webnovel

Menjadi Simpanan

"Tar ... Tar! Kenapa gak ada yang jawab telepon dari gue, sih?!" gerutu Rallan cemas.

"Nomor yang Anda hubungi tidak ...."

Shit! Rallan tergesa mengganti kontak yang ia dahulukan menjadi kontak Claire. Daritadi dua kontak bergantian dihubungi oleh Rallan tak ada satu pun yang panggilannya berganti menjadi deringan! Yang mana dua orang itu sama sekali tidak aktif.

Oh, jangan sekarang. Hanya itu yang Rallan pinta! "Claire, atau siapa kek, jawab aja masa gak bisa, sih, ah! Nanti gue yang kena damprat ini, mah!"

"Lan." Pegawai lainnya menyikut bahu Rallan. "Lo dipelototin tuh gara-gara dua temen lo gak dateng-dateng, Lan."

"Ini gue lagi hubungin, ah!" Rallan berdecak kesal, sekaligus cemas karena kelakuan dua temannya ini cukup membuatnya berada dalam masalah besar. "Bilang sabar, kek, apa kek, tolongin gue. Ini si Claire sama Tarana lagi gue cariin!"

"Gak, deh. Lo aja." Karyawan itu menepuk prihatin pundak Rallan. "Pengen bantu, tapi bos aja lagi gak dalam mode baiknya. Emang gak pernah dalam mode baik, sih. Gue duluan, Lan."

Selalu kembali ke kontak suara. Kalau tidak, layar bertuliskan 'tidak terjawab' yang membayangi Rallan sedari tadi.

Tarana juga mengherankan sekali. Biasanya lima belas menit sebelum jam masuk kantor sudah berada di tempatnya. Kini dia ikut menghilang bersama Claire juga.

Dua orang itu benar-benar.

"Rallan Raja."

Suara berat itu membuatnya memalingkan wajahnya yang pucat pasi. "Iya, Pak?"

"Tarana Manuella mana?" tanyanya menjuruskan lirikan tegasnya itu. "Saya butuh dia sekarang. Dia ada di mana?"

"Lagi saya hubungin, Pak. Sebentar, ya."

Menggigil. Itu yang dirasakan sekujur tubuh Rallan. Sudah tahu menjadi orang yang paling diandalkan oleh bosnya, masih saja berulah dengan terlambat.

Pun, seharusnya ia tidak berdiam di sini! Ah, salah situasi. "Kayaknya sebentar lagi Tarana datang, deh Pak."

"Tahu dari mana?"

Krek!

Derit besi tua mengalihkan suasana mencekam yang dibuat oleh dua perempuan dengan keringat yang bercucuran.

Tak mengherankan jika hanya Tarana saja yang begitu. Anehnya, Claire yang nyaris setiap hari menggunakan high heels juga muncul dengan simbahan keringat baik di kening juga di lehernya.

Lusuh. Penampilan tak berbeda jauh dengan Tarana yang memang kesehariannya meliput di lapangan.

Terserahlah, selama Rallan sudah bisa merasakan embusan kesegaran untuknya. Tak lagi merasa sesak karena terdesak oleh pimpinannya. "Nanti tugas-tugasnya saya kasih ke Tarana, Pak. Kalau ... dia udah bersih-bersih."

"Hm. Sebaiknya kamu ingat itu." Pria itu berlalu meninggalkan ruangan tempatnya mencari Tarana tadi.

Meninggalkan Rallan dengan napas lega luar biasanya. Namun, kelegaan itu tak akan berlangsung lama karena dari kaca tembus pandang itu, bosnya lagi-lagi memperhatikan Rallan yang belum bergerak dari tempatnya.

Oh, astaga. Kapan Rallan akan terlepas dari jeratan ini?! Kenapa juga ia yang diawasi bukan Tarana?!

***

"Diomelin, Tar?"

Baik Claire ataupun Rallan tak bisa diam sedari tadi. Cemas-cemas takut kalau Tarana terkena omelan panjang dari orang yang dikenal garang dan mood-nya tak pernah baik itu. "Lo gak apa, Tar?"

"Diomelin, sih, enggak." Tarana menggerus kepalanya bingung. "Kalian berdua kenapa masih di sini? Tempat lo bukan di sini, Lan. Kerja sana."

"Lo sejak masuk banyak anehnya, Tar. Gue ngerti kalau lo selalu mau pendam sendiri. Tapi inget, eksistensi gue di sini gak pernah jadi pajangan doank buat lo." Kembali Rallan menyorot pada Claire. "Setidaknya kalau lo gak mau ngomong sama gue, tetep ngomong sama Claire, Tar. Dan gue tahu, yang gue liat kemarin itu gak salah. Sama sekali gak salah."

"Siapa?" tanya Tarana tak merasa ada kejanggalan sedikit pun. Rautnya dinetralkan walaupun pukulan dadanya teramat kencang. Tak menyangka bahwa topik itu diangkat setelah kejadian kemarin. "Lo liat apa emang?"

"Dia Bian Pramoko, Tar. Dia jemput lo kemarin," kata Rallan sengaja berbisik. Berbicara lirih di telinga Tarana tanda terluka. "Gue gak peduli tentang asmara lo selama lo gak nyeleneh."

"Maksud lo apa, sih?" Tarana mendorong kilat dada Rallan meradang. "Lo mau bilang gue jadi simpenan, Lan? Otak lo taruh di mana?!"

"Hey, udah." Claire menengahi dengan high heels yang dicopotnya ke antara Rallan maupun Tarana. "Kalau lo marah, berarti lo bukan, kan, Tar?"

"Ya bukan, lah!"

"Itu udah lebih dari cukup, Lan." Kini giliran Claire yang mengusir Rallan. "Lo percaya sama temen lo ini, Lan. Dia juga bukan orang yang kekurangan uang sampai jadi simpenan gitu, kok."

Tarana mendengus serius. Rupanya dua temannya ini sama sekali tidak bisa dibodohi. Ia kira akan lebih mudah untuk membodohinya dengan berkata salah lihat.

Mereka berdua percaya diri dengan mata kepala mereka. Percuma saja ia mengelak. Itu hanya menjebak dirinya sendiri. "Satu yang gue tekenin. Dia bukan siapa-siapanya gue."

"Ya, gue harap, sih, begitu, Tar." Dokumen yang dibawa Rallan diserahkan tepat ke depan Tarana. "Beritanya emang gak pernah kedengeran, tapi pernah ada berita kalau dia pernah nikah sebelumnya. Terus, gak lama ada berita dia nikah private. Untuk tipikal orang yang selalu benci perhatian orang lain, lebih baik lo jauhin dia, Tar."

Bagaimana Tarana bisa menjauhi kalau tinggal saja serumah? Bahkan Tarana sendiri terlambat karena telepon-telepon ramai dari Bian itu. "Iya, ngerti. Lo juga bisa balik ke kursi lo, Claire?"

"Bisa, donk." Secepat kilat Claire sudah beranjak-alias kabur ke kursinya lagi, di depan Tarana. "Cuman pindah satu langkah doank."

Begitu pula Tarana yang mengancam Rallan dengan ratapan seriusnya. Meminta Rallan untuk pindah ke ruangannya juga. "Lan? Bisa sekarang pindah?"

"Kopi gue, Claire?" tagih Rallan akan permintaannya. "Kok di tangan lo udah gak ada apa-apa, Claire? Terus lo telatnya dari mana?"

"Tuh." Claire menunjuk tepat ke Tarana yang terkekeh. "Dia yang habisin."

"Tar?"

Gelak Tarana nampak semakin besar. Menyeret kursinya sendiri untuk ia duduki. "Nanti gue ganti, Lan, Claire. Cuman haus aja. Lagi pengen minum."

"Lo yang paling gak bisa minum kopi, Tar. Liat gue!"

"I'm fine," kata Tarana menepis tangan Rallan yang berusaha menjangkaunya. "Gue bukan alergi. Gue cuman gak tahan kafein dalam jumlah banyak. Dan itu-"

"Kopi hitam, Tar!" Rallan memelotot marah.

"Ya, gue masih baik-baik aja, Lan. Sekarang lo jangan macem-macem lagi. Balik ke ruangan lo, dan gue balik kerja." Tangan Rallan sekali lagi diempasnya menjauh. "Lo tahu gue gak suka disentuh-sentuh, Lan. Jadi stop ngelakuin itu."

Sulit sekali rasanya ingin mendekati Tarana. Niat yang sudah terungkap empat tahun lalu bahkan sama sekali belum menyentuh ke hatinya.

Ya sudah. Memang nasib menjadi teman Tarana. "Claire? Kenapa lo kasih Tarana minum?"

"Please, deh. Cuman lo doank yang segitu perhatiannya ke Tarana, Lan." Claire mencebik sebal. Beranjak membawa gelas kosongnya seraya menggandeng Rallan. "Liat? Gue ngomong gitu aja dia gak peduli. Jadi stop bertingkah berlebihan karena ada yang nunggu lo juga."