webnovel

Antariksa [ Dari Angkasa ]

Yang dingin belum tentu galak. Rinai merasakannya dengan Antariksa Zander Alzelvin, ketua band The Rocket sekaligus ketos itu mengisi hari-harinya di masa-masa SMA Seperti apa keseruannya? Mari kita halu bagaimana memasuki kehidupan para tokoh seakan-akan berperan di dalamnya

hiksnj · Fantasia
Classificações insuficientes
51 Chs

19. Ujian

Antariksa membentuk simpul pita di sepatunya, namun sangat terburu-buru. Belum dua detik ia tenang, ibunya memanggil dari arah dapur.

"Antariksa! Sampah yang di depan penuh tuh, tolong di buang ya. Tau kan tempatnya?" Bintang akan mengawasi Antariksa, anaknya bisa saja kabur sewaktu-waktu, ia sangat sibuk sehingga hanya Antariksa yang bisa menjadi penolongnya, Angkasa? Sudah berangkat ke kantor jam 6 tepat.

Antariksa merutuk, percuma wangi tapi bau sampah. Tapi, harus di laksanakan. Ia menoleh ke belakang, ibunya sudah mengawaisnya. Antariksa menghela nafas sabar, keluar rumah. Sampah menumpuk dari organik dan anorganik menjadi satu, terdapat penutupnya namun Antariksa heran ini terlalu penuh  sampai tutupnya sulit di perintah.

"Terus kapan berangkatnya?"

Tepat saat itu, Agung dan Rafi datang dengan sepeda ninjanya. Antariksa akan menyerahkan tugas ini kepada Agung.

"Hei, lo buang sampah ini ya,"

Agung membenarkan rambutnya, rupanya polesan Gatsby-nya kurang. Agung menggeleng, ia di lirik sadis oleh Bintang.

"Antariksa? Kenapa masih diam?" Bintang menginterupsi, Antariksa mengalah biarlah bau, bukankah daya tariknya masih kuat?

Antariksa pasrah, sampah itu ya dorong sekuat tenaga. Namun hal tak mengenakkan terjadi, penutup sampah itu mengenai kepalanya. Sedang Agung tertawa paling bahagia melihat Antariksa menderita, Rafi tersenyum biasa. Brian? Semenjak adanya Rinai cowok itu menjauh dari persahabatan mereka, entah bersaing secara sehat atau menunjukkan paling kuat.

Bintang menggeleng, apakah ini titisan Angkasa juga? Atau justru turunan dari Rangga?

"Makanya hati-hati,"

"Gimana bisa hati-hati, penuh nih," kesal Antariksa, waktunya tersita. Seharusnya sekarang ia di sekolah, mempelajari materi ujian bukan mengurusi sampah. Antariksa mendorong sampah itu dengan sabar, kepalanya menjadi korban, tak sakit memang tapi hatinya karena Agung mendominasi pagi harinya dengan tertawa diatas derita.

Setelah selesai Antariksa pamit pada Bintang. "Makasih pahalanya," ujarnya, Bintang terharu, Antariksa penurut.

Sampai di sekolah pun Agung tak hentinya menahan tawa, apakah itu Antariksa? Yang selalu menjadi babu?

"Puas lo?" sentak Antariksa marah, Agung diam.

"Aku takut sa, jangan marah," ucap Agung dengan puppy eyes-nya menambah kesan imut, dan para siswi yang akan menuju kelasnya tak melewatkan bayi besar SMA Permata, Agung.

Antariksa satu ruangan dengan Agung, Rafi di kelas sebelah, Brian? Sama, satu ruangan. Tapi cowok itu belum hadir.

Di ruangan Rinai, ia baru saja masuk tapi sindiran pedas dari Caca mengusik telinganya.

"Mau ke sekolah apa ke bar? Ya ampun, parfum lo bikin kepala gue pusing!" Caca memakai masker, memang begitu ketika Rinai baru masuk ke kelas. Padahal parfum ini kalem, hanya roma sitrus.

Rinai mencari namanya, di kertas pojok kanan kecil berwarna biru laut. Rinai duduk di belakang, syukurlah tapi nama Adel tadi paling depan dan tepat menghadap di singgahsana si pengawas.

'Sabar ya del,' batin Rinai, entah Adel mentalnya sudah siapkah menghadapi ujian?

Bel masuk berbunyi, Adel baru datang. Ia gusar, pertama kali menghadapi Matematika.

Pengawas masuk, tepat sekali dengan guru killer, bu Senja. Beliau membagikan lemnar soal, untuk lembar jawabannya di ambil sendiri.

Dahi Adel berkeringat, angka apa ini? Akar, grafik. Menyerah, biarlah remed asalkan bisa di ajari Rinai nantinya.

1 jam 90 menit telah selesai, di perbolehkan istirahat. Rinai ingin belajar di perpustakaan saja, tak nyaman dengan berisiknya mulut Caca. Adel setuju, sekalian AC yang menyejukkan membuatnya santai.

Rinai membuka buku tulis Pkn, Adel sibuk menhafal pasal.

Antariksa ingin membaca buku yang pernah ia jumpai di perpustakaan, pasal-pasal. Hanya ia dan Rafi saja, Agung ke kantin dengan Brian.

Antariksa berjalan menuju rak pengetahuan, mendapati Rinai dan Adel seperti biasa duduk di lantai.

Antariksa ikut duduk, meniup rambut Rinai.

"Apa?!" Rinai mendapati wajah Antariksa dengan senyum tengilnya.

"Kalau baca jangan nunduk ya, sakit loh kepalanya," ucap Antariksa perhatian, Rinai mual mendengarnya, buku tulisnya ia gunakan sebagai penutup wajah.

Rafi menarik Antariksa. "Kapan belajarnya? Jangan pikirin cewek dulu dong," terpaksa Antariksa ikut berdiri, justru membawanya balik ke ruangan ujian.

Adel menahan tawanya. "Apelin Rinai? Sejak kapan ya Antariksa berubah sweet?"

Rinai memukul wajah Adel dengan bukunya. "Makan tuh sweet," Rinai beranjak pergi, Adel menggerutu, mengecek wajahnya di cermin mungil yang ia bawa selalu. Masih utuh, tak ada yang luntur.

☁☁☁

Rinai selesai mengerjakan Pkn 1 jam, lelahnya memikirkan pasal-pasal. Rinai mengingat kejadian tadi di perpustakaan. Wajah Antariksa begitu dekat, hampir saja Antariksa tidak menciumnya. Lihat saja, Rinai akan membalasnya, bukan dendam. Tapi melupakan kehadiran Antariksa

Antariksa tak fokus dengan soal yang ia pegang, justru wajah manis Rinai yang terpampang. Antariksa tersenyum.

Brian yang duduk selisih satu kursi dengan Antariksa heran. 'Kalau obatnya habis, beli sa.' Brian berpikir bahwa Antariksa tersenyum tidak lain bukan karena Rinai.

☁☁☁