Aku menggeliat malas ketika terdengar suara ketukan pintu cukup keras. Matahari belum muncul, tapi sesuatu telah memaksaku untuk bangun.
Ku lirik bagian kasur di sebelah, sudah kosong rupanya. Kemana suamiku pergi sepagi ini? Lagi-lagi aku mengerjap malas, enggan sekali rasanya meninggalkan kasur hanya untuk menyahut panggilan dari luar.
Untuk beberapa saat, aku mencoba kembali terlelap. Namun suara gedoran di luar terdengar semakin keras. Merasa ada yang penting, akhirnya ku putuskan untuk menarik diri dari peraduan. Siapa yang bertamu pagi buta begini, batinku sedikit kesal.
"Iya sebentar." Aku menyahut dari dalam. Membenarkan rambut yang masih kusut sebelum membuka pintu menemui tamu.
Tak lama, pintu berhasil dibuka. Bisa kulihat seorang wanita mengenakan jilbab labuh tersenyum simpul. Kemudian memperkenalkan diri dengan ramah.
"Maaf mengganggu pagi-pagi, Mbak. Saya Sekar, istri ketua RT di sini," ucapnya, dan tentu aku hanya tersenyum menimpali basa-basi tadi.
Di detik berikutnya, ia mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas, memeriksa sebentar lalu menyerahkannya padaku. "Saya ingin memberikan aturan sesama tetangga di komplek ini untuk mencapai kerukunan bertetangga. Monggo dipahami baik-baik."
Tanpa berpikir macam-macam, aku langsung menerima kertas yang berisi banyak peraturan. Awalnya, aku menatap beberapa poin yang tertera dengan heran. Tetapi dengan cepat ku tepis pikiran itu, menganggap jika ini adalah hal yang wajar. Bukankah aku sekarang tinggal di pedesaan, tempat yang sama sekali belum pernah ku sambangi sebelumnya. Jadi mungkin ini yang perlu dilakukan jika tinggal di desa.
Ku tarik pandanganku dari paling atas hingga poin terakhir. Tidak ada yang aneh sebenarnya. Hanya saja ....
"Maaf, Bu. Apa semua yang tinggal di sini mendapatkan peraturan seperti ini?" tanyaku memastikan. Karena cukup aneh jika tinggal dengan aturan tertentu. Maksudku, bukankah yang penting berbuat baik dengan tetangga dan tidak menggangu itu sudah cukup? Tapi ini ... kenapa seperti peraturan di kos?
Mendengar pertanyaan dariku, Bu Sekar tersenyum, lalu mengangguk mantap. "Betul, Mbak. Semuanya mendapatkan peraturan yang sama," ucapnya. Tetapi setelahnya, wajah Bu Sekar mendekat. Lalu berbisik, "tapi tidak ada yang mau menurut," lanjutnya. Anehnya, wanita ini terkekeh sendiri setelah mengatakan rahasia itu.
Aku, tentu hanya bisa tersenyum kecil, meringis menanggapi candaan kripik yang Bu Sekar layangkan. Benar-benar hari pertama yang tidak terduga.
"Tidak perlu sungkan begitu. Ini hanya formalitas. Yang penting sesama tetangga harus saling rukun. Benar, kan?" ucap wanita di depanku lagi. Tentu aku hanya bisa mengiyakan apapun yang ia katakan.
Ya, aku sedikit lega jika tidak perlu berpaku pada aturan-aturan yang terlihat melelahkan ini.
Setelah beberapa saat, Bu Sekar kembali merapihkan beberapa lembar kertas yang tadi sempat dikeluarkan. "Ya sudah. Saya pamit dulu, ya. Kertas itu Mbak simpan baik-baik," ucapnya. Lalu ketika aku mengangguk dan berterima kasih, wanita itu langsung pergi meninggalkan rumah kami.
Jadi, Bu RT datang sepagi ini hanya untuk menyerahkan aturan tinggal bertetangga? Astaga, aku bahkan masih tak percaya hal itu. Ku pikir ada hal penting. Maksudku, ah sudahlah.
Aku kembali menatap larikan poin yang hampir memenuhi kertas A4 itu. Membuang napas dalam, sebelum akhirnya memutuskan masuk ke dalam.
Namun belum sempat aku masuk, suara dari belakang terdengar familiar. Benar, dia adalah mas Anton, suamiku.
Aku berbalik, dan mendapati pria tampan berjalan mendekat lengkap dengan sarung melingkar dan sajadah di pundak. Bisa ditebak, suamiku baru pulang dari masjid. Benar-benar minta untuk dicintai selamanya, eh.
"Kau sudah bangun?" tanyanya pertama kali saat aku menyalami tangan pria itu.
Kepalaku mengangguk. "Ya. Tadi ada bu RT datang," jawabku benar.
Kedua alis mas Anton menyatu. "Sepagi ini?" Benar, kan. Ia yang tumbuh di desa saja merasa tidak percaya.
Lagi-lagi aku mengangguk. Kemudian menyerahkan selembar aturan pada pria di depanku. "Peraturan rukun bertetangga," jelasku singkat.
Ku lihat mas Anton mulai membaca. Lalu entah saat sampai di poin yang mana, matanya membulat. "Bahkan ada jam malam di sini?"
Melihat ekspresi itu, tentu aku tidak bisa menahan tawa. Ternyata hal ini bukan hal yang wajar meski tinggal di pedesaan. Itu berarti, memang perumahan ini yang sangat unik.
Aku mengangguk, tapi segera meluruskan. "Ya. Tetapi bu RT pesan jika kita tidak harus mengikuti aturan ini. Hanya formalitas katanya," ujarku, tentu menghempaskan seluruh kecemasan yang terlintas di benak mas Anton.
Seketika, suamiku membuang napas lega. "Ku pikir kita akan tinggal di asrama," ucapnya diiringi dengan tawa kecil di akhir. Setelahnya, mas Anton merangkul, mengajakku masuk.
Semalam orangtuaku memang memutuskan untuk langsung pulang. Katanya agar kami kembali berbulan madu. Awalnya aku mengiyakan, dan berpikir jika ucapan ibuku benar. Akan tetapi sekarang, aku menyesal. Barang masih berserakan belum dirapikan. Itu berarti, hanya kami berdua yang akan melakukannya.
Aku membuang napas panjang. "Rupanya mereka pulang lebih dulu untuk menyisakan kita pekerjaan yang banyak ini," keluhku, tapi masih tetap sibuk mengeluarkan barang-barang dari dalam kardus.
Sedangkan mas Anton, ia yang bertugas memindahkan perabot dengan berat yang cukup membuat urat menegang. Tentu aku tidak mau melakukannya.
"Siapa?" tanya pria itu yang tak sengaja mendengar keluh kesah saat melewati ku.
Ku putar kepala dua puluh derajat, melirik mas Anton sekilas, dan berucap, "Mertuamu."
Sembari meletakkan satu kotak besar di sampingku, pria itu tertawa. "Itu berarti orangtuamu," ucapnya.
Aku tak lagi menimpali, berlalu fokus pada berbenah rumah baru kami yang sangat melelahkan. Jelas sekali, bahkan hampir seharian pekerjaan ini belum juga selesai. Sementara matahari di langit sudah melambai ingin pergi.
Tetapi aku dan Mas Anton belum ingin menyudahi sebelum semuanya rapih. Aku memang terlihat manja dan malas, tapi sebenarnya paling tidak bisa beristirahat ketika rumah masih berantakan. Itulah mengapa, kami masih sibuk membereskan sisa pindahan semalam.
Hingga suara ketukan pintu depan menghentikan kami. Aku menatap mas Anton, mengisyaratkan agar mengecek siapa yang datang.
"Coba kau saja yang buka, Dek. Barangkali tetangga. Kan kamu belum pernah ketemu mereka." Namun itulah yang diucapkan oleh suamiku tercinta.
Akhirnya, mau tidak mau aku menuruti apa yang suami katakan. Lagipula hanya melihat saja, tidak akan mungkin tamu lama-lama saat hampir petang begini, kan?
Akan tetapi mataku berhasil membulat sempurna ketika melihat ibu-ibu yang datang. Bukan hanya satu dua, tetapi mereka berombongan.
Tak jadi aku membuka pintu. Ku langkahkan kaki dengan cepat ke ruang tengah, menuju mas Anton.
"Mas!" Aku memekik setengah berbisik. Ada keterkejutan di sana.
Ku lihat mas Anton menoleh dengan dahi mengerut. "Ada apa?"
"Itu di luar." Ku arahkan telunjuk menuju pintu yang masih tertutup. "Kenapa ada banyak sekali ibu-ibu yang datang. Aku jadi takut," ucapku sedikit cemas, sebab tidak pernah aku menghadapi tamu yang datang berbarengan seperti ini.
Untuk beberapa saat, suamiku hanya terdiam. Lalu tanpa suara ia bergegas menuju ruang depan. Melihat apa yang membuatku ketakutan sampai tak berani membuka pintu. Sementara ibu-ibu di luar, masih saja mengetuk dan memanggil kami.
Setelah memastikan, Mas Anton menatapku. "Itu para tetangga yang ingin menyapa kita mungkin," katanya.
Alisku menyatu. "Tapi kenapa mereka datang tidak berkabar lebih dulu?" Aku masih belum percaya.
Mendengar itu, kulihat pria di depanku membuang napas sedikit panjang. Untuk beberapa detik kami hanya saling beradu tatap.
"Itu hal yang sudah biasa, Dek. Namanya tinggal di desa."
Oh, benarkah?