webnovel

Gagal Total

Suka. Bian sangat menyukai jari-jari lembut yang menggerus permukaan rambut-rambut tebalnya. Tarana berhasil menyeruak di banyaknya kumpulan surai yang bergerumul, layaknya isi kepalanya yang rumit dan ruwet.

Mengulurkan tangannya di kegelapan untuk mengeluarkan Bian dari kerunyaman. Itu yang dirasakan Bian tatkala Tarana tak berhenti membuatnya pusing. Pusing dalam artian ... bingung mendefinisikan ini.

Lambat laun kehangatan turut juga disalurkan dari tangan ke tangan Tarana. Terkejut, hendak menariknya mundur, tapi lebih dulu Bian menahannya.

Mengeluarkan mata tajam itu untuk bersitatap lebih lama lagi. "Tar."

"Hm?" Tatapan Bian tak pernah membuatnya gugup, atau takut dinilai. Selalu berisikan kelembutan, ketegasan, maupun penenangan. Tarana mati-matian membuat dirinya tak terbuai.

Apalagi saat bibir merah itu menempel pada punggung tangannya. Merinding. Aneh. Sensasi terlalu aneh yang tak dapat ditanggulnya. "Bian ... saya gak pernah kasih izin buat cium-cium, ya?"

"Tapi pipi kamu merah," balas Bian menahan terciptanya senyum lebar itu. "Kamu suka semua perlakuan saya, tapi kamu selalu menolak. Kenapa?"

"Kamu juga sering overthinking." Tak mau kalah, keduanya saling membeberkan keburukan masing-masing. "Kenapa?"

Rekahan senyum Bian ditunjuk di sudutnya. "Setelah kamu memiliki keberanian yang cukup untuk mencium saya, saya akan memberitahu kamu."

"Tapi terima kasih sebelumnya." Ujung-ujung jari jenjang Tarana dikecupnya bergantian. Menghantarkan beribu-ribu kupu-kupu bersarang di perut Tarana. "Selalu kamu yang berhasil menenangkan hati saya. Saya berharap kamu melakukannya juga untuk kedepannya."

***

"Bi, besok ajak Tarana pulang ke rumah, ya? Sekalian bawa Nataya. Mama kangen sama Nataya, nih," keluh Kyla misuh-misuh. "Rumah sepi banget. Papa juga sama kayak kamu. Diem banget. Kalau gak diajak ngomong kekunci itu mulutnya."

Di balik ponsel itu, terdengar kekehan menyejukkan. Cukup menyembuhkan kepenatan yang dialami Bian sepanjang mengerjakan pekerjaannya tak leluasa. "Tumben, Ma? Ada acara apa?"

"Mama cuman mau lihat keadaan Nataya aja. Nataya diurus baik enggak, Nataya makan lahap atau enggak, Nataya-"

"Mama," cetus Bian memotong. "Sorry Bian motong. Tapi Bian lihat sendiri perlakuan Tarana ke Nataya itu gimana, Mama. Justru yang harusnya Mama khawatirin itu aku, bukan Nataya lagi. Dia malah lebih sayang sama Nataya daripada aku."

"Ngarang, ah," elak Kyla ketus. "Orang dia sama kamu keliatan akrab gitu. Justru Mama tuh takutnya Nataya kenapa-napa semenjak tinggal sama kalian aja. Tarana belum pernah punya anak, Nataya juga bukan anak kandung dia."

"Ma," tegur Bian.

"Lagiann ...." Kyla berdeham, meninggalkan tanda tanya besar di benak Bian. "Besok ulang tahun Tarana. Mama baru dikasih tahu sama Cantika. Jadi, rayain di sini aja. Sekalian nanti sama orang tuanya Tarana, rame-rame begini."

Rasanya, itu bukan ide yang baik. Mengingat terakhir kali fitting gaun pengantin, reaksi Tarana kurang mendukung. "Gak, deh, Ma. Besok Tarana rayain di rumah aja. Kalau mau rayain, nanti Mama Papa ke sini aja."

"Kamu gak romantis banget jadi suami, Bian."

Salah lagi. Terkini, nosepad kacamata itu membuat hidungnya sakit sebab terlalu banyak bergerak. "Mama."

"Udah, nurutin Mama aja, Bian," bujuk Kyla memohon. "Udah berapa hari kamu gak jengukin Mama sama Papa, loh. Gak kangen apa?"

Bian mendengus lelah. Rupanya tumpukan pekerjaan ini bukan apa-apa ketimbang bujukan penuh maut dari mamanya. "Nanti Bian tanya ke Tarana dulu."

"Namanya surprise ah, Bian!"

Untung saja speaker telepon itu tidak berada di telinganya. Sudah tahu jelas tabiat dari mamanya yang suka mendadak menaikkan intonasinya. "Aku tahu maksud sebenernya dari Mama. Jangan pakai ulang tahun Tarana sebagai alasan."

Kyla ikut mendengus serius. Situasi menjadi semakin intens karena terus mendengar bantahan dari Bian. "Kamu ke sini atau kami yang ke sana. Mama cuman kasih pilihan itu karena Mama udah ngabarin Cantika. Gak bisa dibatalin."

"Mama kok jadi ambil keputusan sepihak gini, sih?" Pena di selipan tangan Bian tergelincir mulus. "Mama jangan jadi berlebihan begini, deh."

"Berlebihan gimana, Bian? Empat tahun Mama Papa urus Nataya sementara kamu masih gak bisa lepas dari mantan istri kamu!"

Dua orang pembicara berhenti di penghujung percakapan. Perbincangan yang sudah mati. Kalau dilanjutkan, tidak akan ada yang mengalah. Semua akan berakhir dengan keretakan seperti dahulu.

"Bi, Mama minta maaf-"

"Enggak," sela Bian tersenyum pahit. "Mama bener. Kebetulan kemarin Nataya ada ngomong mau ketemu Mama juga. Tapi Bian cuman minta tolong ke Mama sama Tante Cantika. Rayainnya jangan berlebihan."

"Iya, Bi."

"Bian masih ada kerjaan, Ma."

"Bi ...." Kyla terdengar sangat memelas. "Mama minta maaf."

Lalu ujaran maaf itu harus diterima Bian walaupun hatinya tengah gerah sekarang? "Duluan, Ma."

Entah ini sopan atau tidak, tapi Bian duluan yang mematikan sambungan teleponnya.

Ketularan sifat tidak baik dari Tarana. Ia yang menceramahi Tarana, ia juga yang meniru tingkah laku buruknya.

Akan tetapi, ternyata berlagak seperti wanita itu lebih sehat untuknya. Ia tidak harus mendengarkan apa yang tidak ingin ia dengar, tak harus menanggapi dan pura-pura baik-baik saja.

Dasar, Tarana. Bukan pengaruh baik yang menular, tapi pengaruh buruk. "Gladys, bisa masuk ke kantor saya sekarang?"

"Bisa, Pak."

Interkom yang dimatikan berarti kesigapan Gladys berada di depan pintunya. Ketukan dua kali disahuti dehaman berat. Gladys masuk dalam postur sopan nan hormatnya, membawa note dan buku jurnalnya ke sofa di ujung. "Iya, Bapak?"

"Jadwal setelah jam enam besok tolong di reschedule aja, ya. Saya yakin yang penting semua udah kamu atur ke jam biasanya." Bian tak menoleh sesenti pun dari berkas yang dibacanya matang-matang. "Tolong beliin kue, kado, atau apalah yang disukain sama cewek."

"Buat ... istri bapak?" Gladys mendongak lambat. Nyaris tak mampu bersitatap dengan Bian.

"Iya, kamu keberatan?" Pandangan gelap itu mengarah lurus ke depan. Membuat Gladys tak dapat berkutik. "Pas jam kerja aja. Selama kamu pergi, semua kerjaan nanti dialihkan ke saya aja. Jadi pas kamu selesai, saya juga selesai. Dibanding kamu yang kerjain kerjaan saya?"

"Iya, saya paham kalau itu, Pak." Perempuan itu mengangguk tak yakin. "Kalau buat istri Bapak, kayaknya Bapak aja, deh, yang beli. Kalau saya yang beli nanti istri Bapak tersinggung."

"Punya alternatif lain?" tanya Bian datar. "Kayaknya enggak ada, Dys?"

"Kalau ... pergi sama saya aja gimana? Saya kasih pilihan, Bapak yang pilih sendiri gitu. Biar bukan saya yang pilihin."

Hati ciut Gladys sudah siap-siap terkena sambaran penolakan yang menyakitkan. Bukan sekali ini saja, tapi pernah berkali-kali Gladys mendapatkannya terang-terangan. Pernyataan cinta Gladys juga ditolak. Beberapa tahun silam.

"Ya udah," jawab Bian ringan. Layar ponsel transparannya ditekan-tekannya mudah. "Saya sekalian sore mau jemput Nataya sama istri saya. Kalau kamu keberatan semobil, kayaknya kita harus ke rencana awal."

"Saya gak keberatan, Pak!" sahut Gladys mantap.

Rencana Bian: gagal total.