webnovel

Duchess Solelia Chester

Kreet

Pintu terbuka. Derik kayu kala kami melangkah mempersuram suasana. Aku yang membiarkan Serena memimpin melongok.

"Kakak, tempat apa ini?" cemasku, menyadari betapa gelapnya ruangan ini.

"Sudah, diam dulu," katanya tenang.

Puluhan barang antik berjajaran berantakan. Di setiap sudut tak ada yang bersih dari sarang laba-laba. Sudah gelap, sempit pula. Aku bisa merasakan betapa pengapnya tempat ini. Hanya ada satu ventilasi kecil dan jendela yang lapisan debunya sangat tebal.

Klang

"Gaaah!" pekikku, sehabis menyenggol sesuatu.

Serena berbalik ke arahku. "Senika, ada apa?"

Sebuah jam pasir terjatuh di dekat sepatuku. "Tidak," singkatku, yang kemudian menaruhnya kembali ke atas meja.

Serena lantas menggenggam tanganku. Kami meneruskan perjalanan sampai ke ujung ruangan.

"Nah, sudah sampai."

Kini kami berada di depan perapian yang sudah lama tidak digunakan.

"Tidak ada apa-apa di sini," komentarku.

"Lihatlah ke atas!"

Sepotret lukisan semu tergantung di dinding. Lukisan itu tertutupi oleh sehelai kain putih. Penasaran, aku membukanya perlahan.

"Ini .... "

"Ya, itu adalah kita."

Sebuah keluarga bahagia tergambar jelas. Mereka adalah pria maskulin berambut biru tua, seorang wanita dewasa yang sangat cantik, dan dua orang anak kecil di pangkuannya. Keempatnya nampak tersenyum bahagia. Sesuai keterangan Serena, berarti mereka adalah Duke, Duchess Chester dan kami yang masih balita.

"Jadi ini ibu," gumamku.

Aku menatap lama potret wanita itu. Rambutnya berwarna putih kekuningan. Matanya sangat bening dengan iris biru laut. Kulitnya yang setingkat ivory dibalut dengan gaun tipis bermotif bunga. Dengan ekspresi lembutnya, wujudnya terlukis indah bagaikan peri air.

"Cantik sekali."

"Iya kan?" kata Serena yang ikut menatapnya. "Sayangnya, ibu sudah tidak ada. Ini adalah satu-satunya."

"Benarkah?" tanyaku.

Aku menoleh ke Serena, "Kenapa hanya ada ini? Dimana yang lain?"

Serena mengedipkan mata, kemudian menunduk. "Sayangnya, mungkin sudah tidak ada. Aku diam-diam menyimpan yang satu ini sebelum ayah berencana membakarnya."

"Apa? Kenapa ayah mau membakarnya?"

Ia menggeleng pelan, "Entah. sepertinya ayah tidak mau mengingat ibu."

Hal ini sulit dimengerti. Ada beberapa hal yang berbeda dari detail novel. Seharusnya, Duchess Solelia Chester masih hidup.

Tapi sekarang?

Kenapa dia meninggal?

"Kakak, maaf jika aku menanyakan hal ini. Kenapa ibu bisa meninggal?"

Tadinya, aku belum sempat bertanya karena tidak enak hati dengannya. Menurut pelayan, Serena lah yang sudah membunuh Duchess. Jadi, aku tidak mau membuat hubungan yang baru saja kami bangun berjarak lagi.

"Jadi, kau benar-benar tidak ingat?" tanyanya balik.

"Ya, sama sekali."

Di kamarku, aku mengaku kalau aku tidak mengingat apapun sebelum koma. Mendengar pernyataan itu, Serena mengajakku berkeliling mansion sambil bercerita. Dan gudang inilah tempat terakhir yang kami kunjungi.

"Kau mendengarnya bukan?" Serena memejamkan mata. "Ini semua karenaku."

Tubuhku kaku selama beberapa detik. Dengan penuh pertanyaan, aku menimpal, "Jangan berkata begitu! Coba ceritakan yang jelas!"

Serena yang terfokus pada Duchess mulai mendongengkan sebuah kisah.

***

Pada awalnya, Senika merupakan bocah terlemah sejak ia dilahirkan. Ia lebih rentan sakit daripada Serena yang terlihat kuat. Oleh sebab itu, Senika lebih sering dimanja oleh kedua orang tuanya. Tapi, keduanya sama-sama disayangi oleh Duke dan Ducheess Chester.

Pada suatu hari, saat keduanya berulang tahun yang ke-9, mereka merayakannya dengan rekreasi di villa keluarga Chester bagian selatan. Waktu itu, Senika dan Serena masih menjalin hubungan persaudaraan yang akrab.

Ketika Orwen Chester sibuk mengurus pekerjaan, Senika dan Serena berkeliling di sekitar villa. Mereka menjumpai pantai berpasir putih yang airnya pun jernih.

Serena yang tergoda dengan pemandangan indah mengajak Senika untuk bermain air. Mula-mula, Senika menolaknya mentah-mentah. Namun karena Serena terus membujuk dan menantangnya, mereka pun bergegas pergi ke tepi air. Keduanya asyik bercengkrama dan bercanda tawa.

"Senika, terima ini!"

"Ahh, Serena, aku jadi basah semua!"

"Hahahaha."

Di tengah momen bahagia itu, deburan ombak bergulir cepat. Angin bertiup semakin kencang, menyibak rambut panjang keduanya melayang ke atas.

Syuut

Mendadak, sang Adik terpeleset dari karang tempat mereka berlarian. Ia menggantungkan tangannya di permukaan karang.

"Tolong!"

"Senika, pegang tanganku!"

"Ahhh, Serena!"

Serena tak mampu menahan beratnya Senika. Pegangannya lepas.

Jebuur

Tubuh Senika tercebur ke laut seketika.

"Huaaa, Senikaa! TOLONG!" Serena yang tidak bisa berenang melolong ketakutan.

Serena yang menuruni karang terus berteriak sampai seseorang menghampirinya.

"Serena? Kau di sana?" panggil Selolia Chester, ibu dari keduanya. Ia berada di daratan bawah karang.

"Aku mencarimu daritadi. Dimana Senika?"

Serena memasang wajah panik. Peka dengan situasi, Selolia mengerutkan dahi. Ia melayangkan pandangannya pada arah mata Serena--yang terus melihat ke satu titik laut.

"Tunggu di sini!" perintah Selolia.

"Ibu, apa-"

Byuur

Tanpa ragu, Solelia terjun dengan gaun yang berat. Gaunnya memiliki desain yang terlalu rumit. Akan menghabiskan waktu lama jika ia harus melepaskan lapisannya dahulu satu per satu. Ia tak sempat berpikir dua kali ketika mengetahui putri terlemahnya tenggelam di tengah lautan.

"IBUU!" pekik Serena.

Dengan sekuat tenaga, Selolia berenang ke titik dimana Senika tenggelam. Ia menyelam ke dalam air untuk menyelamatkan Senika. Serena yang menderita shock hanya menyaksikannya dari atas karang. Tubuhnya lemas, gemetar, tidak dapat bergerak.

Lima menit telah berlalu bagai setahun. Akhirnya, Selolia berhasil membawa Senika ke tepian.

"Hosh, hosh, hosh," deru nafasnya tak beraturan. Selolia lantas melakukan pertolongan pertama pada Senika.

"Tidak bisa," katanya sehabis mencoba.

Solelia melihat anak bungsunya tergeletak seperti mayat. Ia kemudian memegangi dahi Senika sembari berkomat-kamit merapal mantra. "Kuharap, ini berhasil."

Serena menghampiri keduanya. Ia mengusap pasir yang menempel di pipinya selagi berlari. "Ibu? Kakak?!"

Selolia merespon dengan berkedip. Ia merebahkan diri di samping Senika. Selolia sangat kelelahan karena sudah menghabiskan kekuatannya. Ia kesulitan bernafas. Terlebih saat menyelam tadi.

Melihat keduanya terkapar lemah, Serena menangis sejadi-jadinya. "Hiks... hiks. Ibu, aku.. hiks, gara-gara aku ...."

"Makannya Serena, jangan bermain-main di sembarang tempat!" omel Duchess di tengah-tengah masa kritisnya.

Seruan itu membuat Senika perlahan membuka matanya. Ia mendapati Serena dan ibunya di sisi kiri. Meski begitu, nyawanya belum terkumpul sepenuhnya. Hanya separuh saja kesadaran yang tersisa.

"Hiks, iya, Ibu. A-aku akan mendengarkan Ibu!" Serena menangis sesenggukan. "Tu-tunggu sebentar! Aku akan minta tolong ke pelayan villa!"

"Tidak usah."

Duchess menarik lemah lengan putri sulungnya.

"Kalian harus mendapat pertolongan!" tentang Serena.

Dada Solelia kembang kempis. Ia menderita sesak nafas berat. Rongga pleura-nya berlubang, melubangi dinding paru-parunya.

"Serena ... tolong cekik aku!"

Mata Serena terbelalak. Dengan tegas, ia meronta,"Tidak mau!"

"Serena, hah, cekik ... aku ... sekarang!" paksa Selolia.

Ia menarik kerah Serena. "Sakit sekali, sakit! Tolong bunuh aku saja!" kali ini dia memohon dengan miris.

Dilema Serena semakin kuat. Seluruh bayangnya menggelap kelam menutupi jiwanya. Tak sanggup menyaksikan penderitaan ibunya, ia mencoba menyentuh leher Selolia.

"Baik, Bu. Maafkan aku," kata Serena, memejamkan matanya dan mencekiknya sekuat mungkin. Cengkeramannya menyebabkan Selolia terus merintih. Sesaknya berlanjut semakin parah.

"Horghh, horghh. Cu-cukup!"

Sembari terisak, Serena merilekskan lengannya. Kuncian di leher Selolia pun mengendur. Serena menjauhkan tangannya dari Selolia.

Selolia menggeliat beberapa waktu. Setelah dirasa sedikit tenang, ia menerawang ke langit biru yang cerah. Walau merasa hidupnya tak lama lagi, ia tersenyum tipis.

"Serena, hah, berjanjilah ... jaga Senika," gumamnya.

Perlahan, sepasang mata Solelia menutup. Lalu tubuhnya melemah lalu berubah kaku. Baru saja, ia menghembuskan nafas terakhirnya.

"Ibu?"

Serena memecah keheningan.

"Ibu?" tanyanya lagi.

"IBU!" gertak Serena.

Solelia tak sedetikpun merespon panggilan Serena. Tak satupun. Bahkan kedip matanya saja tak bergerak. Degup jantungnya tidak lagi bergetar.

"IBU! HIKS ... IBUU!!" teriaknya histeris. Ia menjambak rambutnya sendiri, juga melukai tangannya.

Sementara itu, Senika menutup matanya. Dengan getir, mengalir bulir-bulir air dari sela matanya. Hatinya berduka sekalipun dirinya tidak sepenuhnya sadar.

Dan itulah, saat terakhir Serena dan Senika bersama ibunya.

***

"Ceritanya menyimpang dari alur novel."

Kini, aku sedang mencoret sesuatu di lembar kertasku. Aku mencatat apa saja yang terjadi hari ini, juga cerita dari Serena tentang Duchess.

Seharusnya beginilah cerita aslinya:

Singkat cerita, Senika mendapatkan pertolongan dari pelayan villa yang teledor membiarkan mereka bermain sendirian. Setelah diselamatkan, Senika yang tak kunjung siuman dirawat oleh dokter pribadi Dukedom Chester.

Orwen beserta istrinya yang menyayangkan kejadian ini memecat pelayan villa. Mereka juga mulai bersikap acuh terhadap Serena. Suasana mansion keluarga Chester lambat laun menjadi hampa. Hal itu berlangsung selama empat tahun lamanya hingga si Putri Kembaran Bungsu siuman dari komanya.

Hubungan keluarga mereka mencair saat Senika membawa kembali kehangatan bagi Dukedom Chester. Namun, hubungan persaudaraan Serena dan Senika semakin jauh. Dinding di antara keduanya juga semakin tebal dikarenakan sikap pilih kasih dari kedua orang tuanya. Mereka tetap menjaga jarak dari Serena.

Efeknya, Serena yang kekurangan kasih sayang menjadi wanita pencari perhatian saat ia tumbuh dewasa. Ia menjadi tokoh antagonis dalam novel "Bloody Roses" yang selalu serakah dengan semua yang dimiliki Senika.

Tapi yang sekarang terjadi berbeda dengan yang kutulis di novelku. Alurnya berubah, bahkan sebelum aku menjadi Senika.

"Kenapa begini?" Aku bercakap pelan.

Tok Tok Tok

Ketukan pintu terdengar.

"Nona, bolehkah saya masuk?" Aku mendengar suara Hera, salah satu pelayan mansion dari luar.

"Boleh," jawabku, merapikan tumpukan kertas.

Ceklak

Pintu terbuka.

"Nona Muda, permisi. Saya mau menyampaikan kabar."

"Ada apa?"

"Tuan Duke," sanggahnya. "Tuan Duke sudah kembali dari pengawasan wilayah."

"Apa?!"

Bukankah seharusnya dia kembali besok malam?

***