webnovel

Keluarga Chester

"Kudengar, kondisimu sudah membaik," kata Duke, menancapkan garpunya ke potongan daging steak.

Masih terngiang di telingaku hal yang disampaikan Ivory.

"Haduh, kenapa dia pulang cepat?" keluhku, cekatan membenahi pakaian.

Ivory membantuku menggantikan gaun.

"Mungkin saja, Your Grace tidak sabar pulang ke rumah. Setelah sekian lamanya berdiam diri, Nona akhirnya keluar kamar. Beliau menantikan momen bertatap muka dengan Nona."

Masa sih?

Yah, anggap saja perkataan Ivory benar. Entah mengapa mempercayai itu membuat dadaku melapang. Aku membayangkan tubuhku melambung tinggi di atas awan. Sebesit syaraf merangsang kelenjar air mataku--menyebabkan keduanya menggenang dengan air. Perasaan ini ... tidak bisa kujelaskan melalui untaian kata.

Inikah rasanya dirindukan sesosok Ayah?

Di kehidupan lalu, aku--yang tidak pernah sekalipun mengenali wajah ayah kandungku--tak pernah tahu bagaimana rasanya.

Baru kali ini aku berkesempatan berjumpa dengan seorang ayah--meskipun dia bukanlah ayah kandungku.

Kehangatan ini ... meluluhkan bekuan es di dalam hatiku.

"Iya, Ayah. Aku juga sudah melihat-lihat area mansion," lirihku.

"Begitu. Bagaimana jalan-jalanmu?" tanyanya, yang kemudian menyuapi mulutnya.

"Menyenangkan," singkatku, menahan pita suara yang tercekat.

Kukunyah daging sirloin yang berlumur bumbu lada hitam. Daging itu terasa sangat lezat malam ini, sehingga aku langsung melahap beberapa sekaligus. Entah daging itu yang rasanya enak ataukah kebahagiaan kecilku yang mengubahnya menjadi enak.

"Baguslah."

Aku berdehem, mendadak aku teringat dengan sesuatu; misiku. Hampir saja sebuah emosi membuyarkanku dari rencana. Kumulai rencana tersebut dengan komunikasi. "Tapi ... kurasa ada yang kurang. Kakak tidak ikut makan?"

Duke berhenti menggerakkan pisau. "Dia tidak mau," timpalnya.

"Hm? Sayang sekali. Bolehkah kuajak dia ke sini? Kakak pasti akan mengiyakan kalau aku yang membujuk."

Sesaat, Duke memelankan temponya. Ia kemudian berkata, " ... terserah."

"Baiklah. Aku permisi sebentar, Ayah!"

Aku bergegas sebelum Duke berubah pikiran. Langkahku bertahap menuju ke kamar Serena.

Kali ini, akan kulaksanakan misiku.

"Kakak?" panggilku, sehabis mengetuk pintu.

Seolah kosong, tak ada satupun bunyi yang terdengar dari ruangan itu. Puluhan detik berlalu tanpa tanggapan. Selang beberapa waktu, pintu di depanku akhirnya bergerak.

Kriet

Kepala Serena menyembul melalui celah pintu. "Ada apa, Sen?"

"Ayo makan malam!"

"Aku tidak mau."

"Kenapa?"

"Kau tahu .... " Serena menggantungkan kalimatnya. Pandangannya mengedar ke koleksi guci emas di lorong belakangku.

"Aku bukan anak baik-baik."

Telapak kaki Serena mulai bertaut. Serena lanjut memainkan rambutnya yang tergerai basah. Bola matanya mengarah ke bawah. Nampaknya, ia sedang merasa was-was.

Sebenarnya, aku merasa iba kepada Serena. Tatkala ia berumur 9 tahun, ia yang masih polos salah bertindak dengan menyakiti ibunya. Yang orang lain pahami, Serena lah yang sengaja membunuh Duchess. Padahal, ia sama sekali tidak bermaksud begitu.

Namun apa dikata. Orang-orang sudah terlanjur mengecapnya sebagai iblis pembunuh. Perspektif tersebut mengakibatkan efek negatif. Tak ada seorangpun di mansion ini yang mau berhubungan dengan Serena; terutama ayahnya sendiri.

Betapa sakitnya hati Serena hingga detik ini. Serena sendiri sesungguhnya sudah terluka karena kematian ibunya. Ditambah, keluarga Serena sendiri memperlakukanya seperti penumpang gelap.

Ia pasti kesepian. Sorot matanya menyiratkan perasaan itu. Saat menyelam jauh ke lensa matanya, mengingatkanku pada diriku sendiri--yang sudah terbiasa sendirian.

Sebenarnya, gadis kecil seusianya belum paham mengenai apa yang salah. Maka dari itu, inilah tugasku sebagai seorang saudari untuk mendidiknya.

Kubelai lembut rambut panjang Serena. "Jangan berpikir begitu, Kak. Jangan khawatir. Ada aku juga ada di ruang makan," tuturku merendah.

"Um ... sebenarnya sudah dua tahun lalu sejak terakhir kali kami makan bersama," akunya.

"Apa? Lama sekali," tanggapku.

"Kalau bersamamu saja tidak apa-apa. Tapi tidak dengan ayah!"

Aku menyikut lengan kirinya. Lalu menaikkan kepala. "Eiy, jangan begitu. Kakak takut? Kemana perginya Kakak yang tadi pagi 'bermain boneka'?" ledekku.

"Ah! Itu berbeda!" sangkalnya.

"Sudah, tidak usah banyak alasan. Ayo!"

Aku menarik lengannya dengan paksa. "Aku lebih lama. Bahkan sudah ada empat tahun aku tidak makan bersama," imbuhku.

Tak terasa, kami tiba di depan meja makan yang panjang. Masih dengan kursi ujung yang sama, Duke duduk sambil menyangga gelasnya. Diteguknya sirop merah dari sana yang tinggal separuh. Ia yang berpusat pada hidangan tidak begitu menghiraukan kami.

Setelah memandu Serena, aku duduk berdampingan dengan Duke. Kulirik Duke dan Serena secara bergantian.

Alangkah bahagianya. Sekarang, aku memiliki ayah sekaligus kakak (baca: adik kecil yang harus kuajari). Aku membayangkan mereka, seakan-akan keduanya keluargaku sendiri. Entah mengapa keadaan ini familiar untukku.

Ternyata benar kata orang. Bila kita mau "membuka mata", kita bisa memandang betapa indahnya dunia.

Aku jadi belajar menerima keadaan. Aku yang tadinya terbiasa mengeluh belajar untuk bersyukur. Bila direnungkan, ada sisi positifnya aku dikirimkan ke dunia ini.

"Ayah, sudah mau habis makanannya?" Aku berbasa-basi.

"Iya."

"Bagaimana pekerjaan Ayah?"

"Lancar."

Responsnya berbeda, dibandingkan kala aku berdua saja dengan Duke. Bisa saja kehadiran Serena lah yang menjadi penyebabnya.

Itu wajar. Secara tidak langsung, Serena ikut andil dalam kematian Duchess. Bagi Duke, peristiwa itu tidak mudah dilupakan.

Tapi waktu sudah berlalu selama empat tahun. Tidak mungkin hati Duke akan terus membatu selamanya.

Sejujurnya, aku merasa bersalah dengan Serena. Akulah yang mengajaknya bergabung. Namun, reuni keluarga ini malah berlangsung dengan canggung.

Aku harus berusaha lagi. Pelan-pelan saja.

"Ayah kelihatan lelah. Setelah makan nanti langsung istirahat, ya? Jangan sampai sakit. Ayah sangat berlebihan dalam bekerja," perhatianku.

Duke terkekeh tulus, lalu membalas, "Kau sangat mirip dengan ibumu."

Sesaat, suasana ruang makan menghampa. Menyadari perkataan barusan, durja Serena menekuk. Bahasan soal Duchess merupakan hal yang paling sensitif di rumah ini.

"Hahaha. Oh, ya, Ayah, aku tadi bermain dengan Kakak. Kakak baik sekali mengantarku berkeliling mansion. Lalu kami juga makan siang sama-sama. Kak Serena orang yang menyenangkan. Ia bermurah hati menceritakan segalanya kepadaku," celotehku.

Saat aku melirik Duke, ia mengulum bibirnya sendiri. "Itu bagus," singkatnya.

Baiklah, aku mengerti. Bahasan itu juga salah.

"Ayah, beberapa hari ini, aku bosan berkeliling rumah. Aku juga sudah sehat," kataku, beralih ke tema lain.

"Lalu?"

"Hmm, itu ... bolehkah aku jalan-jalan keluar?"

Duke Orwen tak dapat menyembunyikan keraguannya. Ia melalap habis sayuran yang tersisa di piringnya. Sedangkan Serena yang diam-diam mendengarkan sibuk memotong daging.

"Kau baru siuman, belum genap seminggu," tukas Duke.

Sudah kuduga. Aku bisa memahami betapa sulitnya dia mengizinkanku keluar.

"Kumohon, Ayaaah," kali ini kukerahkan segala kemampuanku untuk melakukan aegyo*. Aku terlewat percaya diri karena tahu Senika kecil mirip dengan peri.

Serena yang memperhatikanku terbatuk-batuk sampai cipratannya mengenai bajuku. Bisa kurasakan betapa gelinya dia mendapatiku bergaya sok imut seperti peliharaan Sugar Daddy*.

Aku yang menghiraukan reaksinya mengosek punggung kakinya, seolah berseru, "Diamlah!"

"Ayaaah, aku janji tidak akan terjadi apa-apa. Ada Kakak juga yang menjagaku. Ayah juga bisa belanja bersama kami!" bujukku.

Duke meneguk habis sisa air di dalam gelas--yang sedari tadi ia pegang. Ia mengeryitkan dahi.

"Ayah, kalau aku di rumah terus bisa-bisa aku makin sakit karena stress. Aku butuh udara segar!"

Kuserang titik terlemahnya dengan menekankan kata berhuruf miring. Apakah berhasil?

Duke hanya mendengkus panjang. Dengan pasrah, ia berkata, "Baiklah. Berhenti merengek, oke?"

"Yeay!"

Bagus, orang tua itu menyerah.

"Minggu ini Ayah masih sibuk bekerja. Jadi sebagai gantinya, biar pelayan dan penjaga yang mendampingi," lanjutnya.

"Terimakasih, Ayaahh!" ungkapku.

Selepas itu, kami melanjutkan makan malam yang bersatu dengan keheningan. Tak apa, yang terpenting, Duke tidak sampai hati mengusir Serena. Tandanya, Duke tidak benar-benar membencinya.

Tujuan perkumpulan pada malam ini memang belum tercapai untuk menyatukan Serena dan Duke.

Tidak bisa secepat itu untuk memulihkan kepercayaan Duke.

Tak apa, hal itu tak menjadi masalah bagiku. Aku punya cadangan kartu yang berikutnya. Hari lain pun masih ada. Tak perlu buru-buru.

Aku jadi tidak sabar untuk segera merealisasikan planning-ku.

"Tunggu saja, Serena, Orwen, aku pasti akan membuat keluarga Chester bersatu!"

Sehingga, keruntuhan keluarga Chester tidak akan terjadi.

Aku mengangan-angan tentang apa yang akan kulakukan besok. Saat aku mengelap bajuku yang bernoda serta mulutku yang belepotan, tersungging seringai di sudut bibirku.

***

I tagged this book, come and support me with a thumbs up!

machaicecreamcreators' thoughts