menyentuh lagi kunci kamar. Sedikit menimang hal apa yang baik untuk diputuskannya.

"Tar," panggil Bian kembali. "Saya sebenernya pengen marah, kalau boleh jujur."

"Gak ada yang suruh kamu jujur, Bian." Tarana menanggapi lagi seperti biasanya.

Tampaknya, hal itu mulai dirasakan juga oleh Bian. Simpul kecil terbentuk di bibir merah tipisnya. "Saya pengen cerita aja, Tar."

Karena itu, Tarana diam membiarkan Bian berceloteh lagi.

"Saya pengen marah," ulang Bian, dengan penambahan sedikit. "Tapi gak jadi karena saya sadar saya keterlaluan, Tar."

Klak!

Kunci kamar itu dibuka oleh si penghuni kedua. "Masuk aja. Kita ngomong."

"PAPAAA!!!" teriak Nataya meringik kencang. "PAPA MANA?!"

"Nanti saya kembali, Tar. Jangan dikunci lagi," ucap Bian mewanti-wanti.

Tapi, Bian tidak kembali lagi.