webnovel

Part 58 : Ayah

Di sebuah warung kopi pinggir jalan. Pantura Comal-Pekalongan.

Aku duduk manis menghadap layar laptop. Di depanku pria biru yang sedang mencecap secangkir kopi moka. Kami bertemu untuk kesekian kalinya. Mengorek kisahnya yang belum tuntas.

''Dulu aku sering ditraktir teman, sekarang ... alhamdulillah, aku bisa mentraktir teman, dunia memang selalu berputar.''

''Kau memang beruntung memilki teman seperti Hua Wei yang suka mentraktir temannya. Dan aku beruntung bisa bertemu dengan dirimu yang mau mentraktirku.''

''Kau layak kutraktir.''

''Kau tidak hanya mentraktir secangkir kopi, tetapi kau juga mentraktirku dengan kisah hidupmu yang menarik.''

''Hehehe ... jangan meledekku dengan kata-kata menarik. Bagiku itu bahasa satir yang kelewat halus. Hidupku tak semenarik yang kalian bayangkan.''

''Kalian?''

''Kau dan pembacamu!''

''Hehehe ... baiklah kita ganti topik.''

''Itu lebih baik.''

''Setelah momen sakral di toilet itu, apakah ada kejadian seru yang lainnya bersama Hua Wei?''

''Hahaha ... rupanya kau masih saja orang terkepo yang pernah kukenal. O, ya ... aku lupa. Penulis kacangan seperti dirimu memang punya naluri penasaran yang tinggi.''

''Hahaha ...''

Aku melirik wajah cute laki-laki di hadapanku ini. Dia terlihat gugup dan malu-malu. Menarik napas panjang-panjang sebelum ia membuka mulutnya.

''Sejak peristiwa tak terduga di toilet itu. Aku dan Hua Wei semakin lengket seperti perangko dan lemnya. Namun, seiring waktu berjalan. Saat kita mulai disibukan dengan kegiatan kuliah kami masing-masing. Kami jadi jarang berkomunikasi. Dia kuliah di Jakarta, sedangkan aku kuliah di Semarang. Lambat laun kami jadi seperti kacang dan kulitnya. Saling terpisah, saling menjauh dan saling melupakan.''

''Jadi ... kisahmu bersama Hua Wei hanya sampai di situ saja?''

Pria biru ini mengangguk pelan. Lesu. Seolah ada rasa kesedihan yang cukup dalam.

''Well ... How about Bang Sam?''

''No ... No ... No ... aku tidak mau bercerita tentang dia dulu?''

''Why?''

''Aku lagi tidak mood menceritakan ayah tiriku itu.''

''Ayolah ... pembacaku lagi menunggu kelanjutan kisahmu ini?''

''Pembaca atau dirimu?''

''Dua-duanya, hehehe ...''

''Ya, kalau gituh, aku akan menceritakan tentang siapa ayah kandungku saja ...''

''Oke ... tidak apa-apa, itu juga tidak masalah!''

__***__

Beberapa hari setelah pengumuman kelulusan. Di waktu senja yang cerah. Kala lembayung keemasan menghias langit barat. Saat angin sore berhembus sepoi-sepoi seperti di pantai. Saat itulah pintu rumahku terketuk seseorang.

Tok ... Tok ... Tok!!!

''Tungggu sebentar!'' sahutku sembari buru-buru menghampiri pintu, lalu membukanya perlahan. Ketika pintu ini terbuka, deg! ... ada sesosok laki-laki. Gagah, tinggi dan berwibawa.

Aku tercengang untuk beberapa saat, ''Kau ... bukankah Papahnya Oppo? Mr. Iphone?''

''Iya ...'' jawab Mr. Iphone mantuk-mantuk dengan senyuman simpul.

''Ada apa Mr. Iphone datang kemari?''

''Vivo ... bolehkah saya masuk?''

''O, ya ... silakan!'' Aku mengajak Mr. Iphone duduk di sofa ruang tamu.

''Maaf, tempatnya berantakan, Mister,'' ujarku gugup. Salah tingkah. Canggung.

Mr. Iphone hanya diam. Matanya memandangiku tiada henti. Pandangan mata yang sayu. Sendu. Berkaca-kaca. Penuh rasa haru.

Aku jadi heran. Bingung dan ikutan terdiam.

''Nak, kau pasti sangat menderita ...'' Tiba-tiba Mr. Iphone berujar.

''Aku sudah terbiasa, Mister.''

Kami terdiam lagi. Suasananya benar-benar kaku. Seperti kanebo kering. Dingin seakan kami berada di kutub.

''Apa ibumu pernah bercerita tentang ayahmu?''

''Kenapa, Mister menanyakan itu padaku?''

''E ... saya hanya ingin tahu saja ... maaf jika saya salah ucap.''

''Ibuku bilang ayahku sudah meninggal sejak aku dalam kandungan.''

''Ibumu bilang begitu?''

''Iya, tapi kini aku sudah tahu. Ibu hanya berbohong untuk melabuhiku agar aku tidak pernah menanyakan keberadaan ayah kandungku.''

''Jika seandainya kau bertemu dengan ayahmu, apa yang akan kamu lakukan, Nak?''

''Kata Ibuku, aku tidak boleh membencinya meskipun dia telah membuat ibu dan diriku menderita.''

''Apa kau tidak berniat mencari keberadaannya?''

''Entahlah, terkadang aku ingin berjumpa dengannya ... tapi buat apa? Dia sudah bersama keluarga barunya.''

''Apa kau memaafkan semua kesalahan ayahmu?''

''Ibuku berpesan aku tidak boleh membenci ayah kandungku. Dan aku akan mematuhi permintaan ibuku.''

''Vivo ... kamu anak yang baik.'' Mr. Iphone bangkit dari tempat duduknya, dia mendekatiku dan menangkupkan kedua tangannya di pipiku. Sejurus kemudian ia berlutut di hadapanku.

Aku jadi bertambah bingung. Merasa aneh. Mengapa dia melakukan hal seperti itu?

''Vivo ... saya menyesal, karena telah menyia-nyiakan dirimu dan ibumu. Maafkan saya, Nak.'' Mr. Iphone menitikan air matanya. Menangis tersedu-sedu di depanku.

''Mr. Iphone ... kenapa kau bersikap seperti ini, a-aku ... benar-benar tidak mengerti.''

''Vivo ... laki-laki yang sedang bersimpuh di kakimu itu adalah ayah kandungmu!'' celetuk Bang Sam yang tiba-tiba nongol begitu saja. Seperti setan. Muncul tanpa permisi.

''Hah! Benarkah itu?'' Aku jadi tercengang. Tanpa sadar aku membelalakan mataku dan berdiri tegap. Menatap Mr. Iphone yang masih duduk bersimpuh dengan mata bercucuran air mata.

''Benar, Vo ... dia ayahmu. Ayah kandungmu!'' ujar Bang Sam memperjelas. Tegas dengan tatapan penuh integritas.

Entah, aku harus bersikap bagaimana? Mendengar kebenaran ini membuat sekujur tubuhku gemetar. Bermacam-macam perasaan berkecamuk dalam diriku. Sedih, bahagia, kesal, rindu, dan sebagainya bercampur jadi satu.

''Vi-vo ... ka-mu mau me-maafkan saya, bukan?'' ucap Mr. Iphone terbata-bata dengan air mata yang berlinangan. Seperti derai air hujan membasahi kaca.

''A-ayah ... a-ku tidak percaya ini,'' ujarku lirih. Mulutku terasa kelu. Leherku seakan tercekik. ''Kau ... ternyata ayah kandungku!''

Aku dan Mr. Iphone saling mendekat. Saling berpelukan. Saling menumpahkan air mata hingga tercipta keharuan yang mendalam. Tanpa rasa dendam. Tanpa rasa kebencian. Kami berdekapan penuh kesyahduan seolah melukiskan harmonisasi elegi cinta antara ayah dan anaknya. Hubungan darah yang terpisah untuk kesekian lamanya.

''Vivo ... ayah sayang kamu, Nak!''

''Vivo juga sayang pada Ayah!''

''Kamu mau memaafkan Ayah, Nak?''

''Lupakan semuanya, Ayah ... kita mulai dengan hal yang baru.''

''Kau memang anak yang berbakti, Sayang!''

Mr. Iphone mengusap rambutku dan mengecup keningku dengan penuh kelembutan. Rasa kasih sayang sebagai seorang ayah begitu tercurah pada detik itu juga. Kehangatannya benar-benar luar biasa. Terima kasih, Ayah. I love you, Dad!