webnovel

Bab 1 – Seseorang di Tengah Hujan.

Aku adalah kesendirian.

Aku adalah kekecewaan.

Aku dan kesendirianku. Apakah bisa menemukanmu yang menghapus semuanya?

***

Hujan turun dengan begitu lebat malam itu. Meredupkan kehidupan malam yang biasanya gemerlap. Lampu – lampu terang di berbagai gedung juga bangunan, masih tetap menyala. Meski tak semuanya bisa mengundang pengunjung untuk datang dan menghabiskan waktunya seperti biasa. Namun sebuah tempat yang terlihat agak terpencil dan jauh dari keramaian banyak orang, justru menampung banyak sekali pengunjung yang masuk secara diam – diam.

Bagian depan bangunan yang terlihat seperti rumah biasa yang kumuh, berbanding terbalik dengan bagian dalamnya yang sangaat mewah dan dipenuhi banyak fasilitas. Pub, tarian striptis, alkohol dengan berbagai kadar dan merk. Serta dentuman musik keras yang menghentak kaki siapa pun berada di sana.

Pengunjung tempat itu juga bukan dari kalangan bawah. Karena kenyataannya, bangunan tersebut memiliki lantai bawah tanah yang khusus untuk menampung kendaraan para pengunjung agar tak terlihat mencolok di tempat tersebut. Rahasia, skandal, erotisme dan seksual. Semuanya berada pada satu tempat yang sama. Mereka yang ada di sana, pasti akan saling melakukan transaksi yang menguntungkan satu sama lain.

Bayarannya?

Bukan hanya masalah uang atau barang. Tapi informasi juga di anggap harga yang pantas sebagai bayaran dari sebuah transaksi. Terlebih jika informasi itu datang dari orang yang dianggap sangat terpercaya dan valid. Maka bayarannya pun bisa mencapai nilai yang fantastis.

Disana di tempat itu, seseorang dengan pakaian bartender terus mengocok minuman yang dia racik sesuai pesanan para pelanggannya. Di depannya, ada meja panjang dan tinggi tempat para pelanggan menunggu minuman pesanan mereka. Sementara dia sibuk dengan benda berwarna stainless yang terus dia mainkan sepanjang waktu.

"Blue Hawaii…" kata seseorang yang baru saja datang.

Dia adalah Brandon. Pemilik tempat ini, sekaligus boss bagi si bartender. Yang tanpa bertanya untuk kedua kali, langsung membuatkan pesanan dari bossnya tersebut.

"Kau banyak diam hari ini. Ada apa?" tanya Brandon kepada Arrio.

"Tidak banyak yang harus ku bicarakan. Aku juga tak mengenal mereka yang datang selain menghafal wajah dan pesanan mereka tiap kali datang," jawab Arrio.

Pria dingin itu bernama Arrio. Berprofesi sebagai bartender, meski dia bisa saja melakukan pekerjaan lain yang lebih layak dengan latar belakang pendidikan serta kemampuan yang dia miliki. Tinggal dan besar di panti asuhan tanpa orang tua, rupanya tak membuat Arrio kehilangan otak cerdasnya.

Nyatanya pria tersebut mampu mendapatkan beasiswa di sepanjang pendidikannya. Bahkan hingga mendapat gelar Strata – 1 dengan predikat lulusan terbaik.

Alasannya bekerja sebagai bartender sangat konyol dan tak masuk akal. Yaitu karena dia malas bangun pagi hanya untuk bekerja di depan layar komputer setiap hari. Dan lebih suka berkegiatan di malam hari dengan rutinitas yang tidak monoton. Dan baginya, bartender dengan penghasilan yang menyentuh angka dua digit setiap bulannya, jauh lebih menjanjikan daripada gaji karyawan biasa di luaran sana.

Brandon adalah anak seorang konglomerat. Dia juga yang mengenalkan Arrio pada pekerjaan sebagai bartender selama beberapa tahun terakhir. Dan bahkan setelah Arrio mendapat gelarnya pun, pria itu masih belum meninggalkan posisinnya saat ini di belakang meja dengan benda stainless yang setia menemani Arrio setiap saat.

Dentuman musik semakin keras. Lampu berkelip dengan semakin menggila. Tanda bahwa pesta besar akan segera dimulai. Dan seluruh pengunjung di panggil untuk masuk ke lantai dansa dan menikmati hentakan musiknya. Dengan gelas berisi minuman beralkohol di tangan masing – masing. Juga sambil menggandeng teman kencan yang mereka bawa ke tempat ini untuk menikmati malam.

"Ini Blue Hawaii pesananmu." Arrio meletakkan gelasnya di depan Brandon.

Mata pria itu menyipit. Seperti biasa Brandon yang sudah muak dengan kebiasaan di dalam klub malam miliknya sendiri itu akan lebih memilih menepi. Bahkan menghilang dari kerumunan dan mendekati Arrio.

"Aku masuk ke dalam dulu," katanya. "Terima kasih untuk minuman ini…" ujarnya lagi sambil melipir ke bagian belakang dari klub.

Kadang Arrio merasa aneh dengan teman sekaligus boss nya itu. Yang sejak awal tidak suka dengan keributan, keramaian dan tidak suka dengan banyak orang. Brandon lebih suka menyendiri. Introvert kalau orang bilang. Itu sebabnya Arrio sempat terkejut mengetahui bahwa Brandon yang punya tempat ini. Dan mengendalikannya.

Sekarang Brandon pasti sedang berada di dalam ruangannya sendiri dan memainkan game kesukaannya. Atau mungkin membaca buku. Dan menonton film yang dia sukai.

Iya, memang tidak semua orang yang terlibat dalam dunia malam seperti mereka adalah orang yang menyukai kerumunan seperti ini. Kebanyakan mereka lebih suka uang atau segala hal yang bisa mereka dapatkan dari tempat ini, yang tak bisa diperoleh dari tempat lain.

Malam yang semakin larut. Bulan yang semakin tinggi. Tak menyurutkan keriuhan malam di tempat tersebut. justru rasanya semakin ramai hingga membuat kepala Arrio ikut pening dibuatnya.

**

Matahari sudah meninggi dengan cahaya putih yang mulai masuk ke dalam setiap sudut kamar Arrio di sebuah rumah panti asuhan.

Arrio, pria yang kesehariannya bekerja sebagai bartender dari malam hingga dini hari itu memang tinggal disebuah rumah panti asuhan sejak kecil. Dan ini sudah masuk tahun ke – 20 nya berada di tempat ini. Aneh karena Arrio tak pernah di adopsi oleh keluarga lain. Saat semua temannya satu per satu pergi dengan keluarga baru mereka. Mungkin, perangai Arrio yang seringkali terlihat sangat menakutkan dan tatapan mata tajamnya pada orang asing. Menjadi alasan pria itu tidak diinginkan oleh semua keluarga yang sempat datang ke rumah asuh ini.

Margareth. Pengurus panti yang sekaligus menjadi ibu bagi Arrio pun tidak mempermasalahkan hal tersebut. Dia justru memberikan sebuah ruangan khusus yang bisa dijadikan sebuah kamar pribadi untuk Arrio. Di ulang tahun pemuda itu yang ke – 19 tahun.

Tok tok tok!

"Bangun Arrio!" teriak Aiden—anak bungsu Margareth yang sudah berteman akrab dengannya.

"Ya… aku sudah bangun!" jawab Arrio.

Dengan gerakan lambat Arrio berusaha bangun dari ranjangnya. Duduk terlebih dahulu untuk mengumpulkan kesadarannya yang sempat pergi beberapa jam lalu.

Pria itu mendesah keras. Melirik ke arah jendela yang menyorotkan sinar putih dan terasa panas untuk badannya. Membuat Arrio ingin menggulungkan selimutnya lagi dan kembali tidur. Kalau dia tidak ingat perangai Margareth yang tidak menyukai seseorang pemalas dan bangun terlambat.

**

"Kau sudah bicara pada Brandon kalau hari ini kau akan ijin dari pekerjaanmu, kan?" tanya Margareth begitu mereka berkumpul di meja makan untuk sarapan.

"Udah. Tapi kenapa aku harus ijin? Aku jadi bingung memberi alasan kepada Brandon saat kemarin dia menanyaiku," ucap Arrio sambil mengunyah roti isi dari tangannya.

Aiden mendelik. Sementara Margareth terkekeh mendengar ucapan dari salah satu anak asuhnya tersebut. Dia tak menyangka kalau Arrio akan melupakan hari ini.

"Kau berulang tahun, bodoh!" seru Aiden yang hampir menyemburkan makanan dari mulutnya.

Arrio tersentak. Dia menelan bulat – bulat gigitan besar roti isinya, hingga membuatnya hampir tersedak. Pria muda itu bahkan menatap Margareth seolah mengharap penjelasan dan validasi atas pernyatan Aiden barusan.

"Hari ini adalah ulang tahunmu, Sayang… dan kami ingin, kau ada di rumah dengan kami. Untuk kita bisa pergi piknik satu keluarga. Lagipula… anak – anak sudah lama tidak pergi ke luar akhir – akhir ini. Jadi ku rasa, ini adalah momen yang tepat," jelas Margareth.

Arrio merasa terenyuh. Bagaimana bisa orang lain yang bukan keluarga kandungnya. Bahkan tidak pernah melupakan hari ulang tahunnya selama bertahun – tahun. Berbeda dengan keluarga yang membuang Arrio ke tempat ini. Meski di dalam hatinya, Arrio juga merasa bersyukur. Karena dengan dia dibuang ke panti asuhan ini, dirinya bisa bertemu dengan orang – orang sebaik Margareth, Aiden dan anak – anak lain.

"Aku tidak ikut pergi. Aku capek." Arrio berkilah.

"Kenapa gak mau?" Aiden kembali menyerobot pembicaraan.

"Aku gak cocok sama acara piknik, Aiden. Lagipula… kalau aku libur satu hari saja dari Klub. Gajiku bisa dipotong oleh Brandon nanti." Arrio memberi alasan.

"Tidak akan. Aku sudah bicara dengan Brandon dan dia mengerti. Dia bahkan mengirimkan hadiah ulang tahun untukmu. Dan hadiahnya sudah aku tata di sana. Di ruang tamu untuk kamu buka sebelum kita pergi piknik," ucap Margareth.

**

Arrio kemudian berjalan ke arah ruang tamu. Masih dengan bertelanjang dada. Dan hanya memakai celana pendek yang biasa digunakan sebagai pakaian dalam untuk pria. Penampilan yang sangat biasa di suguhkan Arrio setiap pagi. Hingga membuat roti sobek di perutnya terlihat nyata dan begitu sempurna.

"Itu kado dari kami. Bukalah…" kata Margareth dari belakang.

Arrio mendekati tumpukan kado yang dikatakan Margareth. Dari sekian banyak kotak kado, ada sebuah kotak yang menarik perhatiannya. Kotak itu dibungkus dengan kertas Koran. Bukan kertas pembungkus kado pada umumnya, hingga Arrio memilih membuka kado itu lebih dulu. Untuk mengetahui isi sekaligus identitas pengirimnya.

Lucunya, itu hanyalah sebuah kardus yang di isi dengan satu lembar foto dan sebuah surat. Tapi yang mengejutkan adalah orang dalam foto tersebut, yang tak lain adalah dirinya sendiri di masa kecil. Juga kedua orang tuanya. Dan isi surat yang menyertai foto tersebut juga sangat mengejutkan Arrio.

'Apa kau mengetahui, siapa yang membuat kedua orang tuamu terbunuh 20 tahun lalu?' Pertanyaan itulah yang kemudian menggugah Arrio untuk membaca lebih dalam lagi, isi surat tersebut.

***

Halo... Ini adalah Karya Pertamaku di WebNovel.

Semoga kalian menikmati kisah cinta Arrio dan Arra dengan segala perjalanan manis pahitnya.

Berikan banyak cinta untuk kisah ini, ya...

With love,

@anisya.dhanoewinoto

AnisyaDhanoewinotocreators' thoughts