webnovel

Lamaran

Pagi itu Ramona tetap melakukan pekerjaan rumah seperti biasa, menyiapkan bubur untuk ayahnya. Terdengar suara ayahnya memanggil namanya.

"Mona kesini sebentar, bantu papa nak"

Ramona segera berlari menuju kamar ayahnya, rupanya ayahnya minta di antar ke toilet. Ramona membimbing Ayahnya dengan susah payah, kali ini lebih berat dari kemarin mungkin pengaruh ayahnya menahan sakit jadi beban beratnya tertumpu pada orang yang membimbingnya.

Ramona menunggu dengan sabar depan toilet. Terdengar pintu berderit, Ramona bergegas membopong ayahnya dengan susah payah, mereka berjalan perlahan menuju kamar. Untunglah Nuriman sebelum kekantor menyempatkan diri untuk mampir dan segera membantu membimbing ayahnya ke kamar.

Nuriman tak ingin bicara karena teringat janji ayahnya, perlahan dia segera menelpon Rukiyah dan Gunawan untuk datang ke rumah. Setelah memastikan semuanya aman-aman saja Nuriman pamit hendak ke kantor.

Tak lama Rukiah datang namun tidak dengan Gunawan melainkan dengan Dewi. Rukiah meminta Dewi untuk membantu memasak di dapur setelah memastikan bahwa Dewi sudah mengetahui tempat bumbu dan lainnya, Rukiyah segera menuju ke kamar, dilihatnya Ramona sedang menyuapi ayahnya, sedih juga rasanya.

"Itu mungkin pengaruh batu ginjal yang menyumbat di saluran kencing makanya papa kesakitan seperti itu, atau papa di rawat di RS saja". Rukiyah menganjurkan untuk dirawat karena tidak tega, mana dia sedang hamil besar jadi agak sulit membantu.

"Biar papa dirawat disini saja nak"

"Kalo Yusran ada gak masalah pa, bayangkan 3 bulan lho dia di lokasi" Rukiah masih tetap ngotot.

"Daripada kesulitan kayak tadi yang diceritakan Nuriman, mending papa gak usah bolak balik ke toilet"

Ramona menatap kakaknya kebingungan, dia masih belum mengerti. Akhirnya Rukiyah memberi penjelasan, toh Ramona sudah besar jadi harus dibuat mengerti dengan kondisi yang ada.

"Ada batasan antara anak perempuan dan anak laki-laki, anak laki-lakilah yang harus memandikan dan mengganti baju ayahnya jika istrinya tidak ada"

Ramona kini sangat paham, ternyata selama ini dia sangat egois karena takut kehilangan membuatnya tak berperasaan. Dia baru ingat yang mengganti baju ayah semalam adalah kakaknya Nuriman, karena tidak mungkin baginya memakaikan baju untuk ayahnya walaupun muhrim. Sekuat tenaga dia berusaha menahan air matanya agar tak keluar. Ayahnya yang sangat tau keadaan emosinya segera menggenggam tangannya.

"Tatap papa, jangan menangis percayalah sebentar lagi papa sembuh"

Ramona menggelengkan kepalanya dengan kuat saking tak kuasa menahan tangis yang sebentar lagi pecah. Ayahnya segera mendekapnya. "Maafkan aku pa" Bisiknya lirih.

Rukiyah melihat itu ingin menangis juga tapi apa boleh dikata, keadaan memang memaksanya harus seperti itu. Sebenarnya dia tau sebentar lagi ayahnya pasti akan segera terbebas dari batu ginjal itu, karena menurut Yusran reaksinya setelah meminum ramuan itu memang akan sangat menyakitkan karena batu ginjal perlahan akan hancur dan mengalir melalui saluran kencing. Rukiyah sengaja menekankan kata-katanya agar Ramona mengizinkan papanya menikah tanpa paksaan. Apakah itu berhasil ?!

Ya...Rukiah berhasil, Ramona berbisik pelan. "Mona mengizinkan papa menikah lagi"

Pak Hendrinata semakin mendekap erat anak bungsunya itu, ternyata pemandangan itu tak luput dari pandangan Dewi yang sedari tadi berdiri depan pintu kamar, terukir sedikit senyum dibibirnya.

"Jangan paksa hatimu nak, percayalah papa akan baik-baik saja"

"Aku ikhlas pa, lagian aku gak mungkin bersama-sama papa terus, kelak aku akan menikah dan punya anak juga lalu siapa yang akan menemani papa ?"

Rukiyah memeluk adiknya. "Kamu sudah dewasa rupanya. Terima kasih atas pengertianmu"

Dewi pura-pura mengetuk pintu yang terbuka.

"Maaf, Ramuan obatnya sudah siap apa saya bawa masuk ?" Tanyanya.

"Eh...tante mari masuk" Ramona segera mempersilahkan.

Pak Hendrinata berusaha bangkit, Rukiyah segera membantu ayahnya meminum obat yang disodorkan Dewi padanya. Terlihat pak Hendri mengernyit menahan sakit, Rukiyah yang sudah tahu segera meminta Ramona membopong ayahnya bersama-sama ke toilet, disituasi yang sulit itu muncullah Gunawan dan Tyan, tanpa diperintah mereka tahu apa yang harus dilakukan. Sesampainya di toilet pak Hendrinata tak kuasa menahan sakit akhirnya berteriak. Seiring dengan teriakannya keluarlah batu ginjal sebesar biji jagung.

Ramona dan Rukiyah memanggil-manggil ayahnya dengan khawatir karena teriakan itu cukup keras.

"Papa...Papa...."

"Di dobrak aja pintunya" Dewi muncul memberi saran.

Pak Hendrinata yang bersyukur batunya keluar segera bersuara. "Papa tidak apa-apa, biarkan papa istrahat sebentar, papa lelah" Ucap Pak Hendrinata. Dia ingin menceritakan batunya sudah keluar tapi nantinya malah batal nikahnya. Pak Hendrinata tersenyum simpul, ternyata batu ginjal ini walau teramat menyakitkan tapi membawa hikmah tersendiri, batin Pak Hendrinata sambil membayangkan wajah cantiknya Dewi.

Pak Hendrinata keluar dari toilet, sebenarnya sudah bisa berjalan sendiri sih, tapi masih tetap mau juga dibopong, Ramona disebelah kiri, Gunawan di sebelah kanan. Pak Hendrinata berhenti di ruang tamu, Rukiyah menarik kursi untuk ayahnya duduk. Kami semuapun duduk , Dewi duduk di depan ayah, aku karena hamil besar duduk dilantai, Ramona pun duduk dilantai di samping ayah, akhirnya semuanya memilih melantai kecuali ayah.

Ramona terlihat gelisah, dipandanginya wajah ayahnya seakan meminta persetujuan, Pak Hendrinata yang sangat tau putrinya menganggukkan kepala.

"Tante...maaf....

Kami semua menatap Ramona bersamaan, tak ada yang bersuara, kami menunggu apa yang akan dia ucapkan selanjutya.

"Maukah tante menikah dengan papa ?"Tanya Ramona matanya berembun, Pak Hendrinata segera menggenggam erat tangannya.

Tak ada yang bersuara, Dewi nampak menunduk entah apa yang ada dalam pikirannya. Tyanlah yang memecahkan keheningan itu.

"Harusnya Eyang yang bertanya bukan bu de" Tyan langsung berdiri ditengah-tengah kami dan segera menyodorkan bunga dan berlutut memberi contoh cara melamar yang benar. "Maukah kau menikah denganku ?" Ucapnya sambil menyodorkan bunga ke arah Dewi. Seakan semua telah dipersiapkan dengan baik, ini pasti ulah Gunawan. Bagaimana mungkin anak SD bisa melakukan hal konyol seperti itu. Entah siapa yang memulai, pecah sudah tawa kami melihat gaya kocak yang diperankan Tyan.

Hahahahahahaha.....