webnovel

Apa Saya Salah?

Pria itu menoleh kewalahan pada kursi lain di sebelahnya. Sejujurnya, tak mampu mengimbangi banyak energi yang dikeluarkan Tarana hari ini. Ia kelelahan, bila boleh mengaku. Pria tua sepertinya melawan anak muda di usia dua puluh lima ... mungkin tidak sepadan.

"Bian! Rumah orang tua kamu terlewat!" Lengan kiri Bian mendapat pukulan ringan sekali lagi.

"Oh, sorry." Pria itu mengangkat bibirnya kesal. "Dan, Tarana, saya mohon, sudahi pukulan-pukulan kamu itu. Badan saya sakit."

Tarana mengerling tipis, menyerempet jahil ke Bian. "Kalau ingat."

Selepas itu, pintu mobil terbanting. Buru-buru mengetuk pintu rumah Bian beberapa kali, meneriaki nama Kyla sampai telinga Bian yang di dalam mobil pun pengang.

Bian sendiri? Masih diam, melongo, tidak percaya kalau Tarana bisa seperti itu. Seatbelt bahkan belum dilepasnya. Tapi Tarana sudah ngibrit lebih dulu. "Dasar, Tarana. Seumur hidup, saya rasa kamu akan terus begitu."

"Tante Kyla!!!" Beberapa kali Tarana sengaja mengetuk cepat meminta jawaban segera. "Tante Kyla, Om Liel! Tarana dateng ke sini bareng Bian!"

Baru beberapa menit yang lalu dia bersikap seperti betina yang ingin menerkam orang, sekarang Tarana malah bersikap seperti bocah yang takut diculik seorang Bian.

Hey, Bian mana mirip dengan penculik? Butuh sepersekian detik untuk Bian bergabung di belakang Tarana. Menaruh dagunya persis di pundak Tarana dengan menjaga jarak pasnya. "Saya serius mengenai hal itu, Tarana. Kalau tubuh saya biru semua bagaimana?"

Reaksi tubuh Tarana yang kaku setiap kali Bian bertingkah berlebihan, ia menyukainya. Setiap deru napas yang jadi patah-patah karenanya, Bian menikmatinya.

Bukan karena dirinya suka Tarana tersiksa. Tapi, entahlah. Bian sendiri tidak bisa mendefinisikan hatinya yang terlapisi selimut hangat. Tidak, selama beberapa tahun belakangan. "Kenapa sekarang kamu tidak menjawab?"

"Karena saya bersiap memukul kepala kamu kalau kamu tidak menyingkir," ujar Tarana mendengkus kencang. Membuang sisa-sisa rasa malunya. Pasti Bian membaca bulu kuduk Tarana yang menegak tak terkendali. "Minggir. Saya lebih memilih kamu yang diam dan datar alih-alih bertingkah seaneh ini."

"Aku dan kamu, Tarana. Jangan menggunakan saya lagi. Tidak nyaman didengar," kata Bian memejamkan matanya, menikmati harum parfum Tarana.

"Kamu yang masih memanggil saya sekaku itu," sahut Tarana tidak terima. "Dan minggir! Bagaimana kalau nanti orang tua kamu melihat?"

"Tidak akan, karena ...." Jarak per jarak dikikis Bian mendekat. Menipiskan angin dan memukul Tarana mundur ke belakang. Tangan Bian tak diam. Merayap di pinggang Tarana, sementara yang lainnya meraba pintu belakang.

Itu sentuhan intens pertama dari Bian. Sempat membuat Tarana membeliak liar, tapi tak urung juga ia menikmatinya. Bersama dalam dan teduhnya kerjapan gelap itu, Tarana serasa ingin berenang lebih jauh pada Bian.

Shit! Ia tidak boleh menikmatinya! Pelupuknya menyatu berulang kali menepikan gelenyar yang mengusiknya. "B-Bian! Mau apa?!"

"Mau menekan bel, kok. Tapi di belakang kamu ada gagang pintu," jawab Bian polos.

Ting! Tong!

Suara sekecil itu dapat membuat Tarana terlonjak kaget. Hingga Bian tak dapat menahan sunggingan lebar tercetak di bibirnya.

Kenapa Tarana begitu kaget? Pipinya juga menunjukkan reaksi sebegitu manisnya di mata Bian. Apa Bian berlebihan, atau memang Tarana semenarik itu juga di mata orang lain? "Mama dan papa saya tidak akan keluar kalau belnya tidak ditekan. Karena itu mereka tidak akan ke sini."

Seharusnya kalau bel itu sudah ditekan, Tarana bisa selamat dari pojokan ini, 'kan? Maka dari itu Tarana masih melipat tangannya di depan dadanya. Bertingkah laku seperti tak terganggu walau napasnya sudah tak terkontrol sedari tadi. "Yang saya tahu kamu pendiam. Bukan berperilaku layaknya playboy begini."

"Saya cuman begini ke kamu, kok," sahut Bian tenang kembali. Menyisir pinggiran wajah Tarana agar lebih leluasa melihatnya. "Ke istri saya. Apa saya salah?"

"Salah," jawab Tarana ketus. Memalingkan tubrukan penglihatan mereka berdua. Dengan kata lain, kabur. "Minggir. Kalau kamu ingin saya masih punya hak berbicara, saya minta kamu minggir. Sekarang juga."

"Yang sopan, Tarana." Hidung mancung Bian berpapasan dengan ujung mungil kepunyaan Tarana. Tak bisa fokus karena terus terpancing oleh bibir ranum yang tak ia dapatkan dari pernikahan tadi.

Pengakuan gamblang Bian rupanya menghancurkan semuanya. Chemistry yang terbentuk pun hancur lebur. Berakibat Tarana menolak Bian menyentuh bagian bibir, dan memerintahinya agar tak menyentuh bagian lain selain di kening.

Sesungguhnya, Tarana yang cerdik, atau Bian yang terlalu polos? Entahlah. Di pikirannya saat itu juga hanya menuruti Tarana. Tak ada yang lain lagi. "Katakan yang sopan. Maka, saya akan mencoba mempertimbangkannya."

"Mempertimbangkan?" ulang Tarana tersinggung. "Sungguh? Mempertimbangkan, Bian?"

"Ada yang salah?"

"Bian Pramoko. Kamu jangan mulai, ya." Saking gemasnya, Tarana malah sengaja menghapus sebagian celah mereka lagi. Seolah menantang kalau Bian berani. "Jangan berharap saya bisa sopan ke kamu kalau kamu saja begini. Berulah semau kamu tanpa mempertanyakan apa mau saya."

"Saya sudah menurutinya tadi, Tarana," jawab Bian kalem. "Lalu sekarang kamu ingin saya menuruti kamu lagi?"

"Tentu saja!"

"Lalu kapan kamu mau menuruti sayanya?" tanya Bian teduh. Melembutkan suaranya, setidaknya agar Tarana tak meninggikan intonasinya. "Saya tidak masalah, tapi saya ingin feedback, Tarana. Apa itu juga salah?"

Dug!

Kepalanya yang terbentur daun pintu akibat kejaran penyatuan mulut dari Bian pun tak terasa sakit. Terbakar oleh kemarahannya sendiri, bahwa sudah terlambat Bian mengatakan hal tersebut. "Bisakah kamu diam saja?"

"Saya pernah diam sekali, dan itu membawa dampak buruk dalam hubungan saya, Tarana," aku Bian mendalami rengkuhan pinggang Tarana. "Saya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, sekali lagi, Tarana."

"Mungkin dua kali," ralat Tarana.

"Maksud kamu?"

Klak!

"Eh?" Kyla merapatkan atas bawah mulutnya kikuk. "Mama salah baca situasi, ya?"

"Enggak, Tante. Bener, kok. Kebetulan Bian-nya juga udah selesai." Kesempatan emas tersebut tak segan dipakai oleh Tarana untuk pergi dari rengkuhan risi ini. "Maaf ganggu malam-malam, Tante."

"Oh, enggak, kok. Masuk aja, Tar, Bian." Kyla tersenyum separuh-separuh. Melebarkan pintu ke kanan agar anaknya dan menantunya bebas menapak di area rumahnya. "Duduk dulu, Tar. Mama buatin kalian teh dulu. Cuaca malem dingin, biar kalian hangat."

"Enggak usah, Tan. Buru-buru juga." Sebelum kepergian Kyla, Tarana mencegatnya duluan. Menampilkan cengiran tak enaknya bahwasanya sudah tidak sopan. "Maaf, Tan. Kita mau jemput anaknya Bian."

Lengkung yang terpatri di bibir Kyla pudar bak kertas putih. Tiada lagi kerutan hangat seperti sedia kala. Beralih ke belakang untuk mempertanyakan dari mana asal informasi itu. "Yan?"

Bingung, Tarana juga ikut memutar lehernya demi melihat koneksi ibu dan anak tersebut. Sementara Bian meratapinya, lantas menggeleng kecil. "Jangankan seminggu, Ma. Beberapa jam setelah tahu aja dia marah ke aku karena hampir tinggalin Nataya di sini."