webnovel

Etika, Bukan Cemburu

Penghujung tangga ini membuat Tarana sempat menahan napasnya beberapa detik. Kerikil berguling kala ujung sepatunya menendang bebatuan kecil itu menjauh. Masih tak menyadari orang yang dinantinya itu datang.

Tunggu. Apa Bian yang menyuruh Nataya menunggu di sini?

Baru Tarana membuka sandi ponselnya, yang lain sudah menuruni tangga penasaran akan anak kecil yang duduk di tepian taman. Mengerjap polos pada ujung sepatunya yang kotor terkena debu-debu aspal. "Yah ... hitam ...."

Lagi, yang membuat mata Tarana tak berhenti terbelalak adalah kehadiran tamu tidak diundang. Masih untung kalau orang lain, tapi ini Claire! Oh, astaga. Kesialan apa ini yang mendatanginya?!

"Adek?" Claire menyapa lembut. Sejumput rambut diselipkannya ke belakang kala berterbangan tersapu angin acak. "Cari siapa?"

"Tante." Nataya memiringkan kepalanya sejenak, memilih untuk mundur sampai terhimpit di depan pepohonan. "Tante mana?"

"Tante siapa, Sayang?" tanya Claire lebih jelas lagi. Akibat posisi membungkuknya tidak stabil, berjongkoklah yang jadi pilihan terakhirnya. "Tahu namanya?"

Seakan lupa bahwa sepatunya kotor, Nataya mematuk sepatunya lagi ke tanah. Kerutan di dahinya tampak samar, meski faktanya Nataya memutar memorinya kencang. "Tante ... enggak tahu."

Fuh!

Embusan kelegaannya bisa dilepaskan. Baiklah, sudahi semua drama ini. Sebelum Nataya mengungkap semuanya, lebih baik Tarana yang turun tangan dahulu.

"Itu!" Nataya memancing semua perhatian saat seruan nyaring itu terdengar. Menampakkan kecerahannya bak menemukan ekstra permen. "Itu Tante!"

Atau ... tidak.

Antara ingin tersenyum kikuk, menampik tuduhan yang diarahkan Nataya padanya, atau malah melebarkan tangannya untuk memberikan fakta bahwa ia memang adalah 'Tante' dari Nataya.

Padahal, siapa pun juga tahu Tarana paling malas berhubungan dengan keberisikan. Sementara, semenggemaskan apa pun seorang anak kecil, celotehannya harus selalu ditanggapi setiap waktu, setiap saat.

"Haha ...." Tawa canggungnya terlepas tak terkendali. Tahu tak ada gunanya berpura-pura lagi, aktivitas yang biasa ia lakukan setiap bertemu Nataya terlaksana lancar. "Nataya kenapa ke sini?"

"Pap-"

"Oke!" potong Tarana sigap. "Oke, oke. Tante ngerti, tapi Nataya harus kerja sama dulu, ya, sama Tante? Bisa?"

"Gimana?"

"Caranya, nanti setiap pertanyaan yang ditanyain ke kamu, biar Tante yang jawab, ya, Sayang?" Cengiran kelewat manisnya mampu menutupi kegugupannya. Makin ramai saja orang yang turun. "Jangan dijawab. Terus, pegang tangan Tante. Jangan dilepas. Janji?"

Nataya menyanggupinya. Mengamit tangan Tarana, selagi tangan yang lainnya terisi dua tas berbeda jenis. Kentara sekali kalau ransel pink ini terlalu menyerap banyak perhatian. "Nataya tahu di mana ... mobilnya?"

"Tahu, Tante," jawabnya polos.

"Oke. Bawa Tante ke sana."

Baru begini saja, Tarana nyaris kewalahan. Bagaimana saat satu kantor ini tahu kalau anak kecil yang digenggamnya ini adalah anak dari Bian Pramoko? Gempar. Sudah pasti gempar. Tarana tak dapat membayangkan hal itu sampai terjadi nantinya.

"Tar-"

"Enggak sekarang, Claire." Gesture menggelengnya memotong semua pertanyaan yang terlintas pasti di kepala Claire. "Kalau gue inget gue jelasin nanti. Tapi please jangan nodong gue."

Tak ada lagi percakapan sampai Tarana berhenti di depan gedung perkantoran tempatnya bekerja. Melongo ke kiri dan kanan, tak ada tanda-tanda bahwa mobil hitam itu hinggap bagai lalat atau hama.

Ini bertajuk penipuan, kah?

"Itu! Itu!" Antusiasme Nataya meningkat pesat kala menemukan sesosok pria tak asing melajukan mobilnya ke pelataran padat jalan raya.

Ah, pintar juga. Pintar sekali dia bersembunyi di tempat lain, lalu datang saat Tarana hampir saja dibuat kebingungan olehnya? Hampir Tarana mencibir mentah-mentah kalau tak mengingat Bian telah sampai di depannya.

Yang mana, Tarana tak punya waktu lebih untuk misuh-misuh. Ia makin tidak mau tertangkap di depan umum setelah apa yang dilaluinya. Mengerikan. "Hati-hati masuknya, Ataya. Ini, tasnya ambil du ... lu."

Rasa bingung Tarana belum habis rupanya. "Itu siapa, Bian?"

"Jalanan macet, Tar. Masuk dulu."

Tapi masalahnya, yang seharusnya duduk di depan itu Tarana, 'kan? Bukan perempuan asing yang entah dari mana bisa duduk di sebelah Bian?

Itu etika, namanya. Bukan cemburu. "Dia tahu saya siapa?"

"Masuk," ulang Bian lebih tegas. Klakson-klakson berbunyi memekak telinganya hingga ia berjengit. "Kita bahas di mobil."

Situasinya juga sama sekali tidak kondusif. Mau di jalanan, di mobil, tak ada yang berubah. Saat Tarana menginjakkan kakinya di mobil, Tarana sudah tidak mau membahasnya lebih lanjut.

Bian berdeham sebelum memulai sesi berat percakapannya. "Dia sekretaris saya, namanya Gladys."

"Kenapa kamu tinggalin Nataya sendirian di luar?" tanya Tarana, berlagak seolah tak mendengar sesi perkenalan tadi. "Kalau Nataya kenapa-napa gimana? Kalau saya keluar kantornya telat gimana? Kamu mikir gak, sih?"

Yang sudah membeku, jadi tak bernyawa akannya. Dan juga, orang yang di depan itu sama sekali tak bersuara. Paling tidak, Tarana ingin mendengarnya meminta maaf karena duduk di depan, kek. Tapi tidak! Dia membisu, layaknya tidak bersalah sama sekali!

"Kayaknya kita harus lanjutin perdebatan ini di rumah, Tar."

Memangnya rumah Bian itu bisa disebut rumahnya? Ia melipat tangannya kelewat dongkol. "Bilang aja kalau kamu memang mau menundanya."

Entah membenarkan, atau tak punya jawaban, Bian mendadak jadi orang yang kehilangan suaranya. Keduanya pun tak bisa ditoleransi Tarana bila menyangkut Nataya. Kesal setengah mati.

"Apa pun yang ada di pikiran kamu, intinya tidak benar, Tarana." Bian mengutarakan sepersekian jawaban yang ingin ia sebutkan tadi. Tapi gagal melihat Tarana yang begitu berapi-api. Panjang nanti urusannya, dan Gladys nanti bisa mendengarnya. "Gladys membantu saya."

"Ini persoalan Nataya, Bian. Bukan cewek yang di depan," cerocos Tarana begitu saja.

"Namanya Gladys," sahut Bian tenang. "Saya yang minta dia duduk di depan agar kamu dan Nataya lebih mudah nanti masuknya. Setelah ini, saya antar Gladys pulang, lalu kita pulang."

"Anak kamu capek, Bian," tutur Tarana penuh penekanan. "Nataya gak seharusnya dilibatkan di sini kalau kamu mau-"

"Sstt! Don't talk to me like that, Tar," desis Bian sedikit banyak mulai kehilangan kesabarannya. "Kita sambung di rumah nanti. Gak enak ada Gladys, Nataya juga jadi diem karena kita debatin hal-hal kayak begini, Tar."

Hal-hal kayak begini? "Maksud kamu? Ini tentang Nataya, Bian!"

Kawasan apartemen bertingkat terpajang di depan matanya. Bukan hanya melintasi saja, tapi Bian menurunkan jendela mobilnya, memajang wajah tampan itu, kemudian dipersilakan masuk dengan mudah tanpa perlu susah-susah memberitahu ingin mengunjungi siapa.

Luar biasa. Nyaris Tarana berdecak kagum jika saja tidak ada bunyi pintu terbuka di depan kursi spesial itu. Haruskah Tarana menganggapnya seperti itu sekarang?

"Ibu ... Tarana, kan, ya?" tanya Gladys memastikan ragu. Memiringkan separuh tubuhnya, lalu menjulurkan tangan kanannya tidak enak hati. "Nama saya Gladys. Sekretaris dari perusahaan yang Bapak Bian kelola."

"Saya lebih muda dari kamu, sepertinya." Tarana memincing tak suka. "Saya yang harus panggil kamu Ibu, deh?"