webnovel

Bab 2 – Identitas Rahasia.

Siapa aku sebenarnya?

Dan kenapa rasa sakit ini, aku yang harus memilikinya?

Haruskah aku pergi menghindar. Atau justru menerima kenyataan dan segala getirnya?

***

Arrio memutuskan untuk masuk ke dalam kamar sambil memeluk erat benda persegi yang berisi lembaran foto itu. Dia bahkan mengabaikan teriakan Aiden yang mengajaknya bersiap untuk pergi piknik bersama yang lain. Baginya, kenyataan yang tersaji di depan mata Arrio saat ini, jutaan kali lebih menarik dan membuat pria itu penasaran.

Setelah menutup pintu dan menguncinya. Sambil memastikan bahwa tidak mungkin ada orang yang bisa mengintip kegiatannya di dalam kamar ini. Arrio kembali membuka bungkusan kardus tersebut dan membaca dengan sangat teliti satu demi satu, kata yang dituliskan dalam kertas kumal yang dikirim untuknya.

Seharusnya aku mengirimkan surat ini lebih awal padamu. Saat usiamu menginjak 17 tahun, seperti yang orang tuamu inginkan sebelum kematian mereka. Tapi aku tidak yakin kau bisa menerimanya dengan baik di usia yang semuda itu. Hingga ku putuskan untuk menuliskan ini, sedikit lebih lama dari yang seharusnya dan mengirimkannya padamu tahun ini. Tepat saat usiamu 20 tahun.

Surat yang ditulis dengan pena indah dan sangat rapih itu menunjukkan bahwa orang yang menulisnya punya rasa seni yang cukup tinggi.

Mungkin selama 20 tahun ini, kau terus mengutuk orang tuamu. Membenci mereka dan bahkan tidak pernah sekalipun mendoakan mereka. Mungkin selama ini kau berpikir bahwa keberadaanmu tak pernah diinginkan. Sehingga mereka memutuskan untuk membuangmu dan mengabaikan keberadaanmu di panti asuhan itu.

Tapi…

Sebenarnya bukan itu yang terjadi, Nak…

Bukan mereka yang membawamu ke panti asuhan itu. Bukan mereka pula yang menginginkan kau ada di sana. Karena sesungguhnya, aku lah orang yang telah membawamu ke depan pintu panti asuhan tersebut dan meninggalkannya di sana.

Bukan untuk tujuan yang buruk. Aku lakukan itu justru karena ingin melindungi dirimu.

Sebuah tragedy terjadi saat identitas orang tuamu terungkap. Dan kau adalah nyawa terakhir yang bisa selamat dari serangan mereka malam itu. Hingga saat aku menemukan kedua orang tuamu sekarat. Hanya satu hal yang mereka ingin aku lakukan. Yaitu melindungimu hingga kau bisa tumbuh dewasa seperti yang mereka harapkan.

Tapi… aku tidak bisa melakukan itu.

Membawamu bersamaku, sama saja dengan menempatkanmu dalam bahaya yang lain.

Hingga aku akhirnya membawamu ke sana. Dengan sangat terpaksa, meski tak jarang. Aku datang untuk menjengukmu di sana. Melihatmu dari jauh tanpa kau sadari. Dan membuatmu tak bisa pergi dari tempat itu selama ini.

Di belakang surat ini. Kau akan menemukan jawaban dari semua pertanyaan dalam benakmu, Nak. Dan kau… juga pasti akan bisa menemuiku suatu saat nanti.

Surat selesai sampai di sana. Arrio berusaha melihat dan mencari terusannya, tapi dia tak menemukan hal tersebut. Melainkan banyak artikel yang dikirimkan dengan surat itu dan sengaja di remas dalam bentuk bola – bola kertas besar. Yang sebelumnya Arrio anggap sebagai sampah.

Ada beberapa bagian kalimat dan kata yang sengaja ditandai. Seolah ingin agar Arrio saja yang mengetahui informasi ini secara jelas.

Dan benar saja, dengan kecerdasan yang Arrio miliki. Bukan hal sulit bagi pemuda itu untuk menemukan pesan terselubung yang dituliskan di sana.

'Keluarga Windsor membunuh kedua orang tuamu. Karena mereka adalah Keturunan Manusia Serigala.'

Arrio melihat surat kabar yang dikirimkan itu dengan teliti sekali lagi. Demi menemukan petunjuk lain, sampai dia kemudian melihat ada sebuah kolom berita yang di lingkari dengan spidol merah. Di mana kolom berita itu menyebutkan sebuah tempat yang cukup asing di telinga Arrio selama ini.

"Kota Pelabuhan Periousa?" lirihnya pada diri sendiri.

Ketukan pintu yang cukup keras membuat Arrio terperanjat dan segera menoleh. Dia dengan cekatan menyembunyikan kotak hadiahnya ke bawah kolong ranjangnya sebelum kemudian membuka pintu kamarnya dengan cepat sebelum di hancurkan dari luar.

Wajah Aiden yang terengah – engah langsung terlihat saat Arrio membukakan pintu.

"Kau ini!" kesal Aiden.

"Ada apa?" tanya Arrio dengan wajah datar, tanpa rasa bersalah.

"Mereka sudah menunggu untuk merayakan ulang tahunmu, Bodoh! Kenapa kau belum bersiap juga sejak tadi?" gertaknya yang tak terlihat menyeramkan sedikit pun.

"Maaf… aku akan keluar setengah jam lagi." Arrio menutup pintu kamarnya sebelum Aiden mulai mengomel dan menceramahi dirinya tanpa henti.

Bahkan sekarang pun, Arrio sudah mendengar Aiden menggerutu sepanjang jalannya kembali ke ruang tengah.

Enggan kembali di usik dengan cara yang menyebalkan. Arrio memilih untuk langsung mengambil handuk dan mandi, serta bersiap pergi dengan anak – anak panti yang lain. Juga Margareth. Untuk urusan masa lalunya yang tiba – tiba saja datang, rasanya Arrio harus memeriksa kebenarannya lebih dulu. Sebelum percaya begitu saja dengan apa yang dia baca.

Lagipula biasanya memang orang tua akan banyak memberikan alasan. Atau berkilah sebagai pembenaran atas tindakannya yang menelantarkan anak kandung mereka sendiri di panti asuhan ini. Setidaknya itu yang terlihat oleh Arrio, selama 20 tahun hidupnya.

Bisa saja, orang yang menulis dan mengirimkan kado ini justru orang tua kandungnya sendiri yang menyamar sebagai orang lain. Masuk akal, kan?

**

Piknik keluarga.

Arrio tidak pernah membenci mereka yang ikut dalam kegiatan piknik kali ini. Apalagi alasan mereka melakukannya, adalah untuk merayakan ulang tahun Arrio. Tapi meski begitu, Arrio yang memang tak pernah suka keramaian. Kerumunan dan hal rumit lainnya yang melibatkan banyak orang. Merasa bahwa kegiatan ini amat sangat melelahkan juga membosankan. Kecuali di bagian, di mana Aiden yang jatuh tersungkur di kubangan air. Karena terus meledeknya sepanjang jalan menuju tempat ini.

Itu adalah kado terbaiknya, sepanjang hari ini dari Aiden.

"Kau tak menyukai acaranya?"

Sesungguhnya kalau pantas. Arrio ingin mengatakan iya dan pergi saja dari sana. Tapi kali ini, Margareth yang langsung bertanya dan memberikan tebakan itu di hadapannya. Dan jelas, Arrio tidak mau mengecewakan seorang wanita yang sudah seperti ibu untuknya selama ini. Dengan mengatakan hal tersebut.

"Ibu tahu kalau aku tidak suka banyak orang," jawab Arrio dengan jujur.

"Sepertinya tempat ini memang cukup ramai. Tak seperti prediksiku kemarin," jawab wanita tersebut sambil melihat ke sekelilingnya.

"Bu…" panggil Arrio. "Kado – kado yang tadi di rumah. Apa Ibu yang membungkus semuanya. Atau--"

"Tidak semua. Ada beberapa yang merupakan kiriman dari teman – temanmu. Sepertinya Brandon yang mengatakan pada mereka bahwa ini adalah ulang tahunmu. Lalu mereka mengirimkan kado itu ke rumah," jelas Margareth.

"Ibu yakin?" tanya Arrio sekali lagi.

"Memangnya kenapa, Arrio? Apa ada yang aneh dengan kiriman kadonya?" tanya Margareth dengan tatapan cemas.

"Bukan. Maksudku… kadonya terlalu banyak. Tidak seperti biasanya," ucapnya kemudian.

Margareth lalu mengulas senyum dan mengusap kepala Arrio dengan penuh kasih sayang. "Kau itu banyak dicintai oleh teman – temanmu. Hanya saja, kau tak pernah menyadarinya. Itu sebabnya kamu merasa aneh… saat mereka mengirimkan kadonya untukmu," ucap Margareth kemudian.

Dan pemuda itu hanya menganggukkan kepalanya samar. Meski dalam benaknya banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk dan butuh penjelasan.

"Kau mau bermain bola, Arrio?" tanya seorang anak laki – laki bernama Lukas.

Awalnya Arrio ingin menolak. Tapi melihat sekelilingnya yang diisi banyak anak perempuan. Sepertinya Arrio harus menerima tawaran tersebut. Lagipula lebih baik bermain dengan orang yang dia kenal, daripada melihat kerumunan orang di ujung sana.

Pria itu mengangguk dan segera bangkit. Sementara Margareth tersenyum lebar.

Bola mulai diarahkan pada Arrio yang diposisikan sebagai penjaga gawang. Sebuah tendangan cukup keras juga disiapkan Aiden yang adalah tim lawan Arrio saat ini. Dengan wajah seriusnya, Aiden langsung menendang bola itu dengan sangat kuat dan mengarahkannya pada gawang buatan mereka, yang dijaga oleh Arrio sekarang.

Sementara Arrio pun bersiap menerima dan menghalau tendangan Aiden yang rupanya lebih kuat dari dugaannya.

Bola itu mengarah pada Arrio dengan sangat cepat. Yang beruntungnya, masih bisa dihalau oleh Arrio dengan baik. Meski akhirnya membuat bola tersebut terlempar agak jauh dari taman kota, tempat mereka melakukan piknik.

Bolanya masuk ke semak – semak dan sulit untuk di jangkau oleh yang lain.

"Biar aku ambil bolanya," kata Aiden menawarkan diri.

"Biar aku saja." Arrio yang maju dan mendahului berjalan menuju semak – semak, untuk menemukan bola tersebut.

Dia juga mengacungkan jempol, saat anak – anak lain dan Aiden berteriak agar dia cepat kembali setelah menemukan bola itu.

***