webnovel

After Bad Destiny

Naulida Ambriaksi adalah seorang perempuan berusia dua puluh enam tahun yang bekerja di perusahaan minyak terbesar di Indonesia dengan posisi jabatan Manager Pengelolaan Minyak. Karir Naulida Ambriaksi terbilang sukses karena kerja keras dan kegigihannya. Namun, semua itu tidak dinikmatinya sendiri karena dia harus membiayai kuliah adiknya atas permintaan orang tua. Kasih sayang orang tua yang hanya dilimpahkan kepada adik Naulida membuatnya tertekan. Terlebih, dia juga mendapat masalah di kantor yang berimbas pada kehilangan pekerjaan yang telah susah payah diraihnya. Naulida kembali mendapat tekanan ketika adik Naulida hendak menikah dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh rekan kerja yang dipercayainya. Ia ditekan untuk mencari, mendapatkan jodoh dan ancaman dari rekan kerjanya. Naulida tentu merasa semakin risi sehingga dia memutuskan pergi dari rumah untuk menenangkan diri. Suatu ketika, dia bertemu dengan seorang lelaki yang memiliki paras tampan, agamis dan stylist di salah satu masjid. Dia tertarik dengan laki-laki itu. Apakah lelaki itu akan menjadi jodoh Naulida? Apakah Naulida bisa bertahan dalam menjalani ujian hidup dengan berpisah dari orang tuanya?

Angdan · Urbano
Classificações insuficientes
54 Chs

Sikap Ibu dan Alexio

"Pa, Alex dan Naulida ingin menjalani hubungan terlebih dahulu sampai kita sama-sama nyaman," ucap Alexander.

"Hmm ... kalau begitu tidak apa-apa dan Papa setuju agar kalian bisa mengenal karakter masing-masing."

Naulida, Alexander, teman-teman, pejabat kantor dan klien telah berada di luar bandara. Mereka tiba di Jakarta tepat pukul empat sore dan saling berpamitan untuk pulang ke rumah masing-masing.

"Pulang dulu, ya. Terima kasih banyak, Bapak Harry dan Bapak Alexander," ucap Eko.

"Iya, hati-hati," ucap Alexander.

Setelah semua berpamitan, Naulida tinggal seorang diri yang terakhir berpamitan dengan Alexander dan Bapak Harry. Ia memeluk Alexander sekilas dan berjabat tangan Bapak Harry.

"Saya pulang dulu, Alex dan Bapak Harry."

"Iya, hati-hati di jalan, ya, Naulida," pesan Bapak Harry.

"Iya, Pak. Terima kasih untuk hadiah liburannya selama tiga hari ini."

"Sama-sama. Lain kali kalau kamu diajak sama Alexander untuk liburan harus mau karena itu kesempatan kalian untuk mengenal satu sama lain," ucap Bapak Harry.

"Iya, Pak," ucap Naulida dengan lembut.

"Hati-hati di jalan, ya, Sayang atau mau aku antarin kamu sampai ke rumah?" Alexander menawarkan diri untuk mengantarkannya pulang sampai depan rumah.

"Tidak perlu. Aku bisa sendiri, Alex," tolak Naulida dengan lembut.

"Baiklah."

Alexander menghampiri lalu memegang pipi dan mengecup bibirnya sekilas sampai Naulida berkedip dan terkejut ia dikecup oleh kekasih di depan Papanya. Bapak Harry hanya tertawa melihat ekpresi wajah Naulida yang terkejut.

Naulida langsung mengambil tas plastik berisi makanan dan berbalik badan dengan melangkah perlahan tanpa menoleh ke belakang karena ia malu sampai tidak bisa mengeluarkan satu kata pun. Ia tercengang sampai pulang ke rumah bahkan sampai ke kamar sehingga ia melewati ibunya yang berada di ruang televisi bersama adiknya.

Naulida meletakkan barang di sembarang tempat, ia merebahkan badan ke kasur dengan tangan terlentang sembari menatap langit-langit. Pikirannya berterbangan sehingga ia tidak mendengar panggilan ibunya yang keras.

"Naulida naulida!"

Ibunya sampai menghampiri ke kamar dan melihat tingkah anaknya yang hanya tiduran menghadap langit-langit. Ia pun menyentuh tangan dan memanggilnya.

"Hei, Naulida!"

"Ibu?" Naulida terkejut hingga terbangun dari lamunannya.

"Ibu tadi memanggilmu berkali-kali dan keras sampai suara ibu mau habis. Apakah kamu sengaja tidak menghiraukan panggilan ibu?" tukas Ibunya.

"Ya Ampun, Bu, maaf, Nau tidak mendengarnya," sanggah Naulida

"Jelas tidak mendengar, kamu melamun dengan pandangan ke langit-langit."

"Maaf, Bu."

"Apakah kamu membawa oleh-oleh untuk kami?" tanya Ibu naulida dengan nada sedikit tinggi.

"Maaf, Bu, Naulida tidak membawa oleh-oleh dan hanya membawa baju kotor saja."

"Pulang, kok, membawa baju kotor seharusnya itu oleh-oleh dan oleh-oleh itu tidak hanya makanan," ketus Ibunya.

"Maaf, Bu, Naulida tidak sempat membelinya karena uang dari gaji sudah dibayarkan untuk membayar uang kuliah adik, uang jajan bulanan adik dan dibelikan untuk keperluan bulanan di rumah," jelas Naulida.

"Masa kamu tidak mempunyai simpanan?"

"Ibu tahu sendiri gaji Nau dan itu habis belum sebulan. Ada simpanan untuk bensin mobil, Bu," jawab Naulida.

Ibu hanya berdiam dan berdiri ketika Naulida memberikan penjelasan kepadanya. Lalu, ia mengusap hidung untuk mencari alasan agar anaknya mempunyai banyak uang.

"Makanya kamu harus bekerja lebih giat dan keras lagi agar kamu naik pangkat dan bisa menghasilkan uang banyak," ucap Ibu.

"Iya, Bu," ucap Naulida sembari tersenyum.

"Kalau perlu kamu punya kekasih yang kaya raya agar kekasih kamu memberikan uang bulanan kepadamu, Nau," ujar Ibu.

Perkataan Ibunya hanya dibalas dengan senyuman karena ia tidak ingin mengeluarkan sebuah janji yang membuat semua orang nanti menagih perkataannya dan Ibu mengernyitkan dahi karena anaknya hanya tersenyum ketika ia memberikan saran kepada Naulida.

"Kamu malah tersenyum dan kamu harus mencontoh adikmu yang memiliki lelaki kaya raya dan Ibu sangat senang."

"Apakah kekasihnya sudah pernah ke rumah?" tanya Naulida.

"Belum, itu kata adikmu dan sebentar lagi kekasih adikmu datang untuk mengajaknya ke luar. Kamu buruan memiliki kekasih yang kaya raya dan bisa mencukupi kebutuhan hidup kita, Nau."

Ia hanya menghela napas dengan berat dan pandangan melirik ibunya sekilas tanpa merespons perkataan ibunya sampai pergi meninggalkan Naulida sendirian di kamar dan turun ke lantai satu.

Sesaat, ibunya turun, klakson mobil berbunyi sebanyak dua kali sehingga ia bergegas turun ke bawah menuju ruang tamu dan ia melihat ibu dan ayahnya mengantarkan adik ke depan rumah untuk menyambut dan berkenalan dengan kekasih adiknya. Mereka pun sangat ramah terhadap laki-laki itu bernama Alexio.

Alexio terlihat sopan, manis dan tutur kata lembut ditambah ia mengendarai mobil sport berwarna merah dan mengkilap sehingga orang tuanya menjadi semakin senang dan kemungkinan merestui hubungan mereka.

Naulida tersenyum tipis melihat sikap Alexio terhadap keluarganya sembari melipat kedua tangan di depan dada. Ibu dan ayahnya belum mengetahui sikap tidak sopan dan gaya bicara yang sombong.

Sikap ramah tamah mereka selesai dan adiknya pamit pergi. Naulida beralih menuju kamarnya untuk membersihkan badan agar tidak teringat kejadian yang sengaja dilakukan oleh Alexander. Ia membersihkan badan selama lima belas menit dan hendak memakai baju, nada panggilan masuk berbunyi dengan keras sehingga ia langsung mengangkat tanpa melihat nama pada layar.

"Halo, Andria?"

"Andria, aku bukan Andria tapi, Alexander Perdana, pasangan kamu dan calon suami kamu," ucap Alexander.

Naulida melihat nama di layar dan panggilan itu dari Alexander."Astaga, maaf, aku tadi tidak melihat nama di layar. Jadi, aku langsung mengangkatnya," ucap Naulida.

"Tidak apa-apa, Sayang. Apakah kamu sedang sibuk?"

"Tidak, tidak juga. Aku baru selesai mandi terus kamu telepon aku. Ada apa?"

"Sudah pakai baju belum? Atau kamu sedang memakai baju? Apakah aku boleh melihatnya?" cecar Alexander.

"Pikiran kamu minta dicuci sampai bersih, ya. Kamu boleh melihatnya kalau sudah sah menjadi suami istri," ucap Naulida dengan nada sedikit tinggi.

"Iya, iya. Jangan galak-galak dong."

"Kamu bicaranya seperti itu, sih," ucap Naulida."Kamu sudah sampai di rumah?" tanya Naulida.

"Aku sudah sampai di rumah dan sudah mandi juga."

"Syukurlah."

Naulida meletakkan handphone di kasur dan ia menyisir rambut sembari bercermin dan ia teringat dengan perlakuan Alexander yang mengecup di depan papanya.

"Alex, kenapa kamu tadi mengecupku?" tanya Naulida penasaran.

"Apakah kecupanku membuatmu ingat terus akan kejadian itu?" Alexander menggodanya dan tertawa.

"Aku tanya malah kamu balik tanya."

"Tidak ada alasan yang cocok untuk itu. Aku hanya ingin mengecupmu sebagai tanda kasih sayang dan itu sengaja kulakukan di depan papa bahwa aku sayang dan mencintaimu," jawab Alexander.

"Apakah harus seperti itu? Bagaimana dengan respons papa kamu? Apakah ia memarahimu, menghajarmu karena mengecup anak orang lain di depannya?" cecar Naulida.