webnovel

Semua Berawal

"Saya terima nikahnya Mayangsari binti Sudrajat dengan mas kawin emas sepuluh gram dan sawah 5 hektar dibayar tunai!"

Kalimat yang terucap hanya dengan satu tarikan napas dari pria di sampingku ini sungguh terdengar sangat mengharukan. Setelah dua tahun merajut kasih, akhirnya dia membuktikan keseriusan dengan meminang.

Bahagia sekali rasanya. Di tengah dekorasi yang mewah, lengkap dengan makanan yang memenuhi meja prasmanan, aku telah dijadikan pemeran utama dengan gaun indah berenda mutiara nan megah. Benar-benar seperti seorang putri yang keluar dari negeri dongeng.

Bukan hanya itu, pria yang menjadi pendamping di atas pelaminan juga bukan sembarang pangeran. Ia adalah pria tertampan tanpa kuda. Datang dari desa hendak bekerja, dan mendapat bonus jodoh cantik sepertiku. Berawal dari karyawan teladan ayah, akhirnya kami saling mencintai.

Selepas pesta dilaksanakan, aku sudah bisa membayangkan bagaimana indahnya tinggal berdua di tengah kota dengan gaji suami yang terbilang besar. Apalagi, aku juga masih memiliki penghasilan sendiri dari pekerjaan yang sudah ku geluti semenjak lulus kuliah. Bekerja di salah satu perusahaan asing dengan bantuan orang dalam. Tentu saja itu ayahku.

Semua benar-benar berjalan sesuai rencana yang sudah dibayangkan. Aku bahagia tinggal di kota kelahiran, Jakarta, dengan suami yang rajin dan tampan. Kehidupan rumah tanggaku benar-benar membahagiakan.

Setidaknya sebelum suamiku dipindahtugaskan. Kabar mengejutkan itu tiba-tiba datang mengguncang angan-angan. Semenjak itu aku yakin, kehidupan kami akan berubah.

"Mas harus pindah ke Jawa Tengah." Aku ingat betul bagaimana ekspresi dan nada suamiku saat menyampaikan kabar tersebut. Tepat di bulan keempat pernikahan kami.

Aku yang sangat menghindari pemindahan tugas suami hanya bisa melongo tak percaya. "Kapan?" tanyaku, padahal sudah jelas akan menolaknya.

Kulihat, pria di depanku menarik napas dalam. Lalu dengan sangat hati-hati ia menjawab, "Bulan depan."

"Apa?!" Tentu mataku langsung membulat. "Bagaimana ayah bisa melakukan itu? Aku sudah bilang agar cabang di sana dipegang oleh orang lain saja!" Aku protes.

Namun dengan cepat cintaku menenangkan. Ia meraih tanganku dengan lembut. "Cabang perusahaan yang buka di sana cukup besar. Sayang jika dilempar ke orang lain," ucapnya terdengar sangat teduh, "tidak masalah, kan? Lagipula ... kita akan pergi berdua. Hitung-hitung latihan mandiri jauh dari orangtua," lanjutnya, merayuku.

Lihatlah, dia bahkan menatapku dengan tatapan yang bisa melelehkan mentega dalam hati ini. Aku yang ingin menolak tak bisa lagi berucap. Apalagi, saat ia mulai mencumbu ku, sungguh serangan yang bisa langsung mematahkan tekad. Maklum, kami masih pengantin baru saat itu.

Tanpa sadar, aku mengiyakan pemindahan tugas suami. Itu berarti aku juga harus melepas pekerjaan di sini.

Ah ... hanya helaan napas berat yang bisa kulakukan. Inilah yang dinamakan nasib termakan rayuan suami sendiri?

***

Namaku Mayangsari. Orang-orang terdekatku kerap memanggil dengan sebutan Sari, berawal dari nenek yang sudah sepuh, katanya lebih singkat tetapi kaya arti. Entah apa maksudnya, sampai sekarang aku belum berusaha mencari tahu arti dari nama yang singkat itu.

Tinggal di kota padat seperti Jakarta, membuatku tumbuh menjadi wanita independen dengan gaya hedon. Tentu saja tidak sekedar gaya, tetapi orangtuaku menyokong biaya dari aku bayi bahkan hingga sekarang aku sudah berkepala dua lebih tujuh tahun. Ya, aku menikah cukup dewasa.

Namun lihatlah sekarang. Aku harus menempuh perjalanan seharian menuju kota di mana tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Adakah yang lebih hebat dari ibu kota? Kurasa tidak.

Berkali-kali aku membuang napas berat di dalam mobil. Memang bukan aku yang menyetir, tapi suasana hati membuatku merasa kelelahan bahkan ketika aku hanya duduk diam dan bernapas.

Sadar dengan perasaanku yang tak beraturan, seorang wanita paruh baya memegang pundak pelan. Dia ibuku, sosok yang telah memberiku cukup cinta dan kasih sayang selama ini.

"Kau tenang saja, Sari. Kalian pasti akan betah tinggal di sana," ucap ibu, lalu mengalihkan pandangan pada dua pria yang duduk di kursi depan. "Benar kan, Ton?" Ia meminta pendapat dari Anton, suamiku.

Kulihat pria yang sangat mencintaiku mengangguk. Masih malu-malu ia mengiyakan pertanyaan ibu. Ah, andai kalian tahu wahai orang-orang terkasih, ada beban yang belum terlihat tapi sudah bisa dirasakan di dalam sini, di dalam hati sanubari.

Ibu kembali meraih tanganku. "Nanti kamu pasti akan tahu bagaimana senangnya tinggal di desa," ucapnya menenangkan, tapi justeru terdengar cukup menegangkan untukku. Terlebih, saat aku memikirkan bagaimana jauh dari mereka. Membayangkannya saja membuatku ingin memutar balik kemudi, kembali ke Jakarta.

"Benar. Dulu ayah dan ibu sempat tinggal di desa beberapa tahun, dan menyenangkan sekali ya, Bu?" Ayahku yang sedari tadi duduk manis kini turut menimpali. Mendengar itu, ibuku langsung mengangguk dengan semangat.

Entahlah, sepertinya mereka terlihat sangat bahagia. Untuk kesekian kali, aku hanya bisa membuang napas sembari menatap hamparan sawah yang mulai memenuhi sisi jalan. Khas pedesaan.

Jalan kecil dengan aspal berlubang, juga pepohonan yang rindang di sepanjang jalan, sepertinya kami hampir sampai ke tempat di mana aku dan suamiku akan tinggal. Belum lagi rumah yang berjejer rapat, sudah bisa ditebak mobil memasuki area perumahan.

Katanya, aku akan tinggal di perumahan paling bagus di sini. Tetapi setelah masuk ke area komplek, ada perasaan ragu yang menyelinap. Lihatlah, bahkan jalan di sini tidak lebih baik dari jalan yang paling kecil di Jakarta.

Benarkah aku akan tinggal di sini?

Mobil akhirnya beristirahat setelah menempuh perjalanan hampir seharian. Di pekarangan rumah yang terlihat baru, mas Anton memarkirkan mesin beroda empat itu.

"Kita sampai ..." Ibuku terlihat begitu gembira, juga dengan dua pria yang langsung turun membuka bagasi.

Sementara aku, sepertinya di dalam mobil jauh lebih nyaman.

"Sayang. Ayok turun," ajak wanita yang katanya mirip sekali denganku. Ya, aku memang belum berniat beranjak semenjak sampai.

Dengan malas, mau tidak mau aku mengekor tiga orang yang sudah lebih dulu keluar. Mereka masih sibuk bolak-balik membawa barang, sedangkan aku tentu hanya menyeret satu koper kecil yang berisi peralatan mandi dan make up.

Begitu sampai, kedua mataku langsung menyapu ruangan yang terlihat kecil, tapi cukup nyaman kurasa. Warna tembok masih baru, begitu juga dengan perabot yang masih sedikit. Sepertinya orangtuaku sengaja menyiapkan ini semua agar aku nyaman.

Tidak buruk, batinku. Setelahnya aku menarik napas dalam, mencoba menerima apa yang memang tidak bisa ku tolak.

Berbeda dengan ibuku yang membantu membawa barang, aku langsung duduk di atas sofa dengan punggung bersandar. Ah, nyaman sekali rasanya setelah kaki pegal seharian di dalam mobil.

Mataku terpejam beberapa saat. Hingga samar-samar aku mendengar ibu tengah berbincang dengan orang lain di luar. Apakah ibu memiliki kenalan di sini? Sudahlah, aku tidak ingin tahu.

Setelah barang di mobil habis, ayah dan suamiku masuk lebih dulu, disusul dengan ibu yang mengekor dengan senyum masih mengembang. Namun aku tidak terlalu peduli, wanita ini memang sangat ramah, tidak sepertiku.

"Sari."

Aku membuka mata ketika mendengar namaku disebut. Ku pandang ibu yang sekarang ikut duduk.

Wanita itu menepuk pahaku pelan. "Orang-orang di desa sangat ramah. Kau juga harus baik terhadap mereka, ya? Terutama dengan tetangga."

Tetangga? Aku bahkan tidak pernah saling menyapa saat di Jakarta dulu.

Aku tak langsung menjawab. Terdiam sejenak meski pada akhirnya tetap mengangguk, mengiyakan perkataan yang bahkan aku belum bisa membayangkan bagaimana ramah dan baik yang ibu maksud.

Tidak masalah. Aku hanya perlu menahan diri sebentar lalu terbiasa, bukan? Ah ... semoga aku bisa rukun dengan tetangga dan kebiasaan di desa.