webnovel

Part 38 : Perjalanan

Aku pergi meninggalkan rumah. Meninggalkan raut wajah Bang Sam yang mengisyaratkan rasa kekecewaan yang dalam. Mungkin perkataanku tadi telah melukai perasaannya. Dan aku menyesal telah mengeluarkan kata-kata yang terdengar kasar di telinga itu. Namun, siapa yang peduli? Bang Sam yang terlebih dulu memaksaku dan memicuku untuk bersikap demikian. Salahkah aku? __Maafkan diriku, Bang ... bila aku telah bertindak lancang.

''Vo ...'' tegur Oppo saat kami dalam perjalanan.

Kami naik APV yang disewa teman-teman beserta seorang sopir. Aku tidak tahu nama sopirnya. Seorang laki-laki setengah baya. Dia duduk fokus menyetir dan tak sedikit pun bersuara.

''Vivo ...'' Oppo menggoyang-goyangkan tubuhku.

''Iya ...'' jawabku kaget.

''Kenapa? Kok lo diam aja?''

''Gak apa-apa.''

''Yakin? Daritadi gue perhatiin lo bengong aja. Lagi mikirin apa, sih?''

''Gak kok, gue gak mikirin apa-apa. Beneran!''

''Ya udah, biar gak bengong, lo cobain ini!'' Oppo mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong jaketnya, lalu menyodorkannya ke hadapanku.

''Hah ... sejak kapan lo merokok, Po?''

''Udah lama, keles!''

''Tapi, gue gak pernah melihatnya.''

''Hehehe ... udah gak usah banyak comment, mending lo cobain aja!'' Oppo mengeluarkan satu batang rokok, lalu meletakannya di atas telapak tanganku.

''Gue, belum pernah. Gue gak bisa!''

''Gue ajarin!'' Oppo memasukan batang rokok itu ke mulutku.

''Tapi ...''

''Udah gak usah tapi-tapian ... tahan dengan bibir lo rokoknya!''

Aku mengikuti arahan Oppo. Batang rokok itu kujepit dengan bibirku.

''Bagus!'' ujar Oppo, kemudian dia menyalakan korek gas dan mengarahkan apinya ke ujung rokok yang telah menempel di mulutku.

''Hisap!'' titah Oppo saat ujung tembakau itu mulai terbakar api. Aku manut. Kuhisap pelan-pelan.

''Oke, lepaskan rokoknya dan hembuskan asapnya!''

Aku melepaskan rokok dari mulutku, lalu aku memonyongkan mulutku dan meniupkan asapnya.

''Hehehe ... gampang, 'kan?'' Oppo terkekeh melihat aksi perdanaku mengeksekusi batang rokok. Masih kaku. Polos. Terbatuk-batuk.

''Iya, gampang ...''

''Oke, sekarang hisap lagi, tapi pelan-pelan, biar lo kagak tersedak dan batuk-batuk kayak orang bengek!"

Aku mengangguk. Kemudian aku menyelipkan kembali batang rokok itu ke dalam mulutku dan mulai menghisapnya perlahan-lahan. Aku menikmatinya, lalu menghempaskan asapnya jauh-jauh. Lumayan, aku sudah mulai menguasainya.

''Woy ... Si Vivo merokok, Choy!'' seru Advan yang duduk di bagian tengah bersama Evcoss.

''Mantap, Bro!'' timpal Evcoss sembari memberikan salam tos ke tanganku.

''Gitu dong, jadi cowok itu harus merokok biar gaul dan terlihat macho ...'' komentar Advan.

''Joss Gandoss, deh!'' imbuh Evcoss.

''Hehehe ...'' Kami jadi terkekeh. Kemudian kami semua merokok. Membakar lintingan tembakau hingga habis sebungkus. Mengepulkan asap. Menghempaskan butiran nikotin. Rasanya sedikit aneh. Ada manis-manisnya, tapi sedikit sepat. Mataku juga terasa perih terkena imbas polusi asapnya. Namun begitu, kegiatan ini cukup seru dan menyenangkan. Apalagi dilakukan bareng teman-teman. Membuatku lupa akan masalah yang sedang menderaku. Masalah keluarga yang merenggangkan hubunganku dengan Bang Sam. Tak seharmonis seperti dulu. Entah, siapa yang musti disalahkan.

Sepanjang perjalanan ini aku dan teman-teman bersenda gurau. Mengumbar tawa penuh keceriaan. Ledek-ledekan. Guyon-guyonan. Ngakak sambil joget-joget tak jelas. Mengikuti hentakan musik dugem yang distel Pak Sopir.

Beberapa saat kemudian,

Kriiing ... Kriiing ... Kriing!

Nada dering ponselku berbunyi di tengah suka cita dalam laju kendaraan roda empat ini. Ada sebuah panggilan suara dari nomor Ibuku. Aku langsung mengangkat panggilannya.

''Halo ... Vivo!'' sapa Ibu dari seberang sana.

''Ya, Bu ...''

''Kamu di mana?''

''Di jalan.''

''Mau kemana?''

''Pergi sama teman-teman, Bu ...''

''Vivo, kenapa kamu tidak izin dulu sama Ibu?''

''E ... Ibu tidak ada di rumah.''

''Kan, kamu bisa memberitahukan lewat telepon atau WhatsApp Ibu!''

''Iya, Maaf, Bu ...''

''Ibu kecewa sama kamu, Nak ...''

Aku jadi terdiam.

''Terlebih kamu juga tidak menggubris larangan Ayahmu ...''

Aku masih terdiam dan mendengarkan semua ceramah Ibu.

''Mengapa kamu tidak mau mendengar larangan Ayahmu, Nak ... bagaimanapun juga dia itu orang tuamu ... kamu harus menghormatinya ... kamu tidak boleh membantahnya karena itu demi kebaikanmu ...''

Aku tetap tak bergeming. Membisu.

''Vivo ... Vivo ... kamu mendengarkan Ibu, Nak?''

''I-iya, Bu ... Vivo dengar ...''

''Oke ... sekarang kamu ada di mana, bisa gak kamu pulang segera!''

''Maaf, Ibu ... kami hampir sampai dan tidak bisa pulang segera.''

''Huft ...''

''Kami mau ke curug, Bu ... kemah!''

''Ya udahlah, hati-hati aja di jalan. Saran Ibu kalau mau pergi-pergi kabarin Ibu dahulu, dan jangan pernah membantah omongan Ayahmu lagi, oke!''

''Ba-baik, Bu!''

''Ibu sayang kamu, Nak ...''

Tut ... Tut ... Tut ... panggilan telepon berakhir. Aku jadi termangu setelah mendengar omongan ibuku. Beliau benar. Aku telah berdosa karena tidak memberitahukan beliau tentang kepergianku dan membantah larangan Bang Sam. Hingga Ayah Tiriku itu kecewa. __Maafkanlah anakmu ini, Ibu ... Ayah ... Aku juga sayang pada kalian. Sungguh!