webnovel

Part 50 : Gagal

Pergumulan tadi malam antara aku dan Bang Sam cukup membekas di benakku. Hubungan terlarang itu menyisakan rasa perih di lubang anusku. Sakit. Dan aku tidak akan mengulanginya lagi. Meskipun demikian peristiwa itu akan menjadi kenangan yang mungkin tak terlupakan. Kenangan terindah yang akan selalu kurahasiakan.

Aku terbangun dari tempat pembaringanku, saat sinar matahari mencubit gemas kulitku. Kehangatannya mampu menggugahku untuk kembali ke dunia nyata. Dunia yang penuh dengan liku kehidupan. Dunia yang selalu menawarkan dua pilihan. Baik dan buruk. Lurus atau belok. Hitam dan Putih. Ying Yang. Dare or Truth!

Hari ini, acara peringatan 7 bulan kehamilan ibuku dilaksanakan. Rumahku sudah penuh dengan kedatangan para tetangga yang akan membantu kelancaran penyelenggaraan. Mereka bahu membahu mengerjakan apa saja demi kesuksesan acara. Mungkin mereka sejak pagi buta sudah mulai bekerja. Sikap solidaritas dan gotong royong di desa ini memang masih sangat kental. Tanpa disuruh pun mereka suka rela datang dan membantu semampunya.

Ada yang mengupas buah. Ada yang memarut buah. Ada yang memasak dan lain sebagainya. Ramai. Karena tak hanya tangannya yang bekerja, tapi mulut-mulut mereka juga sibuk berceloteh. Bergosip. Nyinyirin ono dan ini. Bergurau hingga berhaha-hihi. Dengan tawa yang gemuruh. Seperti suara tawon.

Di tengah keriuhan dan kesibukan itu, aku tetap merasa sepi. Aku melakukan aktivitas seperti biasanya, sendiri. Mandi. Sarapan. Kemudian sekolah. Aku pergi meninggalkan rumah yang masih penuh dengan kegiatan para individu di dalamnya. Ibu yang tampak selalu menebar senyuman bahagia. Menyambut dan menyapa para tetangga. Memberi komando apa yang musti dikerjakan. Di wajah ibu tak tampak rasa lelah. Hanya keramahan dan sikap manis yang beliau perlihatkan kepada siapa saja. Sementara Bang Sam, walau tak banyak yang ia kerjakan, naman keberadaannya cukup mengukuhkan bahwa ia bertindak sebagai kepala rumah tangga yang bijak sehingga disegani para tetangga. Karena kesibukannya, aku belum sempat bertutur sapa dengan laki-laki itu semenjak aku bangun tidur hingga aku pergi.

Well,

Aku tiba di sekolah. Berjalan merunduk menekuri lantai. Menyusuri koridor yang sudah penuh lalu lalang para siswa. Mereka tampak ceria dengan memasang wajah semringah seolah tak pernah memiliki beban masalah. Alangkah bahagianya bila aku bisa seperti mereka.

''Huss ... Huss ... Manis!'' seru seseorang dari arah belakangku. Suaranya serak. Dan aku mengenalinya. Itu suara ...

''Oppo!'' pekikku saat aku mendongak ke pemilik suara itu. Cowok berkulit putih ini tersenyum lebar. Ia berlari mendekatiku.

''Sombong ya, sekarang yang punya teman baru ...'' ucap Oppo bernada satir tepat di depanku.

''Hehehe ...'' Aku meringis.

''Piye kabare, penak konconan karo aku toh? Hehehe ...''

''Hahaha ... bisa aja lo, Po!''

''O, ya ... gue tadi lewat ruang TU (Tata Usaha). Gue lihat ada surat yang tercantum nama lo terpajang di jendela kaca. Gue langsung meminta surat pada petugas TU. Gue bilang surat itu punya teman gue. Dan dia memberikannya. Ini suratnya ....'' Oppo menyerahkan sebuah amplop ke tanganku.

''Terima kasih, Po.'' Aku memeriksa surat ini. Masih tersegel rapi.

''Dilihat dari amplopnya sepertinya itu dari sebuah universitas.''

''Iya, gue rasa juga begitu, Po ... mungkin ini pengumuman seleksi penerimaan mahasiswa baru jalur beasiswa.''

''Buka aja, Vo!''

''Hahaha ... rupanya lo lebih kepo dari gue sendiri, Po ...''

''Hehehe ... iya, karena gue juga berharap lo bisa lolos dan masuk ke universitas gratis.''

Aku tersenyum lepas. Kemudian tanpa banyak berpikir aku langsung membuka amplop dan memeriksa isinya. Selanjutnya aku membaca isi dari surat ini dengan seksama. Awalnya aku sangat excited, tetapi ketika mengetahui hasil akhir pengumuman ini aku jadi langsung nge-drop. Di situ tertulis dengan jelas, 'Anda Belum Lolos'. Aku jadi merunduk lesu. Lemas. Tak bergairah. Layu. Seperti daun putri malu yang tersentuh.

''Vo, bagaimana hasilnya?'' Oppo masih penasaran.

''Lo baca sendiri aja, Po ...'' Aku menyerahkan surat ini ke tangan Oppo. Kemudian dengan sigap, ia langsung membacanya.

''Jadi lo belum lolos ya, Vo?''

Aku mengangguk pelan. Sedih. Dengan pandangan mata yang berkaca-kaca.

''Sabar, ya!'' Oppo menyentuh bahuku dan mengusap-usapnya dengan lembut.

''Terima kasih.'' Tanpa sadar aku menangis. Tak kuasa menahan emosi. Berita ketidaklolosanku ini benar-benar mengguncangkan jiwaku. Karena aku sudah sangat berharap bisa lolos dan berkuliah tanpa biaya. Namun, pada kenyataannya tidak semudah itu. Kini musnahlah sudah harapanku. Terkubur bersama kegagalanku. Melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi hanya akan menjadi angan-angan belaka. Sia-sia sudah perjuanganku selama ini.

__***__

''Vivo ... ada apa dengan kamu? Kok hari ini terlihat murung, tidak seperti biasanya?'' tanya Hua Wei ketika aku berada di kelas.

"Kau bagai kain serbet. Kumal dan lecek. What wrong, Honey?"

''Ah, gak ada apa-apa.''

''Yakin? Kok, ada lampu merah di matamu. Kamu habis menangis, ya?''

''Tidak, Wei ....''

''Tak perlu bohong padaku, Vo ... aku tahu kamu pasti sedang menghadapi masalah. Ayo ceritakanlah padaku. Mungkin aku bisa membantumu.''

''Aku tidak bohong ... aku hanya kurang tidur. Semalam banyak nyamuk, jadi aku tidak bisa tidur. Hehehe ...'' Aku terpaksa berbohong. Aku tidak mau Hua Wei mengetahui permasalahanku.

"Pasti nyamuknya betina."

"???"

"Karena nyamuk jantan tak akan tega menggigitmu!"

"Hehehe ... Di mana-mana hanya nyamuk betina yang menghisap darah."

"Hehehe ..." Hua Wei nyengir.

''Ya, udah kalau begitu ... mungkin kau belum nyaman menceritakan masalahmu kepadaku. Tapi bila kau sudah merasa nyaman, aku siap menampung keluh kesahmu, Vo ...''

''Hehehe ... terima kasih, Wei ... kau memang temanku yang pengertian.''

''Hehehe ...'' Hua Wei jadi ikut tersenyum. Melebarkan bibirnya yang ranum.

''O, ya, Vo ... aku punya kabar gembira buat kamu, semenjak aku les sama kamu ... nilaiku jadi lebih baik. Dan karena itu orang tuaku memberikan banyak hadiah.''

''Hehehe ... syukurlah kalau begitu. Aku jadi turut senang, Wei ...''

''Nanti aku traktir kamu, ya!''

''Oke!''

Setiap kesedihan, pasti akan dibarengi dengan berita menggembirakan. Tuhan punya rahasia itu. Sebagai obat pelipur lara. Tangis dan tawa akan selalu berjalan beriringan. Menyelaraskan simponi dalam kehidupan. Semoga kita tak kehilangan harapan.