Tiba-tiba gadis yang sedang terbaring itu kini ia membuka matanya. Tatapannya juga tertuju pada Steve yang kini berdiri dengan luka-luka di tubuhnya yang masih diperban.
"Steve?" Lirih sonia, bahkan ia belum mengatakan apapun dari kemarin ini pertama kalinya ia membuka mulut.
Namun yang terjadi adalah menetesnya air mata dari pelupuk matanya begitu ia mendengar lirihan suara dari mulut Sonia yang baru membuka matanya.
Edward melihat Steve dan menghampiri nya. "Bro sudah lebih baik?" tanya Edward.
"Apakah kau Edward?" tanya nya, iya harus menanyakan lebih dulu karena yang katanya belum kembali.
Edward tahu betul bahwa kakaknya itu masih belum mengingat apapun termasuk dirinya Karena itulah ia menyapa lebih dulu.
Sonia yang baru tersadar ia menyadari kejanggalan antara sikap suaminya dan Steve yang kini berdiri di ujung ranjang.
"Apakah ini istrimu?" tanya Steve lagi.
Edward mengangguk, "Ya, dia kaget dan mengalami kesulitan saat mendengar kamu kecelakaan sehingga anak kami lahir di bulan yang belum seharusnya!"
Mendengar itu batin Steve merasa tertampar dia tiba-tiba merasakan gelisah dan sedih begitu mendengar penuturan Edward tentang anak mereka yang baru saja lahir.
Steve merasa itu hal normal karena ia juga pasti menanti kelahiran keponakan nya.
Sonia tiba-tiba ingin bangun di bantu Edward.
Steve pindah lebih dekat kepadanya. "Apakah kamu Sonia?" tanya nya.
Edward yang sedikit panik mulai menjelaskan pada istrinya itu bahwa kakaknya mengalami Amnesia retrograde Hal itulah yang membuatnya tidak mengingat kenangan-kenangan baru maupun lama di ingatannya.
Sonia hanya mampu mematung dengan tatapan kosong menatap Steve yang juga kepalanya masih diperban juga bagian lengannya.
"Bagaimana keadaan anak kalian?" tanya nya lagi.
Sonia menatap mulut Steve yang dengan lantang bertanya seperti itu dan membuat hatinya sakit.
"Ini takdir Tuhan yang baik, dia selamat walau harus berjuang lebih karena berat badan nya yang belum normal, dia masih di bantu banyak alat medis karena masih sangat lemah!"
Tiba-tiba deringan telepon Edwar membuat mereka semua menatapnya dan laki-laki itu menjawab teleponnya sebentar kemudian dia mengatakan pada Tsania dan Steve untuk keluar sebentar mengobrol di luar ruangan dan meninggalkan mereka berdua di kamar itu.
Sonia yang sedari tadi hanya mematung ia kini menatap Steve yang juga sedang menatapnya.
"Steve! apakah kamu benar-benar melupakan aku?" tanya sonia penuh harapan dari sorot matanya.
Steve yang mendengar itu merasa sedikit risih karena perasaan nya tiba-tiba merespon, anehnya hal ini tidak ia rasakan ketika bersama Katrine.
"Ya, sayangnya begitu, maafkan aku Sonia!" jawab Steve walau ia berusaha sebaik mungkin juga menjaga diri agar tidak terlalu memperlihatkan kegusaran nya.
Tiba-tiba Sonia menangis, dan membuat Steve serba salah.
"Hei? why? are you okay?" tanya Steve, ia mengira perempuan itu mengalami sakit.
"Steve, tolong cepat pulih dan ingat aku! aku tak bisa melewati ini sendirian, bahkan dia merasakan bagaimana ketika kamu kecelakaan, karena itulah ia harus lahir ke dunia sebelum waktunya dia membutuhkan dukungan kita," ujar Sonia, dengan bulir air mata di matanya.
"Dia?" lirih Steve pelan, ia mulai berpikir apakah yang di maksud Sonia adalah keponakan nya yang baru lahir.
"Ah, Sonia maafkan aku, karena Kejadian ini kamu harus kaget dan melahirkan di waktu yang tidak tepat aku rasa aku juga bertanggung jawab atas itu Maafkan aku Aku harap semuanya akan membaik dan anakmu akan tumbuh sehat Aku tahu kalian sangat menantikan putra kalian itu!" jawab Steve menenangkan.
Tapi bukannya senang Sonia malah gelisah karena setiap benar-benar Hilang Ingatan dan tidak mengingat bagaimana ia sangat peduli terhadap bayi yang ada di kandungannya kini anaknya itu sudah lahir ke dunia dan Steve bahkan tidak memikirkannya sedikitpun.
Padahal Iya selalu bertanya setiap hari dan berharap bahwa bayi itu akan segera lahir ke dunia.
"Aku minta maaf, tenangkan dirimu aku juga sebenarnya tidak menginginkan kecelakaan itu terjadi!" lirih Steve.
Edward kembali ke ruangan itu setelah menyelesaikan teleponnya ia kemudian bertanya Mengapa istrinya menangis di atas ranjang, Ia juga mengira bahwa istrinya merasakan sakit di tubuhnya karena itulah Edward sedikit panik dan seperti akan bergegas memanggil dokter namun Sonia langsung memanggilnya.
"Aku baik-baik saja jangan panggil Dokter aku ingin berbaring juga istirahat lagi," ucap Sonia.
Ia kemudian di bantu Edward untuk tiduran lagi nanun ia bergulir sedikit dan menghadap jendela besar, membelakangi Steve yang sedari tadi berbicara dengannya. Hal itu membuat lelaki itu kebingungan mengapa Sonia bersikap seperti itu terhadapnya.
"Steve, mungkin istriku masih lelah karena sehabis operasi dia sebenarnya harus bad rest dan jangan banyak bergerak!" Edward menjelaskan pada Kakaknya itu.
Steve menganguk pelan walau sebenarnya ia masih heran sembari menatap punggung Sonia yang tidur di ranjang pasien nya.
"Kalau begitu aku akan pulang ke kamar ku, aku juga akan istirahat!" jawab Steve.
"Ok, mau aku antar?"
"Tidak usah, aku juga sedang membiasakan diri dengan kaki ku!" jawab Steve.
Lelaki itu kemudian keluar dari kamar Sonia dan dia mulai berjalan menapaki lorong rumah sakit namun ia begitu tertarik dengan sebuah ruangan di mana bayi-bayi sedang tidur di sana.
Bayi-bayi itu terlihat lucu mereka menggeliat namun tidak menangis kemudian tatapan Steve tertuju pada satu bayi mungil yang berada di inkubator. Ia langsung tahu bahwa itu adalah bayi Edwar dan Sonia pikirnya.
Karena tabung nya berada di dekat kaca, ia langsung bisa melihat sedikit lebih jelas.
"Apakah kamu keponakan ku?" lirih Steve.
Mata bayi itu terbuka sedikit sekali, ia seperti berusaha menghela nafas dengan selang-selang yang di tempel di tubuhnya.
Steve tiba-tiba membungkuk membuat dirinya sejajar dengan tabung inkubator bayi itu.
Ia mulai berbicara dengan tangan yang menempel di kaca besar pembatas ruangan itu. "Hei jagoan, semua bayi-bayi di sini memang lucu, namun kamulah yang terkuat dan Kamulah yang terhebat kamu bertahan untuk orang-orang yang menyayangimu, kamu harus hidup maka kamu akan menikmati semua kebahagiaan atas semua perjuanganmu!" lirih Steve.
Anehnya lagi-lagi air matanya menetes, ia seperti tak tega melihat bayi itu bertahan dengan banyak alat medis menempel di tubuhnya yang amat sangat kecil.
Ia kemudian berbalik setelah melambaikan tangannya dan berkata akan kembali lagi.
Ia berjalan dengan pelan sembari menepuk dada kirinya dengan tangan. "Bagaimana bisa bayi sekecil itu menahan sakit dan berjuang untuk hidupnya dengan bantuan alat-alat yang menghalangi geraknya!" lirih Steve sembari rasa perih di hatinya membuat ia tak kuat menahan tangis sehingga berpegangan pada dinding.
Perasaan yang sama muncul padanya bukan hanya saat melihat Sonia, namun saat melihat putranya juga. Hal itu membuatnya bingung.