webnovel

Ingin Bunuh Diri ?

Tok...tok...tok

"Maya...bangun sholat subuh" Teriak Nona Ibunya Maya.

"Iya ma...." Sahut Maya yang terlihat masih mengantuk.

"Hei...hei...bangun !" Maya mengguncang tubuh Ramona.

"Sholat subuh"

"Masih ngantuk" Jawab Ramona menggeliat.

"Semalam pasti menghayal tentang Fajar makanya masih ngantuk hmm..."

"Hah...iya..iya aku bangun, siapa yang nghayal !"Sungut Ramona lalu bangun dan bergegas ke kamar mandi.

Usai Sholat subuh mereka berdua membantu Ibu Nona di dapur. Tring..trang, piring beradu, Ramona mencuci piring, Maya menyiapkan piring diatas meja makan.

"Pagi ini gak bisa ke pasar, semalam terjadi lagi pertikaian antar kelompok. Kita sarapan bubur dan abon saja, untuk makan siang nanti lauknya cukup ikan teri" Kata Nona sambil menyeduh bubur ke dalam mangkok.

"Maya bikinin papamu teh hangat jangan terlalu manis"

"Mona, kamu ambil abon di lemari dan taruh dimeja"

"Iya tante"

Ibu Nona masuk ke kamar memanggil suaminya Hidayat.

Kini mereka berempat duduk di meja makan, masing-masing mengambil piring, Nona menaruh bubur dipiring suaminya.

"Hari ini makan apa adanya" Ucap Nona.

"Saya harap Mona bisa menyesuaikan" Ucap hidayat sambil mencicipi hidangan yang sudah tersedia.

"Iya om, tante makasih. Saya dah terbiasa di kos-kosan biasanya sehari hanya makan nasi dan kerupuk". Ujar Ramona sambil menyeduh bubur ke piringnya tak lupa dia mengambil abon juga.Membayangkan makan kerupuk dan nasi saat menjadi anak kost merupakan kebanggaan tersendiri baginya. Setidaknya dia mampu me

Mereka makan dengan hikmad setelah itu Ramona dan Maya membersihkan meja dan semua peralatan makan.Tak lama kemudian mereka duduk diruang keluarga menonton berita tentang pecahnya pertikaian semalam.

"Jangan keluar rumah, kunci pintu rapat-rapat. Papa hendak ke Rumah sakit, semalam banyak orang terluka" Pak Hidayat berprofesi sebagai dokter dan isterinya sebagai perawat. Keduanya meninggalkan rumah dengan mengendarai mobil Avanza.

Kini tinggallah mereka berdua tak tau apa yang hendak mereka lakukan.

"Aku penasaran pingin keluar sebentar"

"Apaan sih kamu, ingat pesan papa tadi"

"Coba liat keluar, dah normal tuh, kan ada aparat yang jaga"

"Jangan cari masalah, kalo gak ada kerjaan mending baca novel, nonton atau menghayal"

"Sebentar saja, lihat pak polisi tuh, aku mau samperin dia cuman sekedar nanya-nanya. please " Rengek Ramona sambil tangannya menunjuk ke arah beberapa pria berseragam polisi.

"Maumu apa sih" Maya semakin kesal melihat betapa keras kepalanya sahabatnya yang satu ini.

"Bosan di rumah, aku pingin liat jarak dari rumah ke kantor LSM Nusantara kira-kira butuh berapa menit kalo ditempuh dengan jalan kaki" Paksa Ramona. Semasa kuliah Ramona aktif di organisasi, jadi bergabung dengan masyarakat luas tidak terlalu merepotkan baginya.

"Baiklah tapi aku gak tanggung jawab, setidaknya kamu buat surat wasiat deh sekarang, ntar malah aku yang disalahin kalo ada apa-apa". Maya menyodorkan kertas dan pena ke hadapan Ramona.

"Percaya deh, tidak akan ada apa-apa. Tuh liat sudah ada mobil dan motor yang lalu lalang"

Suasana pagi ini terlihat aman, tak ada lagi bunyi senjata atau sirene mobil polisi yang sedang berpatroli. Aktifitas kembali berjalan seperti biasa, masyarakat mulai berani keluar rumah walau semalam sempat terjadi pertikaian.

"Ya...ya...cepetan 5 menit dah balik ke rumah"

"Wuihhh cepat amat, 30 menit ya ?" Bujuk Ramona tak ayal akhirnya Maya mengalah.

Ditatapnya punggung gadis itu yang menuju beberapa petugas polisi yang berjaga. Masih dilihatnya gadis itu berbincang dengan polisi dan salah seorang menujukkan telunjuknya ke arah kanan. Maya sudah bisa menebak jika yang ditunjuk itu adalah kantor Nusantara.

Ramona berjalan perlahan, kepalanya menengok kiri kanan, nampak jelas dimatanya sebagian rumah-rumah hancur, rumah ibadah hangus terbakar. Dia bergidik ngeri. Pandangannya lurus kedepan dilihatnya seseorang berlari. upss..! Fajar ? benarkah yang kulihat tadi bang Fajar ? Ramona ikut berlari mengejar bayangan yang dilihatnya seperti mantan kekasihnya. Tiba-tiba dari arah berlawanan datang sekelompok orang dengan pedang dan tombak, dihadapannya sekelompok orang yang berbeda pula membawa pedang dan tombak yang sama. Dia terkurung diantara dua kelompok yang siap saling menyerang. Ramona gemetar, air matanya mengalir. Mungkin dia harus berakhir disini, maafkan aku ya Rabb. Gadis itu memejamkan matanya tiba-tiba seseorang menarik tangannya.

"Apa kau ingin bunuh diri ?" Suara itu terdengar berat. Diseretnya gadis itu dengan cepat ke arah mesjid.

"Diam dan jangan bergerak" Titahnya dan segera berlalu.

Pedang beradu, suara sirene mobil polisi dan tembakan peringatan terdengar. Orang berlarian mencari selamat, tentara tiba mengamankan TKP. Ramona tidak berani membuka matanya, dia menutup telinganya dengan kedua tangannya, Dia merunduk, mengigil ketakutan. Sebuah tangan menepuk bahunya perlahan.

"Sudah berlalu, bangunlah"

Ramona mendongak, nampak sosok cowok atletis cukup tampan kulit sawo matang berdiri didepannya dan menyodorkan sebotol air mineral.

"Minumlah, untuk menghilangkan ketakutanmu"

Ramona perlahan berdiri masih terhuyung, untung cowok itu sigap langsung menahan tubuhnya agar tidak jatuh.

"Ma...makasih" Ramona berusaha sekuat mungkin untuk tidak jatuh dan menerima air mineral yang disodorkan laki-laki itu.

"Ayo duduklah" Laki-laki itu menarik kursi kayu yang kebetulan berada diteras mesjid.

Ramona sekali lagi mengucapkan terima kasih.

"Namaku Alfa sering dipanggil Al" Laki-laki itu mengulurkan tangannya.

"Ramona" Kedua tangan saling berjabat. Tangannya masih sedikit gemetar, tak sanggup membayangkan kejadian yang baru saja dialaminya.

"Kenapa bisa ada di tengah-tengah kelompok yang bertikai ?" Tanya Alfa.

Ramona hanya menggelengkan kepala dan melepaskan tangannya yang masih digenggam laki-laki itu.

"Kau masih terlihat shock, ikut aku ke kantor, tuh dua rumah dari mesjid" Tunjuknya ke arah kantornya.

"Itu LSM Nusantara ?"

"Iya, ayo !" Alfa mengajak Ramona keluar dari mesjid.

Mereka berdua berjalan perlahan, Ramona yang masih shock sekali-sekali terhenti dan menengok kiri kanan.

"Sudah aman, ayo" Alfa berusaha meyakinkan gadis yang nampak linglung ini.

Ternyata di kantor LSM sudah ada Maya dan Hidayat ayahnya.

"Ya Allah, Mona" Teriak Maya sambil berlari memeluknya.

"Dari mana saja kamu, aku segera menelpon papa begitu tau pecah lagi kerusuhan disaat kau hendak ke kantor ini. Ya Allah terima kasih, entah apa yang akan aku sampaikan ke keluargamu, Fajar juga Nikita jika terjadi sesuatu padamu" Maya tak henti-hentinya mengomel.

"Mari silahkan duduk, saya Alfa ketua LSM Nusantara"

"Terima kasih nak faisal sudah membawa anak kami dengan selamat" Hidayat dengan tulus mengucapkan terima kasih.

Ramona terharu tatkala mendengar Hidayat menyebut dirinya anak. Dia teringat ayahnya, jika ayahnya masih hidup pasti wajahnya sepanik Pak Hidayat yang terlihat sekarang ini.

"Tadi dia seakan terkepung ditengah-tengah kelompok yang bertikai, untunglah saya duduk diteras dan melihat gadis itu"

"Tadi dia pamit mau kesini katanya mau ngelamar jadi relawan buat nangani pengungsi" Jelas Maya.

"Oh ya ? baik, tapi dia masih shock sebaiknya dibawa pulang ke rumah dulu., oh ya boleh tau alamatnya dan berapa nomor teleponnya ?"

Alfa meraih pena dan mulai mencatat alamat dan nomor telepon yang diberikan Maya.

"Jika patah hati setidaknya beritahu aku, aku tau obatnya," Bisik Alfa sambil tersenyum misterius. Ramona mendelik gusar.

"Mari nak Alfa, makasih. Saya Dokter Hidayat, dan ini anak saya Maya"

Setelah memperkenalkan diri mereka bertiga mohon pamit. Maya terus menggandeng Ramona sampai masuk ke dalam mobil. Alfa melambaikan tangannya, awal yang baik namun menegangkan. Begitu yang terlintas dalam benak Alfa.