''I-ibu ... ba-bagaimana, Bang?''
''Ibumu sudah tidur, Vo ...''
''Bagaimana kalau Ibu terbangun?''
''Tidak akan, Vo ... kalaupun dia terbangun mungkin dia berpikir saya tidur di tempatmu ...''
Aku diam. Memandang hampa wajah Bang Sam. Keresahan dan kegelisahan tergambar di wajah tampan itu. Gamang. Seolah sedang menahan sesuatu. Entahlah, aku tidak tahu.
''Kita masuk ke kamarmu, Vo ...'' Bang Sam membujukku, ''kita bicara di dalam saja,'' lanjutnya.
''Ba-baiklah ...'' Aku menyetujui. Aku memasuki kamarku dan Bang Sam membuntutiku. Dia menyeret kakinya ke dalam kamar yang sama.
Pelan-pelan Bang Sam mengunci pintu kamar ini. Kemudian kami duduk mematung di tepi ranjang. Saling melengos dan saling menjaga jarak. Seolah di antara kami terhalang jurang pemisah yang terlalu dalam.
''Beberapa minggu ini, saya tidak berhubungan dengan Ibumu, Vo ...'' ungkap Bang Sam membuka suara setelah sekian lama kami terlarut dalam kebisuan.
Aku yang masih diam. Tanpa reaksi apa pun.
''Ada masalah di dalam kandungan Ibumu ... jadi dokter menyarankan agar kami tidak melakukan kegiatan itu terlebih dahulu hingga posisi kandungannya aman kembali.''
Aku menghela napas. Aku memahami maksud arah pembicaraannya.
''Saya laki-laki, Vo ... Sehat. Saya punya libido yang baik. Saya mempunyai hasrat yang tinggi. Saya butuh pelampiasan. Namun saya tidak ingin mengkhianati Ibumu ... biarlah saya menderita tertekan oleh gejolak nafsu yang membara. Namun semakin saya tahan, saya semakin tidak kuat. Kepala saya terasa mau pecah. Seperti digedor palu yang besar. Tiap malam saya gelisah. Tak dapat tidur. Saya harus bagaimana?''
''Cukup ... Abang jangan bicara lagi!''
Bang Sam jadi terdiam. Matanya menyorot resah ke arahku.
''Aku tahu, Abang menginginkan sesuatu dariku, iya, 'kan?''
Bang Sam masih tak bergeming.
''Demi Ibuku, saya rela, Bang, diperlakukan apa saja sama Abang ...'' Aku membuka satu per satu pakaianku.
''Vivo ... saya tidak mau memaksamu.''
''Tidak ... aku ikhlas, Bang ...'' Seluruh pakaianku terlepas dari badanku. Aku bugil di hadapan Bang Sam. Seperti penari striptis, aku bergoyang-goyang meliukan badan. Merangsang dan membangkitkan gairah penonton.
''Vivo ... Kau?''
Aku mendekati Bang Sam, lalu mengecup bibirnya. Mesra. Seperti pelacur yang ingin memuaskan pelanggannya. Mengusap dan meraba setiap jengkal bagian tubuh sensitifnya.
''Tubuhku, kupersembahkan untukmu, Bang ...''
Bang Sam hanya terdiam. Dia tercengang. Seolah tak percaya dengan apa yang aku lakukan. Aku sendiri juga tak sadar. Mengapa aku bisa seliar dan sejalang ini. Seolah sedang dirasuki oleh makhluk yang tak kasat mata. Semua yang kuperagakan benar-benar di luar kendaliku. Tiba-tiba saja, aku jadi binal dan nakal. Seperti seekor kucing yang kelaparan. Aku menjilat dan mengulum bibir Bang Sam tanpa jedah. Tanganku aktif bergerilya meremas-remas tonjolan kontol Bang Sam yang sudah mengeras dan kencang di balik celana kolornya.

Dengan ganas, aku melucuti semua pakaian Bang Sam, lalu membuangnya jauh-jauh hingga jatuh berserakan di lantai. Tanpa ragu aku mencumbui tubuh molek Bang Sam. Melumat bibirnya. Menggigit sayang daun telinganya. Menjilati lehernya. Mencecap puting-putingnya. Menghisap keringatnya. Menghirup aroma kejantanannya. Meremas dada bidangnya. Hingga laki-laki bertubuh kekar ini menggelinjang tak karuan. Menggeliat manja merasakan setruman kenikmatan yang aku lancarkan.
Lidah basahku menari-nari di setiap pori kulitnya. Meliuk-liuk kasar lingkaran hitam di putingnya. Hingga Bang Sam kejang-kejang keenakan. Kemudian ujung lidah ini turun menelusuri setiap mili perut kotak-kotaknya, lalu menukik tajam pusar dan pubisnya. Tubuh Bang Sam bergidik berkali-kali, setiap sentuhan lidah becekku mencabik permukaan kulitnya.
AAAAACCCKKKKHHHH ... terdengar rancauan dari mulutnya. Mengintruksikan aku untuk melayaninya dengan gerakan yang lebih menggoda. Lebih bergelora. Lebih panas.
Aku melepaskan celana kolor Bang Sam. Hingga mencuatkan batang kontolnya yang sudah panas membara, seperti singkong terbakar. Berdiri tegak menjulang tinggi, seakan hendak menyundul langit-langit. Seperti pentungan security. Panjang. Tebal. Hitam. Kokoh manggut-manggut seperti pisang ambon yang hidup berdenyut-denyut.
Aku membaringkan tubuh Bang Sam dan membiarkannya terhampar seperti seekor kodok jantan. Terbaring pasrah dengan kontol yang ngacung ke atas. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Mendobrak gairah. Memancing nafsu serakah. Serakah untuk segera melumatnya. Mengulumnya. Mengisapnya. Menyepongnya. AAAACCCCKKKKHHH ....

Aku merunduk. Mendekatkan hidungku pada wilayah antara kedua pahanya. Organ penciumanku ini kubiarkan mendeteksi aroma khas kelelakian yang semerbak dari biji-biji kontol Bang Sam. Pelan-pelan aku menjulurkan lidahku, dan mulai menjilati telor-telor Bang Sam yang bergelantungan seperti buah salak. Sesekali aku gigit manja telor-telor itu hingga tubuh Bang Sam kelojotan.
Sambil menjilati biji dan batang kontolnya, aku tidak membiarkan kedua tanganku menganggur. Dengan lembut aku juga mengusap kedua paha Bang Sam dengan sentuhan nakal jari-jemariku. Memberikan rangsangan menggelitik yang mengasikan. Membuat mata Bang Sam jadi merem melek.
Puas memanjakan dan menikmati telor serta sosis Bang Sam. Kini saatnya aku mengeksekusi bagian bekas jahitan sunatannya dengan jilatan cetar lidahku. Srup ... Srup ... Srup ... nikmatnya. Tubuh Bang Sam jadi oleng ke kiri dan ke kanan seperti kapal yang terserang badai di lautan.
OUGHH ... AH ... AH ... AH ... hanya suara desahannya yang menggema. Memecah keheningan malam yang penuh gairah ini.
Dari leher kontol naik ke kepala kontolnya yang merona seperti ice cream rasa strawberry. Merah muda. Mengkilat. Kedat-kedut. Lubangnya ngiler memuntahkan cairan percum yang bening dan lengket. Wow... sedapppp! Kujilat cairan itu hingga tak bersisa. Enak gila! Rasanya asin-asin gurih. Seperti campuran garam dan vetsin.
Saatnya aku memasukan seluruh batang kontol Bang Sam ke rongga mulutku. Membiarkan benda bulat panjang itu menyodok-nyodok dan mengoyak-ngoyak dinding kerongkonganku. AH ... AH ... AH ... AH ... desahan dan rancauan kembali terdengar sejalan dengan goyangan pantat Bang Sam yang maju mundur naik turun. Menyelaraskan dengan gerakan keluar masuk kontolnya di mulutku. OUGH ... AH ... AH ...

Setelah puas mengentoti mulutku. Kini tiba giliran Bang Sam yang mencumbuiku. Mencium bibirku. Menjilat leherku. Menggigit putingku. Meremas dada dan perutku sambil mengocok-ngocok kontolku. OUGH ... aku jadi menggelijang tak karuan. Dahsyat. Nikmat. Tak tertahankan.
Bang Sam berhasil membuatku bergelora. Hingga aku bersikap pasrah. Aku siap dengan kemungkinan apa pun yang terjadi. Jiwa raga ini kuberikan untuknya. Seolah tak ada lagi yang perlu diragukan. Segalanya kupersembahkan sebagai bukti pengorbanan.
Bang Sam menghamparkan tubuhku. Mengangkangkan diriku. Seperti seekor ayam potong yang siap tersaji utuh di meja. Laki-laki tampan itu merenggangkan kedua pahaku. Kepalanya merunduk, lalu lidahnya menjulur. Dan tak lama kemudian lidah itu meliuk-liuk manja. Menjilati lubang boolku. AAACCCKKKHHHH ... aku mendesah. Aku merancau. Aku tak kuasa. Menahan sejuta rasa yang penuh dengan kenikmatan surga dunia.
Aku menarik napas. Mengatur pernapasan yang mendadak ngos-ngosan. Seolah sedang berlari marathon. Tubuhku menggeliat setiap kali Bang Sam me-rimming boolku. Enak. Geli. Asik. Serasa terbawa terbang tinggi ke angkasa raya.
''Vivo ... apa kamu sudah siap, Sayang?''
Aku hanya mengangguk perlahan.
''Tahan ya, mungkin awalnya akan menyakitkanmu. Tapi tenang saja, pelan-pelan pasti kamu juga akan merasakan enaknya.''
Aku mengangguk lagi. Aku menarik napas panjang. Kupejamkan kedua mataku saat Bang Sam mulai mengarahkan kepala kontolnya ke dalam liang anusku. Ugh ... sakit sekali. Ketika benda tumpul dan keras itu merobek dinding boolku. Rasanya seperti tersilet-silet. Hampir aku menjerit lantang. Namun aku menahan dengan mencengkram kuat-kuat kain sprei hingga berantakan. Untuk sekian lamanya aku tersiksa dalam rasa yang sulit ku gambarkan dengan kata-kata. Seperti hendak buang air besar tapi tertahan. Tak bisa dikeluarkan tak bisa dimasukan. Tak ada yang aku lakukan, aku diam tak bersuara hanya air mata yang berbicara. Yang meleleh tak terkendali. Tanpa tersadari butiran tangis itu membasahi pipi. Namun, seiring laju detik sang waktu. Rasa sakit itu berangsur-angsur menghilang dan berganti dengan rasa nikmat yang tak terlukiskan.
Bang Sam mulai mengentoti boolku. Kontolnya sudah lancar keluar-masuk membobol gawang keperawanku. OUGH ... AH ... AH ... hanya desahan dan demi desahan yang terlontar dari mulut kami. Saling memberi dan menerima. Saling mencium dan melumat. Menyodok dan mengocok. Menciptakan gelombang kenikmatan yang menghantam tubuh kami bersama.
Di balik dinding yang mengungkung. Di balik pintu yang terkunci. Kami bercinta tanpa suara. Seperti mendapatkan kebebasan di balik sel penjara. Diizinkan bergerak sesuka hati. Bergoyang maju mundur. Menggenjot naik turun. Boleh berbicara tapi tak boleh bersuara. Kami berpacu dalam membakar gairah. Meskipun ada perasaan cemas dan takut. Kami terus bergumul. Saling menyerang dan melancarkan gencatan senjata. Hingga tercipta ledakan-ledakan kenikmatan yang bertubi-tubi. Seperti gunung api yang menyemburkan magma.
CROOOT ... CROOOT ... CROOT ....
Ketika semuanya selesai, kami terkapar lemas di atas ranjang. Sambil berpelukan mata kami menekuri langit-langit kamar dengan perasaan yang resah. Gelisah.

''Kita tidak mungkin sembunyi-sembunyi terus, Bang ...'' desahku galau. ''Suatu saat pasti ketahuan.''
''Lalu, sebaiknya bagaimana?'' cetus Bang Sam sama bingungnya.
''Ini yang pertama dan yang terakhir, Bang ...''
''Kenapa? Apa kau tidak menyukainya? Kau menyesal?"
''Bukan ... tapi demi kebaikan kita semua.''
Bang Sam terdiam. Dia hanya memelukku dan mengecup keningku.