webnovel

Lagi

Nasi goreng lagi.

Ini Tarana sengaja, atau memang yang Tarana bisa hanya masakan ini saja? Nyaris tepat dua minggu, yang selalu terhidangkan untuk waktu pagi dan malam hanya makanan kecoklatan yang dihias selada di sisi atasnya.

Bukannya Bian tidak bersyukur. Bukannya Bian tidak suka dengan rasanya.

Tapi bukankah dua minggu berturut-turut untuk hidangan yang sama adalah keterlaluan?

Namun, memprotes sama saja dengan menggali kuburannya sendiri. Bian tak ingin mengacaukan pagi, juga mengacaukan di mana senyum melengking Tarana berada.

Ah, dia sengaja rupanya. "Gak sarapan, Tar?"

"Oh, saya biasanya bawa bekal buat sarapan." Tarana menunjuk kontak makan yang disiapkannya sejak pagi buta dengan sendok kecil yang digunakannya untuk menyuapkan makanan ke Nataya. "Kenapa? Mau juga saya buatin?"

"Nasi goreng lagi?" dengus Bian lelah. Tak urung, menyantap piringan bulat yang tersedia di depannya. Tidak mau mencari mati. "Kenapa gak sekalian telor aja yang kamu buat? Itu lebih bervariasi, 'kan?"

Tiada jawaban lagi yang ingin disampaikan Tarana pada Bian. Terlalu sibuk mengurus Nataya, menemaninya yang berceloteh lebih santai dari hari-hari sebelumnya. Bercerita mengenai teman-temannya, bercerita mengenai sekolahnya, yang tidak pernah dia ceritakan pada ayahnya sendiri.

Bukan kecemburuan, tapi merupakan kekaguman bahwa wanita cerewet ini yang memancing Nataya untuk berbicara banyak. Menjadikan bocah ini tidak terlalu pendiam lagi.

Dan menjadikan Bian sebagai penonton akan keakraban anaknya dan ibu barunya.

Cukup menyedihkan, tapi Bian tidak punya kemampuan sejenis. Bagaimana lagi? "Naik motor lagi?"

"Saya ke mana-mana juga naik motor." Tarana mengerling jengah. Mengusap ujung-ujung bibir Nataya yang belepotan. "Kecuali kamu mau tukar kendaraan."

"Di garasi ada satu mobil lagi, Tar. Ngapain harus pake mobil saya?" Bahkan kini, mulutnya tak lagi bisa dipaksa untuk meninggi. Hambar menguasai lidahnya. Mati rasa. "Gak sekalian saya anterin aja, Tar?"

"Pekerjaan saya gak melulu duduk di kantor kayak kamu," cetus Tarana tanpa terfokus pada gelagat menentang Bian. "Lebih aman saya naik motor aja dibanding sama kamu."

Percuma.

Kata-kata itu selalu terlintas setiap kali berdebat dengan seorang perempuan. Digilir berulang kali melalui mamanya, melalui mantan istrinya, dan sekarang beralih ke perempuan ceria dan energik itu.

Terkadang Bian ingin menunggu Tarana sampai kehabisan energi. Tapi kapan? Energinya selalu tercas penuh, tak pernah berkurang untuk berisik dan mengganggu Bian kapan pun yang ia mau.

Catat, kapan pun. terutama malam hari di mana mental dan kelelahan Bian bertambah. Bian sama sekali tidak bisa habis pikir.

"Gak dihabisin itu makanannya?"

Tersadar. Dua sendok penuh dimasukkan ke mulut lebarnya. Dicerna tanpa ingin dikomando Tarana atau terlihat aneh di matanya.

Bian bisa celaka. Itu saja yang ia tahu.

"Mau ke Papa." Nataya merentangkan tangannya menggapai-gapai Bian yang jauh dari jangkauannya. "Mau sama Papa."

"Nanti, Nataya," bujuk Tarana lembut. Seratus delapan puluh derajat jadi malaikat yang baik hati alih-alih iblis pencabut nyawa. "Papa habis ini harus kerja. Lagi sarapan, tuh. Kalau nanti Papa keselek gimana?"

"Papa gak punya waktu sama Nataya, ya?"

Tak seperti anak lainnya yang ingin egois, menjerit, dan hal frustrasi lainnya, Nataya berbanding terbalik. Seolah, sudah dewasa sebelum umurnya tiba. "Nataya mau sama Nenek aja."

Tarana spontan menoleh cemas pada Bian. Mungkin menjerit egois malah terdengar sebagai pilihan yang lebih menarik kalau begini. "Bian."

Air muka Bian tak terlalu berubah drastis. Suasana yang tadinya baik-baik saja dapat Tarana lihat dalam gurat redup Bian. Kunyahannya melambat ..., sampai tak lagi bergerak semestinya.

Sekian menit berlalu, Bian meninggalkan makanan yang tersisa beberapa butir nasi. Belum sempat dihabiskannya karena sudah berlalu pergi meninggalkan Tarana dan Nataya dalam kebisuan pekatnya.

Tunggu.

Apa Bian selalu seperti ini?

Menyerah tanpa arti?

Siapa pun akan membenci orang tanpa usaha sepertinya! "Ataya-"

"Tante, ayo berangkat." Nataya menarik lengan kemeja panjang Tarana. "Nanti keburu telat."

"Ataya Sayang ...." Tarana bersimpuh merendah, sejajar dengan posisi Nataya yang menunduk dengan mata yang berkaca-kaca. "Tante peluk mau?"

Dari mana anak sekecil ini belajar berbohong?

Matanya memerah, sudah tumpah malah ditadahi tangannya yang menggosok di kedua sisinya. "Enggak, Tante. Nanti Ataya telat sekolah."

"Ataya ...," bujuk Tarana menepikan air terjun di pipi mungilnya. Kasihan. Pagi-pagi matanya sudah sembab. "Ataya gak usah sekolah dulu hari ini mau? Tante cuti, deh, dari kantor Tante. Biar Tante temenin Ataya."

"Tante juga sibuk," balas Nataya lebih menyedihkan lagi. Mengusak-usak air mata yang berjatuhan lebih deras. Disertai isakan mungil yang terdengar tegar. "Papa aja gak gitu sama Ataya. Kenapa Tante begitu sama Ataya?"

"Karena, kan, Tante sayang sama Ataya," jawab Tarana lembut.

"Papa enggak, ya?"

Bermunculan bayangan Tarana di dalam manik mengkilatnya Nataya. Mengingatkan bahwa keduanya memang satu darah, karena sangat mirip sekali. Sklera merah-merah Nataya mengatakan semuanya.

Ia ingin bersama ayahnya. Tapi ayahnya tidak pernah meluangkan waktu.

Dasar workaholic. "Papa sayang sama Ataya. Sayang banget. Cuman Papa kaku orangnya. Dia kayaknya lebih seneng kalau Ataya yang ngomong sendiri, deh."

"Takut ganggu," jawab Ataya kecil. "Nenek bilang sama Ataya dulu. Tante juga. Jadi Ataya ganggu?"

Duh. Salah tingkah Tarana menjawab pertanyaan-pertanyaan Nataya. Berhubung sifat Bian menurun pada Nataya, Tarana jadi berpikir. Apa Bian selalu overthinking seperti Nataya, ya?

Mungkin. Mungkin saja.

"Ataya tunggu jawaban Tante, ya?"

Tangisan Nataya berubah jadi tatapan bingung. Jelas dia menunggu jawaban Tarana. Untuk apa ia menanyakan itu?

Entahlah. Tarana hanya menyukai anggukan kecil yang dihantarkan Nataya. Sesederhana itu. Dan seharusnya, Bian jadi orang yang lebih sederhana darinya. "Tante pernah tanya ke Papa momen kebahagiaan Papa itu apa. Tahu gak jawaban Papa apa?"

Hidung mungil Nataya disentuhnya pelan. "Kelahiran Ataya. Kelahiran kamu, anak Papa. Tante bisa bayangin loh, mungkin aja Papa nangis waktu Ataya lahir."

"Tapi Papa enggak pernah nangis."

Tarana menyungging semakin cerah. Menoel pipi Nataya sampai terguncang. "Ataya pengecualian buat Papa. Jadi jangan pernah anggap kalau Ataya mengganggu, ya? Papa akan selalu punya waktu buat Ataya. Hanya aja, gak sekarang."

"Kapan?" Mata berbinar Nataya berbinar lembut. Berani Tarana jamin, silaunya tidak mengalahkan pancaran di luar sana.

Sedikit menimbang, Tarana mengusak lembut pucuk kepala Nataya. "Nanti Tante cari waktu buat kamu ketemu sama Papa. Nataya gak bakal tunggu lama, kok. Pokoknya percaya aja sama Tante, ya?"

Sedikit bingung, tak cukup memahami semuanya, Nataya hanya mengangguk mengiyakan saja. Yang ia tahu, Tarana sudah menorehkan janjinya cukup dalam.

Dan Tarana mana mungkin melukai anak itu hanya untuk menenangkannya saja? Tarana pasti melakukannya.

"Nat, Tar, ayo." Bian kembali menjinjing tas ransel kecil Nataya dalam genggamannya. "Motor, kan, kamu?"

Tarana menggeleng mantap. "Saya ikut kamu."