webnovel

Part 46 : Siswa Baru

Kabar kehamilan ibu sungguh menggembirakan bagi kami. Malaikat kecil telah bersarang di rahim ibu. Jabang bayi yang akan menjadi anggota baru di keluarga ini. Ibu senang, Bang Sam senang, dan aku juga. Sama senangnya dengan diriku yang menyambut Tahun Ajaran Baru. Memasuki kelas yang baru. Teman yang baru. Dan yang pasti ilmu serta pelajaran-pelajaran yang baru pula.

Separuh dari teman-temanku di kelas XI tak lagi sekelas denganku. Mereka terpecah dan menempati beberapa ruang kelas yang berbeda. Aku jadi sedih, karena aku terpisah kelas dengan sahabat-sahabat dekatku. Oppo, Advan, Evcoss dan lainnya. Mereka memencar dan membaur dengan kelas barunya masing-masing.

Aku tidak tahu, dengan siapa aku duduk bersebelahan. Aku hanya memasuki ruang kelasku dengan perasaan yang hampa. Merasa terasing di tengah keriuhan teman-teman lain yang justru menampakan wajah keceriaan. Semringah. Tanpa banyak beban pikiran.

Aku menduduki bangku yang masih kosong. Letaknya di baris pertama deretan kolom ketiga. Tepat di tengah-tengah. Aku memilih bangku yang dekat dengan jendela agar mendapatkan angin segar.

Baru beberapa menit aku meletakan pantatku di bangku, tiba-tiba ada seorang siswa yang datang menghampiriku. Seorang laki-laki berkulit putih. Berperawakan tinggi dan besar. Bermata sipit. Beralis tebal dan berhidung bangir. Berkaca mata minus.

Huawei

''Permisi ...'' ucapnya pas di depanku, ''apa bangku ini masih kosong?'' lanjutnya.

''I-iya ... mmm ... ma-masih kosong,'' jawabku.

''Apa aku boleh duduk semeja denganmu?'' tanyanya.

''Boleh ... silakan!''

''Terima kasih.''

Cowok ini duduk di sebelahku dengan wajah yang berseri-seri. Tersenyum lepas dengan senyuman simpul yang sedap di pandang mata. Bibirnya merekah kemerahan dengan hiasan kumis tipis khas brondong di atasnya. Tampak cute. Apalagi ada sentuhan lesung pipit di pipinya.

''O, ya ... kenalkan, namaku Hua wei,'' ucap cowok manis ini sembari menyodorkan telapak tangannya di hadapanku.

''Vivo ...'' sambutku dengan menjabat tangannya.

''Senang berkenalan dengan kau, Vivo ...''

''Sama, gue ... eh, aku juga!''

''Hehehe ...''

''Hua ...''

''Panggil aja Wei!''

''Oke, Wei ... aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Maaf, apa kau siswa pindahan?''

''Iya, aku memang siswa pindahan dari Singkawang, Kalimantan Barat.''

''O, gitu ... pantesan, wajahmu masih asing di mataku.''

''Hehehe ...''

''Kenapa kau pindah, Wei?''

''Karena aku mengikuti orang tua yang buka toko hape di daerah sini.''

Aku manggut-manggut seraya memperhatikan tubuh Hua Wei yang terlihat berisi.

''Apa kau keturunan Tiong Hoa?''

''Yes ...''

''Ooo ...''

Hua Wei menyunggingkan senyuman manisnya. Wajahnya tampak merona. Seperti buah delima. Menawan dan menggoda.

Sejak saat itu, hubunganku dengan Hua Wei semakin hari semakin bertambah akrab. Tak hanya memiliki paras yang rupawan, ia juga dermawan. Sering sekali ia mentraktirku. Membelikan minuman dan juga makanan ringan. Kehadirannya cukup mengobati kesepianku karena terpisah dengan sahabat-sahabat dekatku. Tingkahnya yang kocak kerap kali menghiburku. Kelucuan sikapnya tak jarang membuatku terpingkal. Ngakak. Tertawa terbahak-bahak. Ia memang pandai membuat lelucon, meskipun terkadang guyonannya terdengar sangat garing. Krik-krik.  Kepribadian Hua Wei yang supel membuatnya ia mudah bergaul dengan siapa pun. Sehingga, ia cepat sekali membaur dan dekat dengan teman-teman yang lain. Walaupun ia siswa pendatang baru di sekolah ini, ia malah lebih banyak memiliki teman dibandingkan dengan aku. Yang hanya mempunyai teman yang masih bisa dihitung dengan jari. Hiks ... hiks ... hiks ...

''Vivo ... aku dengar, kamu salah satu siswa yang prestasinya cukup menonjol,'' ujar Hua Wei suatu hari saat kami berada di kantin.

''Ah, kata siapa, aku biasa-biasa aja, kok ...'' timpalku seraya menyantap semangkok baso.

''Banyak teman-teman yang bilang ... kamu selalu mendapatkan peringkat pertama di kelas.''

''Hehehe ... hanya kebetulan.''

''Tak ada sesuatu yang kebetulan, Vo ... prestasi hanya bisa diraih oleh orang-orang yang giat berusaha. Karena hasil tak pernah mengkhianatinya.''

''Hehehe ...'' Aku meringis seraya menusuk satu buah baso dengan garpu lalu memakannya perlahan-lahan.

''Vivo ... sejujurnya, aku lemah dalam beberapa mata pelajaran. Dan aku ingin memperbaiki nilainya, maukah kau menolongku?''

''Tentu, jika kau menginginkannya. Tapi bagaimana caranya?''

''Luangkan sedikit waktumu untuk memberikan les private kepadaku. Apa kau setuju?''

''Hmmm ... akan kupikirkan.''

''Please! Aku sungguh, berharap. Jangan khawatir! Aku pasti akan memberikanmu imbalan. Aku akan mentraktirmu lebih banyak. Atau bila kau bersedia, aku akan membayar jasa les private-mu berapa pun yang kau mau?''

''Tawaran yang sangat menarik.''

''Jadi bagaimana? kamu mau, bukan?''

Aku terdiam. Merenung sejenak sebelum menjawab tawaran dari Hua Wei. Saat ini Ibuku sedang hamil. Kandungannya kian hari kian membesar. Beliau pasti membutuhkan biaya cukup besar untuk persalinan dan keperluan si bayi. Bila aku menerima tawaran Hua Wei untuk memberikan Les Private, itu berarti hasilnya bisa kugunakan untuk keperluanku sendiri. Jadi, aku tidak perlu meminta uang jajan pada Ibu lagi. Uang sakuku bisa dialokasikan ke keperluan yang lain. Yang lebih penting dan lebih bermanfaat.

''Vivo ... kok diam?'' celetuk Hua Wei membuyarkan lamunanku, ''gimana apa kamu berminat?'' imbuhnya.

''Oke ... aku berminat, Wei!''

''Kalau gitu kapan kamu bisa mengajariku, Vo?''

''Kapan saja kalau kamu mau. Wei ... lebih cepat dan lebih sering itu lebih baik.''

''Baiklah, bagaimana kalau nanti sore kita mulai?''

''Siap!''

Aku dan  Hua Wei melakukan salam tos. Tanda persetujuan. Tanda kesepakatan bersama. Aku benar-benar sangat senang mendapatkan tawaran seperti ini. Karena dengan begitu aku bisa meringankan beban Ibu dan keluargaku.