webnovel

Part 45 : Adik

Di dalam kamar aku langsung merebahkan diri di atas dekapan kasur. Badanku terasa pegal, lelah dan letih. Capek sangat. Mataku juga mengantuk berat. Dayanya seolah tinggal beberapa watt. Tanpa banyak tingkah, aku pun memejamkan mata dan tak lama kemudian aku terlelap. Tidur. Tak mempedulikan Bang Sam yang sedang bercuap-cuap. Bersama Bang Kia dan juga Bang Leno di luar. Mungkin Ibu juga turut mendampingi mereka. Menyediakan minuman dan camilan sebagai teman mengobrol. Saat mereka tengah asik berhaha-hihi, aku sudah terbuai di jagad mimpi.

Sekitar pukul 16.00 WIB, aku terbangun. Suasana di dalam rumahku sudah sepi. Aku menduga Bang Kia dan Bang Leno telah pergi. Meninggalkan rumahku dan kembali ke asalnya mereka masing-masing. Aku keluar dari tempat pembaringanku, lalu berjingkat ke kamar mandi. Pipis dan menyegarkan diri dengan mencuci muka. Selanjutnya aku kembali ke kamar dan tiduran lagi. Bermesraan lagi dengan bantal dan guling.

Beberapa menit kemudian ....

''Tok ... Tok ... Tok!!!'' Pintu kamarku terketuk.

''Vivo ...'' Itu suara berat Bang Sam, ''Kau sudah bangun, Vo?'' imbuhnya.

''I-iya!'' jawabku gugup.

''Bolehkah saya masuk?''

''Tunggu sebentar!'' Aku bangkit dari ranjang tidurku dan segera membukakan pintunya.

''Klik!'' Pintu terbuka dan berdirilah laki-laki tegap di depanku. Bang Sam.

''Kau masih marah pada saya, Vivo?''

''Tidak!'' Aku menggeleng keras.

''Saya mau minta maaf atas perlakuan saya terhadapmu kemarin ... mustinya saya tidak memaksakan kehendak saya hingga membuatmu ketakutan. Saya janji, saya tidak akan mengganggumu lagi.''

''Iya ... aku juga mau minta maaf, seharusnya aku tidak berkata-kata kasar terhadap Abang ...''

''Hehehe ... sudahlah, lupakan saja, Vo ...''

Aku mengangguk.

''Apa kau masih mau menjalin persahabatan dengan saya?''

''Kita sudah saling memaafkan, kurasa tidak perlu lagi kita membentangkan tembok permusuhan.''

''Jadi?''

''Kita berteman!'' Aku mengulurkan tanganku ke hadapan Bang Sam.

''Oke!'' sambut Bang Sam dengan senyuman. Senyuman manis seperti biasanya. Senyuman yang indah. Seindah tubuhnya yang gagah perkasa.

Aku dan Bang Sam saling berjabatan tangan. Sebagai simbol akhir dari permusuhan. Jabatan erat yang menghancurkan dinding-dinding keegoisan. Menjalin kembali tali hubungan yang sempat retak. Hubungan keluarga. Antara ayah dan anaknya.

''Apa saya boleh memelukmu, Vo?''

Aku diam. Hanya mataku yang berbinar menatap wajah bersihnya. Wajah teduh yang sesungguhnya selalu membuatku dilanda rasa rindu.

''Hanya pelukan sayang, Vo ... tanpa embel-embel apa pun!''

Aku mengangguk perlahan sebagai bentuk perizinan. Dan Bang Sam pun segera mendekap tubuhku. Memelukku erat. Erat sekali. Seolah tak ingin dilepaskan. Pelukannya masih sama seperti yang dulu. Pelukan kasih yang penuh dengan kedamaian. Aku suka.

''Bang ...'' Aku melepaskan pelukan Bang Sam.

''Iya ...'' sahut Bang Sam.

''Apa benar, Abang yang mengirim Bang Kia dan Bang Leno ke Curug?''

''Iya ...''

''Kenapa?''

''Karena saya sangat mengkhawatirkanmu, Vo ...'' Bang Sam mengusap lembut pipiku.

''Kenapa Abang melakukan itu?'' Aku melepaskan usapan tangannya.

''Karena saya sayang sama kamu, Vo ...''

Mataku dan mata Bang Sam saling memandang. Saling menjerat. Saling memancarkan gelombang suara dalam hati nurani. Suara kejujuran. Suara yang murni tanpa terkontaminasi dramatik yang penuh kepalsuan.

''Vivo ... apa kau tidak suka, kalau saya melakukan itu semua?''

Aku terdiam.

''Jika kau tidak suka, maka saya meminta maaf dan tidak akan melakukan hal itu lagi ...''

''Mengapa ... Abang begitu baik padaku?'' tanpa sadar aku menitikan butiran air mata.

''Vivo ... kenapa kamu menangis?'' Bang Sam buru-buru menghapus air mataku dengan telapak tangannya, ''bukankah kau sudah pernah berjanji tidak akan menitikan air mata di depan saya?'' imbuhnya.

''Aku tidak menangis, Bang ... Aku hanya terharu. Ternyata aku telah memiliki ayah yang begitu baik terhadapku ... Ayah yang selama ini aku idam-idamkan.''

''Mungkin saya bukan ayah yang terbaik buat kamu, Vo ... tapi saya akan mencoba jadi ayah yang baik buat kamu dan adik-adikmu nanti ...''

''Adik?'' Aku mengkerutkan dahi.

''Iya, Adik!''

''Sudah lama aku ingin memiliki seorang adik.''

''Dan keinginanmu itu akan segera terwujud, Vo ...''

''Hah? Maksudnya?''

''Ibumu sedang hamil, Vo ...''

''Hah ...?'' Aku ternganga. Merasa sangat terkejut. Rasa kaget dan gembira bercampur jadi satu. Jiwaku seolah tertiup angin surga. Sejuk dan membahagiakan.

''Benarkah itu, Bang?'' Aku masih tak yakin.

''Benar, Sayang!'' Bang Sam mengusap pipiku lagi untuk meyakinkanku.

Dan itu membuatku jadi tak bisa berkata-kata lagi. Aku langsung memeluk tubuh Bang Sam. Memberikan ucapan selamat. Menasbihkan do'a dan mencurahkan rasa kebahagiaan yang tak terhingga.

Puas memeluk tubuh kekar Bang Sam. Aku keluar dari kamarku dan mencari-cari keberadaan Ibu.

''Ibu ...!'' pekikku lantang saat Aku melihat tubuh Ibu sedang memasak di dapur. Aku mendekatinya, lalu memeluknya dengan sangat excited. Senang. Suka. Gembira ria.

''Ada apa, Vivo?'' Ibuku jadi kebingungan.

''Apa benar ibu akan memberikanku seorang adik?''

''Siapa yang bilang padamu, Nak?''

''Bang Sam ... eh, maksudku, Ayah, hehehe ...''

''Vivo ... tadi pagi Ibu pergi ke dokter. Karena ibu merasa sedang tidak enak badan. Semalaman Ibu cemas memikirkanmu. Namun, dokter malah memberikan kabar yang cukup mencengangkan ... kata dokter Ibu sedang mengandung janin dua minggu.''

''Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah, akhirnya Vivo akan mempunyai seorang adik.''

Aku dan Ibu berpelukan dalam rasa kebahagiaan. Semoga anak yang dikandung Ibu membawa keberkahan di keluarga ini. Aamiin!