Sebab itu Adrian ikut menangis, merasakan sakit yang luar biasa. Ia sendiri ragu apakah Arya bisa menerima kepergian adiknya atau tidak.
Adrian terus memeluk, semakin lama semakin erat. Untuk kali ini saja, ia ingin menerima luka akibat semua kesalahan yang telah diperbuat adiknya pada Arya selama ini. Ia tak ingin Arya jatuh mental untuk jangka panjang. Namun disisi lain, Adrian tahu bahwa Arya adalah sosok bocah yang kuat dan ia hampir tak pernah melihatnya menangis. Tetapi saat ini, bocah itu menangis di pelukannya. Tak kuasa menahan rasa sakit, memikirkan kapan ia bisa bertemu lagi dengannya.
Pada akhirnya, Arya memilih kembali ke rumah, bolos sekolah. Ia mengurung diri di kamar hingga menjelang siang hari. Kemudian teman yang ia anggap pengganggu pun datang. Menerobos masuk tanpa basa-basi
"Yak. Kamu ngapain coba nangis cuma ditinggal Amel pindah ke Denmark?"
"Cuma ditinggal, kepala bapak kau. Amel pindah ke Denmark nggak sebentar, tolol. Kayaknya lebih dari 5 tahun," kata Arya, matanya sedikit lebam.
"Lima tahun itu nggak lama kalo kamu nggak nunggu dia. Jalani aja keseharianmu kayak biasanya aja. Anggap aja Amel cuma pergi liburan doang. Suatu saat kamu bakal ketemu lagi sama dia. Percaya deh sama aku."
Disisi lain. Amelia dan kedua orang tuanya menikmati pemandangan awan di dalam pesawat.
"Mel, kamu nggak boleh sedih. Ini pilihanmu sendiri kan, nggak mau bicara pada Arya sampai kita pindah. Sudah tak ada kesempatan lagi buat kembali, Nak," kata ibunya.
Amelia menahan suara tangis sampai matanya berwarna merah darah. Sesuai keputusannya, mulai sekarang ia tak ingin lagi bergantung pada Arya.
Amelia dan Arya pun tak akan bertemu lagi selama beberapa tahun. Dan mereka menjalani kehidupan di negara yang berbeda.
Pada pertengahan tahun 2018, tepatnya pada bulan Agustus, Arya telah menginjak berumur 18 tahun, yang mana pada tahun ini ia memulai kehidupannya di sekolah dengan tingkat yang lebih tinggi. Yaitu dunia perkuliahan. Arya telah mendaftarkan dirinya disebuah kampus negeri. Ia mengikuti ujian masuk dan ia lolos, namun hasilnya tak cukup baik. Karena ia berada di peringkat 10 dari bawah, dan selisih nilai dengan peserta lainnya hanya nol koma sekian.
Berbeda saat ia masih berada di Sekolah Dasar, Arya hampir menguasai semua mata pelajaran, akademik maupun non akademik, seperti Seni Keterampilan dan Olahraga. Namun ketika ia mulai memasuki jenjang SMP, kemampuannya mulai menurun, namun ada beberapa mata pelajaran yang ia mampu menghafal seperti Ilmu Pengetahuan Sosial. Setidaknya Arya masih bisa mengikuti mata pelajaran yang tak berkaitan dengan hitung-hitungan seperti Matematika dan IPA.
Dan ketika masuk SMA, kemampuannya dalam akademik semakin parah. Ini biasa terjadi pada anak yang memiliki mimpi setinggi langit, namun usahanya bahkan tak sebanding. Namun hanya satu mata pelajaran yang ia senangi karena itu salah satu hobinya, yaitu Olahraga. Lulus dari SMA, ia langsung mendaftar kampus negeri dan mengambil jurusan di bidang olahraga khusus. Olahraga khusus disini, maksudnya bidang olahraga yang memfokuskan mahasiswanya sebagai atlet, bukan sebagai guru olahraga di sekolah pada umumnya.
Pada bulan Agustus, kampusnya mengadakan OSPEK sebagai pengenalan pada mahasiswa baru (MABA) baik dari sistem pembelajaran di kampus, lingkungan kampus, gedung-gedung kampus, dan lainnya. Ini berguna untuk mahasiswa baru yang belum pernah sama sekali berkunjung di sebuah kampus sekaligus memudahkan mereka untuk beradaptasi dengan sekitar.
Dengan dilaksanakannya OSPEK, sesuai kebijakan penyelenggara, mahasiswa baru diharuskan membawa peralatan yang diperlukan selama kegiatan OSPEK. Salah satunya, mereka harus membuat tas dari kardus dan dihiasi dengan daun-daun kering di setiap sisinya. Meski terdengar konyol, peraturan tetaplah peraturan.
Arya yang tak pintar dalam keterampilan, menelpon salah satu teman SMA-nya, Zia, yang kebetulan satu jurusan dengannya.
"Halo, Zi. Kau lagi di rumah nggak?" tanya Arya melalui telepon WhatsApp.
"Halo, Yak. Aku lagi di rumah nih. Ada apa?" Zia tanya balik pada Arya.
"Aku ke rumahmu sekarang boleh, ya? Mau minta tolong bantuin buat tas kardus konyol itu."
"Ohh. Ya udah kesini aja. Ini yang lain juga pada bikin tas kardus di rumahku?"
"Baguslah. Aku kesana sekarang."
"Oke, Yak. Aku tunggu."
Mematikan teleponnya, Arya dengan cepat menyiapkan bahan yang sekiranya dibutuhkan untuk membuat tas kardus. Ibu Arya melihat anaknya yang seliweran.
"Yak, mau kemana? Kok buru-buru?" tanya sang ibu pada anaknya. "Oh ibu. Aku kira siapa. Aku mau ke rumah Zia. Kerja sama mau bikin tas kardus buat ospek kampus."
"Ke rumah Zia? Zia siapa?"
"Itu teman SMA, yang tulang tangannya sempat retak gara-gara kecelakaan."
"Oh, Zia yang itu. Ya udah hati-hati di jalan. Jangan ngebut-ngebut," kata Ibu Arya mengingatkan anaknya
Arya mengangguk, lalu berpamitan pada ibunya. Membuka pintu garasi, helmnya telah siap yang selalu ia taruh di atas spion motor. Menggunakan helm, mengeluarkan motor dari garasi, ia langsung menancap gas dengan perlahan. Ketika sudah jauh dari rumah, baru ia mengeluarkan skill pembalapnya.
Tak sampai 15 menit, Arya telah sampai di rumah Zia. Di depan rumahnya, banyak sekali motor yang diparkirkan dengan sembarangan. Arya pun mengikutinya dan dengan segera turun dari motor. Tanpa memanggil pemilik rumahnya pun, Zia tahu-tahu sudah membukakan gerbang untuknya.
"Lo, Zi. Kok tahu aku udah datang?" tanya Arya dengan wajah menahan tawa.
"Nggak usah banyak tanya. Kau lagi naik motor udah kayak orang kesurupan. Nggak di jalan sepi, nggak di jalan ramai, tetap aja ngebut," kata Zia dengan nada tak biasa. Arya pun terkekeh karena kegilaannya. Kemudian mereka masuk ke rumah, dan di sana tak hanya Zia. Ada beberapa teman SMA-nya yang satu kampus dengannya. Mereka adalah Ardian dan Fajar.
"Oii, Yak. Kau ngapain datang ke sini? Kok nggak bilang-bilang?" tanya Fajar.
"Dih, banyak bacot. Kalian sendiri ngapain coba nggak bilang kalau mau bikin tas kardus?" kata Arya merasa kesal, tak sanggup menahannya.
"Lo, lo. Kok baru datang udah omong kasar. Harusnya salam dulu yang sopan. Kayak nggak diajari tata krama sama orang tua aja," kata Ardian. Bukan semakin tenang, Arya justru semakin meluap dan hampir semua hewan ia sebut.
"Dah, dah. Mumpung kami baru mulai, kau langsung gabung aja, Yak. Kami juga belum mulai apa-apa," kata Zia. Arya mengangguk, lalu bergabung dan duduk di dekat mereka.
"Aku ambil bahan-bahan dulu, bentar." Zia beranjak, berdiri dan mengambil bahan-bahan yang sama seperti temannya.
Kemudian mereka berempat bekerja sama membuat tas kardus. Di antara mereka berempat, Zia paling ahli tentang keterampilan.