webnovel

Campur Tangan Ayahnya

"Kamu belum," seloroh Kyla begitu yakin. Feeling Kyla untuk meniti mata anak laki-lakinya tak pernah salah. "Jujur, Bian. Kalau semisal Tarana datang dengan cara biasanya, penolakan seperti gadis pada umumnya, atau malah histeris tahu kamu punya anak ... mungkin Mama bisa lebih baik sekarang."

"Tapi ...." Bola mata itu berlarian acak. Hendak menuturkan keraguannya yang tertahan di ujung lidah. "Yang kejadian malah yang sebaliknya. Tarana tenang banget, malah nuntut kamu buat bawa Nataya ke rumah. Mama kan jadi ... ya ...."

Maksud Kyla memotongnya di tengah, agar Bian dapat menyimpulkan sisanya sendiri. Buku-buku besar anaknya itu dipilin lembut, namun penuh kecemasan dan kekhawatiran berlebih. "Beberapa hari gak ngeliat Nataya, Tarana gak hubungin Mama, Mama udah kayak mau jantungan, tahu."

Mungkin kecamuk pikiran Tarana lebih banyak darinya sekarang. Namun, tak bisa dipungkiri juga kalau kesukaran Bian mengupas kulit rahasia ini setara dengan Tarana. Bisa ia jamin itu.

Beberapa kejadian sampai sekarang belum ada yang spesial, atau khusus, setidaknya sampai hari ini. Sosok pemarah Tarana menghilang dibawa angin. Bidang sorotnya tak pernah lembut, tapi juga tidak pernah keras.

Sampai lamunan Bian dipecahkan oleh Liel yang berdiri di depannya. Melipat tangan dengan angkuh. "Tarana hamil?"

Ini kedua kalinya Bian menampilkan senyum kecutnya. Kenapa semua berpikir Tarana hamil? "Enggak, Pa."

"Bagus," cetus Liel datar. "Kalau hamil nanti malah Nataya gak diurus. Sibuk sama anaknya sendiri."

"Tarana gak gitu, Pa." Bian menghela napasnya rendah. Walau masih banyak yang terasa ganjil, tak lantas membuatnya tidak menaruh kepercayaannya pada Tarana.

Ia yakin, Tarana seseorang yang baik. Ia bisa melihatnya dari gelagat tulus-sedikit mencak-mencaknya Tarana. "Kalau memang Papa sama Mama gak setuju, Bian juga gak pernah iyain buat nikah. Setelah dijodohin ... kalian lebih gak tulus jalaninnya daripada Bian."

"Rencana kami itu kalian tinggal berdua, Nataya sama kami," tutur Liel berat. Posisi terpancang di depan menghalau pencahayaan menyinari Bian. "Bukan Nataya sama kalian. Itu jelas-jelas berbahaya. Sampai di sini masih gak ngerti?"

Selang beberapa menit hening. Tiga pemikiran itu tak kunjung menarik hasil rembukan yang cukup baik. Orang tuanya dengan kekhawatirannya, Bian dengan kecemasan kalau-kalau Tarana sakit hati mendengarkan percakapan ini.

"Mama ...." Bian menenggak salivanya serat. Sukar, mengingat sudah berapa kali ia menelannya tanpa benar-benar menerima cairan pelepas dahaga sesungguhnya. "Mama beneran anjurin Bian nikah sama Tarana cuman karena Bian ada yang urus?"

Setidaknya, Kyla mengangguk walaupun ragu. "Bian ... kamu tahu reputasi kamu. Kamu itu gak bisa sembarangan sama orang, apalagi orang yang gak bisa dipercaya buat mempertahankan derajat kamu. Bilanglah kalau materialistis atau apalah, tapi ini yang Mama sebut realistis. Dan dari semua masa lalu itu, keluarga Manuel dan kami bisa menerimanya. Minus, putrinya. Minus juga, kamu."

Alis Bian tertarik menekuk ke bawah. "Maksud Mama?"

Wanita bergurat anggun itu melirik ke depan. Menerima isyarat 'iya' dari Liel, bibirnya terbuka dan memecahkan sebagian teka-teki Tarana. "Tarana gak tahu kamu punya pernikahan yang lalu, kamu gak tahu ada salah satu keluarga Tarana yang meninggal."

"Kakaknya," sambung Liel berdeham singkat. "Kakaknya Tarana meninggal."

***

Seharusnya saran Tarana tidak perlu ditepatinya. Ada hal yang memang perlu dirahasiakan dan tidak perlu diketahui seseorang. Dulu Bian tidak mempercayai itu.

Sekarang Bian mempercayainya. Setelah dirasakan sendiri sebagaimana beratnya, ketika ditimbang membuat sakit kepala, memang ternyata baru menyesal setelah menerima sebuah beban baru.

Kalau tahu pembicaraan ini tak berujung baik, seharusnya dari awal Bian sudah minggat dari sana. Ia menyesal terlalu terlarut akan semuanya.

Dan ... mungkin ia juga tahu alasan Tarana hampir limbung. Mungkin. Mungkin benar mungkin salah. Tak ada yang mutlak dalam sebuah pernikahan. Bian tahu pasti mengenai hal itu, karena sudah berpengalaman sebelumnya.

"Tante tidur!" tegur Nataya berancang di depan Bian. Persis seperti gerakan Liel tadi, tapi bibirnya mengerucut ke depan. "Papa gak boleh gangguin Tante."

Sekarang juga Nataya beralih ke pihak Tarana. Tarana itu punya magnet apa, sih? "Kenapa jadi Papa yang gak boleh ketemu sama Tante?"

"Enggak bolehhh!" larang Nataya merentangkan tangan mungilnya. Cebikannya lebih menyerupai cemberut alih-alih galak. "Tante lagi gak semangat! Papa gak boleh ganggu Tante!"

Salah satu lutut Bian menyentuh ubin. Menoel ujung dagu Nataya sedikit menggodanya. "Bagus, ya, udah bisa jadi penjaganya Tante. Tapi tugas Ataya belum selesai sampai di sini. Masih ada yang harus Ataya kerjain lagi."

Nataya menelengkan kepalanya miring. "Apa?"

Sebuah jari kelingking disodorkan Bian. Menanti Nataya dengan senyum meyakinkannya. "Janji sama Papa kalau Ataya bakal kerjasama sama Papa. Nanti Papa kasih tahu Ataya harus ngapain, hm?"

Tampaknya, Nataya lebih banyak pertimbangan dan menaruh kecurigaannya pada ayahnya sendiri. Benar saja, Nataya tak mudah terpancing.

Bergaul dengan orang yang sulit, sekarang Nataya jadi ikut sulit. Bagaimana ini? "Jari Papa mau dianggurin gini aja, Ataya?"

"Tapi jangan ganggu Tante, ya?" pinta Nataya memelas. "Tante gak bawel. Sama kayak Ataya pas lagi sakit. Kalau Ataya sakit juga Ataya gak suka diganggu."

"Iya, janji, Sayang." Bian mengelus lembut permukaan kepala yang terbungkusi surai-surai berjatuhan Nataya. "Nanti Ataya yang atur mau gimanain. Sebelum itu, Papa butuh Ataya. Peran Ataya tuh besar di sini. Jadi, mau, ya?"

Mulai bersemangat, jari mereka terkait satu sama lain. Wajah muram itu kontan menjadi cerah lagi. "Mau, Papa!"

***

Geliat sana sini yang menghampirinya tidak mau pergi berapa kali pun Tarana berusaha menepisnya. Ia terganggu, tentu saja. Seberapa lelapnya ia tidur, tetap saja akan terusik bila menerima gangguan.

Dan gangguan itu cukup membuatnya muak. "Pergi."

Satu kata itu berhasil membuat sentuhan tak nyaman itu menghilang. Bagus, sekarang tinggal menunggu waktu itu akan kembali ke alam mimpi.

Ternyata tidak. Tinggal menunggu waktu usapan itu memberinya kenyamanan. Bukan tipikal nyaman yang melenakan. Melainkan kenyamanan yang mengusik. Tak lagi membiarkannya mengarungi lautan mimpi terlalu jauh.

Tarana mengerang tidak puas. Masih malas membuka mata. "Siapa, sih?"

"Ataya, Tante," jawab Nataya tidak yakin. "Tante sakit, ya?"

Seberapa mengantuknya Tarana, merupakan hal yang mustahil membiarkan Nataya mendapatkan ekspresi kecemasan itu. Ini bukan hal serius, bukan juga hal yang mengkhawatirkan.

Apa perasaan orang tua setiap kali anaknya khawatir adalah begini, ya? Ingin bertingkah baik-baik saja. Superhero terhebat pun kalah.

Sebab Tarana merasakan hal yang sama. Melawan kantuknya sendiri, linu di sendinya, sakit di hatinya, juga pening di kepalanya.

Malah yang terjadi, sekarang ia melebarkan sayapnya dengan senyuman sayu. "Kalau gak percaya sini Tante peluk. Biar Ataya yang kasih tahu Tante, Tante sakit atau enggak."

"Kalau saya boleh?"

Pelupuk memberatnya dilebarkan separuh lagi. Mendesah lelah sepanjang waktu. Seharusnya ia tahu kalau Nataya bertingkah aneh begini pasti ada campur tangan ayahnya. "Gak."