webnovel

Jujur Ala Tarana

"Ini jauh dari kata sopan, Tar." Bian menguatkan cekalannya kala bogeman mentah hampir melancar mulus di pipinya. Seperti kata Tarana, ia selalu kelewat niat. "Ini namanya keterlaluan. Saya tidak menolerir apa pun yang jauh dari kata bercanda."

"Dan apa kata-kata kamu itu bercanda, Bian?" Setengah mati Tarana menghentakkannya kencang. Percuma, kalau sudah tertangkap, lincah pun tiada arti. "Lepas!"

"Kalau kamu sudah tidak semarah tadi." Pria itu berujar tegas dan mantap. Tak mengalihkannya sedikit pun atas kewaspadaannya. "Redakan dulu. Saya tidak akan melepaskan kamu dan membiarkan kamu berbuat keonaran. Tidak di saat kita berdua harus bekerja."

Tak akan menjadi masalah besar kalau Bian saja yang harus bangun pagi. Kalau saja Tarana tidak bekerja, mungkin Bian rela menanggapi Tarana semalaman.

Sampai pagi, sampai tidak tidur juga Bian oke dengan hal itu. Justru perdebatan mereka yang membuat semuanya jadi makin menarik.

Apa hidup Bian dari dulu sampai sekarang memang sesepi itu, ya? Entahlah. Bian tidak menyadarinya sampai mendapat teman seperti ini.

Dirasa ketenangan berangsur-angsur menyergap Tarana, peringatan di atas kepalanya juga mulai diredakan. Cukup butuh waktu, dan untungnya Bian dapat memanfaatkan hal itu dengan baik. "Sekarang bisa dengarkan saya?"

"Saya punya kuping."

Ujung bibir Bian berkedut, padahal itu tidak diperlukan. Sama sekali tidak etis pada keadaan mereka sekarang ini. "Jangan marah."

"Kamu mengatakan saya-" Atau lebih tepatnya, almarhumah Diana, "sebagai murahan, 'kan? Kamu itu sudah-"

"Sstt! Hei," bisik Bian menurunkan nada suaranya. Setiap kali mendengar intonasi Tarana meninggi satu oktaf, sudah pasti Bian mengalah. Jika tidak, mungkin gendang telinganya bisa pecah, atau juga Tarana akan kehilangan suaranya besok. "Kali ini jangan kabur."

"Tidak akan," sahut Tarana menyalurkan kemurkaannya. "Atau perlu tubuh kamu saya buat biru lalu Nataya yang mengusapkan salepnya ke kamu, Bian."

Tidak akan Bian biarkan hal itu terjadi lagi. Maksudnya, kalau lain kali ada luka di tubuhnya, Tarana yang harus mengobati Bian sendiri, bukan melalui Nataya.

Susah untuk dibujuk, pada akhirnya Tarana mengikuti bujukan Bian untuk duduk lagi di sofa tengah ruangan. Kini, ditemani kopi hangat yang ditawarkan Bian untuk ditenggak Tarana. "Minum? Taruh dulu laptop kamu. Nanti kena siram."

Atau wajah Bian yang bisa Tarana siram. Tarana menyimpan kegeramannya seorang diri setelah merampas kuping gelas pendek itu. Tujuannya, hanyalah agar ia tidak terlalu memaki, untuk sekarang ini.

"Sandaran." Pria itu mendorong lembut pundak Tarana agar menempel di bantalan empuk belakang punggungnya. "Sudah nyaman?"

"Saya tahu apa yang membuat saya nyaman, Bian." Kadar kesinisan Tarana mulai berkurang. Iris awasnya turut menikmati semua perlakuan manis yang mungkin akan membuat semua wanita menjerit.

Kecuali dirinya yang sekeras batu ini. Mungkin hanya ia yang bisa berekspresi datar, menusuk, dan membalas semua yang tidak disukainya. "Sekali lagi kamu mengatakan hal yang tidak bisa saya terima, mungkin semua perabotan rumah ini akan diganti jadi plastik, Bian."

Jelas saja, kegundahan di hati Bian surut pula, layaknya air laut. Perbedaannya adalah Bian bisa berubah dalam waktu singkat.

Dalam sekejap, Bian meyakini kalau seperti Tarana jujur. Akan selalu jujur meskipun Bian tidak tahu kebenarannya. Penyimpan rahasia, bukan membalikkan fakta. Itu yang Bian maksudkan sebagai jujurnya ala Tarana.

"Rumah kita." Pertama-tama, Bian meralat ucapan Tarana yang terdengar ganjil. "Rumah saya sudah menjadi rumah kamu. Rumah kita bersama."

"Sertifikatnya atas nama kamu." Tarana berdecih, merasa basi atas ujaran seperti itu. Di waktu yang tepat, semuanya akan terungkap juga dan Tarana ditendang dari rumah ini. Bayangan itu sudah melintas di dalam kepalanya.

"Perlu saya menggantinya atas nama kamu, Tar?"

Lihat? Belum apa-apa, Bian sudah berani mengucapkan hal itu. Sekalipun tidak ada desiran unik yang dirasakannya saat ini. Tanda bahwa ia begitu gigih meyakinkan Tarana.

Bisa dikatakan, Tarana sebagai sebuah misteri dan teka-teki besar yang sulit dipecahkannya. Semua orang suka tantangan, siapa yang tidak? Dan memecahkan seorang Tarana lebih sukar dari perkiraannya.

"Tck!" Wanita itu berdecak gemas. Gombalan tidak mempan. "Sebenarnya apa yang mau kamu katakan? Ini sudah jam satu. Saya harus bangun jam enam pagi."

"Perkataan saya tadi." Rongga-rongga dadanya dipenuhi tarikan napas dingin. Melepasnya bersama senyuman di pinggir yang tampak begitu merasa bersalah. "Itu pertanyaan, bukan pernyataan. Kamu salah tanggap."

"Yang jelas." Lebih lanjut, Tarana menelisik tanpa perlu susah payah menggali. "Apa?"

Bibir merah itu dibasahinya dengan jilatan singkat. "Saya tidak merasa yang saya katakan adalah suatu hal murahan, Tar."

"Karena kamu terlibat di dalamnya!" Begitulah Tarana menyimpulkan.

"Enggak, Tar. Maksud saya ...." Ada jeda yang jelas. Bukan karena tak bisa menjelaskan, tapi menunggu kata-kata tepat untuk menyusunnya. "Setiap orang punya masalah di hidupnya masing-masing. Kamu, juga saya."

"Yang saya katakan itu belum semuanya, Tar," sambung Bian menggenggam sebelah tangan Tarana yang bebas. "Seperti kamu yang menyimpan rahasia, saya juga. Kita sama, Tar. Saya gak seburuk yang kamu pikir. Tolong pertimbangkan itu."

Tampaknya, penerimaan di dalam hati wanita di depannya ini tak sesusah di pikirannya. Entah akibat mengantuk, atau akibat kopi pahit yang diseruputnya, Bian tidak tahu. "Tar, jangan diminum lagi. Saya salah membuatkan minuman untuk kamu. Kamu seharusnya minum susu hangat, bukan itu."

Namun, Tarana lagi-lagi di luar pikirannya. Setelah Bian mengatakannya, bau biji kopi yang menggoda itu hilang ditelan kerongkongannya.

Dicerna jam satu pagi, dan mungkin tak akan bisa membuatnya tidur semalaman. "Tar? Kenapa dihabisin?"

"Saya suka, kok." Alis kiri Tarana bereaksi singkat. "Kenapa?"

Jadi, topik apa yang sekarang mereka bahas?

Pembicaraan malam yang dalam, atau mengenai cairan yang seharusnya masuk ke tubuh Tarana?

Kenapa Tarana malah menanggapi hal yang tidak penting?

Ketimbang diam, Bian lebih suka Tarana marah atau berceloteh. Karena diamnya Tarana, Bian jarang bisa menelisik maksud lebih lanjut dari inginnya Tarana. Sementara mulutnya sudah mencerminkan kemarahan dan kejujurannya.

Maniknya hampa. Seringkali Bian menangkap mimik demikian, tapi tak pernah bertanya.

"Tar, kamu gak ada tanggepan dari ucapan saya?"

"Bukannya justru ada banyak hal yang harus kamu tanggapi dari tingkah saya tadi siang?" tanya Tarana tak acuh. "Mungkin kamu seharusnya mikirin itu aja dibanding bahas hal ini, Bian. Saya gak nyaman."

Tidak. Ada yang tidak benar. "Kalau begitu kenapa kamu marah sampai ke akar-akar kalau akhirnya kamu bilangnya gak nyaman?"

Karena Tarana ingin tahu tentang pendapatnya mengenai Diana.

Syukurlah, itu bukan hal yang buruk.

Saking nyamannya perasaan ini, Tarana sangat ingin menangis.

Akhirnya, ada yang menganggap seorang Diana, bukan sampah, melainkan seorang manusia. "Enggak apa-apa. Kamu duluan ke kamar. Saya mau beresin beberapa hal dulu."