Sambil berciuman, tangan Hua Wei bebas menjelajahi peta tubuhku. Meraba-raba. Mengobok-obok. Menggerayangi. Mengusap putingku. Meremas bokongku. Nakal!
Dia juga menuntun tanganku untuk menjamah perkakas pribadinya. Meremas tonjolannya. Mengelus-elusnya. Hingga tegang. Mengeras dan panjang. Terasa panas dan bernapas.
Kriiing ... Kriiing ... Kriing!!!
Di saat kami sedang asik bercumbu. Tiba-tiba ponsel di kantong celanaku berdering. Kami terpaksa menghentikan aktivitas mesum ini. Aku melepaskan ciuman Hua Wei dan mendorong tubuhnya agar menjauh dariku. Raut wajah Hua Wei jadi kecewa.
''Halo, Assalamualaikum!'' sapaku saat mengangkat panggilan telepon dari nomor yang belum kukenali ini.
''Halo, selamat sore, bisa bicara dengan Vivo Noviandro?'' sahut seseorang dari seberang sana. Suara seorang perempuan.
''Ya, saya sendiri. Maaf, dengan siapa saya bicara?''
''Saya Luna, dari Universitas XXX.''
''O, ya, ada apa ya, Mbak?''
''Kami telah menerima berkas-berkas penerimaan mahasiswa baru lewat jalur beasiswa atas nama Vivo Noviandro, itu benar, ya?''
''Iya, benar, Mbak!''
''Baik ... begini Mas Vivo, untuk program yang Mas Vivo pilih, kuota beasiswanya sudah penuh. Namun, apabila Mas Vivo berminat, kami akan memberikan beasiswa kepada Mas Vivo untuk jurusan program lain, bagaimana?''
''Jurusan apa ya, Mbak, yang kuota beasiswanya masih ada?''
''Jurusan Keguruan, apakah Mas Vivo berminat?''
Aku terdiam sesaat. Berpikir lebih jernih. Berpikir cepat.
''Baiklah ... saya ambil, Mbak!''
''Baik, kalau begitu kami akan melakukan registrasi ulang. Dan Mas Vivo bisa mengkonfirmasikannya lewat link yang akan kami kirimkan ke alamat email Mas Vivo. Ada yang ingin dipertanyakan?''
''E ... tidak, saya rasa sudah cukup jelas.''
''Baiklah kami rasa cukup sekian. Terima kasih atas waktunya dan selamat sore.''
''Sore ...''
Tut ... Tut ... Tut ... Panggilan telepon berakhir.
''Huh!'' Aku menghempaskan napas panjang. Sangat bahagia mendengar kabar ini. aku mendapatkan beasiswa kuliah di Universitas XXX walaupun programnya tidak sesuai yang aku inginkan. Akan tetapi itu tidak jadi masalah. Yang penting aku bisa melanjutkan pendidikanku di perguruan tinggi. Yes ... Yes ... Yes ... Alhamdulillah, Terima kasih ya, Tuhan ...
''Telepon dari siapa, Vo?'' tanya Hua Wei penasaran.
''Kasih tahu gak, ya?''
''Kasih tau dong, Vo!''
''Pengen tau banget atau pengen tau aja?''
''Pengen tau banget, Vo.'' Hua Wei mendekatiku. Dia memelukku dan mengecup pipiku.
''Aku mendapatkan beasiswa kuliah di XXX ...''
''O, ya?''
''Iya ...''
''Hore ... selamat ya, Vivo!'' Hua Wei tampak semringah. Dia turut bahagia juga.
Aku dan Hua Wei jadi jingrak-jingkrak. Kegirangan. Cekikak-cekikik sambil berpelukan. Berciuman. Melanjutkan percumbuan yang tertunda. Kami kembali bergumul. Menempelkan tubuh. Bibir ketemu bibir. Kulit ketemu kulit. Rambut ketemu rambut. Semakin rapat semakin nikmat.
__***__

''Selamat, ya ... akhirnya kamu bisa kuliah gratis,''
''Ya, akhirnya perjuanganku tidak sia-sia. Hasil memang tidak akan pernah mengkhianati usaha.''
''Rejeki anak soleh.''
''Hahaha ... aku bukan anak yang soleh. Aku penuh dosa.''
''Kamu masih kuliah di sana atau sudah lulus?''
''Lagi mengerjakan skripsi.''
''Wah, congratulation, ya ... berarti sebentar lagi kamu lulus.''
''Ya ...''
''Bapak Vivo Noviandro, Spd.''
''Hahaha ...'' Kami tertawa ngakak.
''O, ya di toilet itu apa yang kamu lakukan bersama Hua Wei? Apa cuma sekedar pelukan dan ciuman saja, atau sampai ehem-ehem?''
''Hehehe ... kau terlalu kepo?''
''Bukan aku, tapi pembaca!''
''Jangan lindungi dirimu dengan dalih pembaca!'' Dia melempar kertas kosong ke arahku. Wajahnya memerah. Malu-malu kucing.
''Ayolah ... ceritakan lagi?''
''Jangan memaksa!''
''Oke, biarkan aku menebak ...''
''Apa?''
''Kau membuka celana Hua Wei. Kemudian kau mengeluarkan organ kelaminnya. Iya, 'kan?''
''Hahaha ... bagaimana kamu tahu?''
''Jadi itu benar?''
''Iya ... kok kamu bisa tahu sih, apa kau bisa membaca pikiranku?''
''Aku cuma mengira-ngira saja.''
''Tapi kamu tepat sekali!''

__***__
Aku dan Hua Wei larut dalam suasana keintiman yang kian bernafsu. Tak peduli kami ada di mana. Tak peduli kami sedang melakukan apa. Diam-diam tanganku melepaskan resleting celana Hua Wei. Kemudian aku melorotkan celana abu-abunya dan juga celana dalamnya hingga di bagian lutut. Dan jejreng ... di depan mataku. Aku menyaksikan sebuah benda bulat panjang. Kontol Hua Wei. Ukurannya lumayan besar. Seperti mentimun Jepang. Keras, tebal dan menjulang. Belum disunat. Masih ada kulup yang menutupi kepalanya. Namun demikian tak mengurangi pesona alat kejantanannya. Bagiku tetap menarik dan menggemaskan. Apalagi jembutnya gondrong seperti hutan belantara. Benar-benar menggairahkan. Ditambah dua telornya yang bergelayutan seperti salak pondoh berwarna hitam kecoklatan. Uh ... membuatku tak sabar untuk meremasnya.
Langsung saja. Aku mencaplok kontol Hua Wei yang sudah ngaceng sengaceng-ngacengnya. Kuisap ia. Kusedot ia. Kukulum ia. Hingga tubuh Hua Wei kelojotan. Menggelinjang keenakan. Srap ... Srup ... Srap ... Srup ... aku terus menyepong organ kelaminnya itu. Hingga tubuhnya meregang dahsyat. Mulutnya merancau tak karuan. Mungkin karena ia baru pertama kali disepong. Dalam waktu yang tak seberapa lama dia bisa meraih puncak kenikmatan. Dari lubang kontolnya keluar cairan keperjakaan yang banyak dan kental. CROOOTTT ... CRROOOTTT ... CROOOTTT ... Lemas dan lega. Selesai sudah tugasku melemaskan kontol Hua Wei kembali dengan teknik blow job.
"Good job, Vo!"
"Hehehe ...."