webnovel

About Love Triangle

Satu malam itu mengubah segalanya, tragedi berdarah itu membuat sebuah persahabatan hancur dan dua orang saling mencintai menjauh. "Jangan pernah menyalahkan cinta, karna cinta itu tidak pernah salah!" - Sang Penghianat Cinta

Quinwriter · Adolescente
Classificações insuficientes
19 Chs

Prolog

"Gior anjing!" teriak Aura dengan marah, ia melempar telpon genggamnya. Namun dengan cepat laki - laki yang menjadi sasaran kemarahannya menghindar.

"Gila lo ya Ra! Psikopat lo ya?" walau ini bukan yang pertama untuk Gior, dia masih saja shock dengan tingkah kasar Aura hobby melempar barang.

"Iya! Gue gila! Gue psikopat! Mau apa lo?!"

Gior merasa inilah pertanyaan yang ia tunggu - tunggu keluar dari mulut Aura. Bibirnya tersenyum tipis, sangat tipis membuat Aura yang menatapnya bahkan tidak sadar dengan senyuman itu.

"Gue mau putus! Gue capek Ra! Lo udah kelewatan! Lo itu gila, psikopat! Tau lo?!"

Aura berdecih, "capek?" sinisnya. "Yang seharusnya capek itu gue bukan lo! Udah tiga kali ya gue liat lo jalan sama cewek lain!"

"Ya, terus kenapa?"

"Kenapa lo bilang?"

"Lo bajingan ya! Anjing lo ya!"

"Terserah lo mau bilang gue apa! Gue mau putus!"

"Gak!" tolak Aura. "Berani lo mutusin gue?!" Mata Aura memandangi sekitar, mencari senjata tajam yang bisa ia jadikan ancaman buat Gior.

Sayangnya Gior sudah hafal dengan tingkah laku Aura, terlebih dia diuntungkan dengan letak gunting yang jaraknya lebih dekat dengannya.

"Lo mau bunuh diri?" ucapnya sembari memegang gunting. "Silahkan!" lanjutnya dengan menantang, ia bahkan menyerahkan langsung benda tajam tersebut ke tangan Aura. "Gue gak akan perduli! Mau mati sekalian lo, gue gak perduli!"setelah mengatakannya. Gior bergegas mengambil tasnya dan meninggalkan Aura pergi.

"Gior?!" teriak Aura. "GIOR BALIK GAK LO!" Gior tak mengindahkan teriakan itu, ia terus saja melangkah pergi.

"...."

"GIOR?!!!" Aura berlari mencoba mengejar Gior.

"...."

Melihat Gior yang sedang memasang helmnya membuat raut wajah Aura yang tadinya marah berubah ketakutan. "Gior ... Gior ... Gior maafin gue! Gior?! Gior maafin gue!" Aura memohon mencoba menghalangi Gior naik ke atas motornya.

"Lepasin gue!" hentakan Gior membuat Aura semakin tak ingin melepaskan genggamannya.

"Gior! Maafin gue, kasih gue kesempatan! Gue cinta sama lo! Gue gini demi lo! Karena lo!"

"Cukup Ra! Gue udah muak sama lo! Kita putus!" Gior berhasil menaiki motornya, ia langsung menstarter dan melaju meninggalkan Aura dengan tangisan histeris.

+-+-+

Aura mempercepat langkah kakinya setelah meletakkan tas ke dalam kelas. Kejadian semalam membuat matanya bengkak membuat ia terpaksa memakai kaca mata berlensa photocromic untuk menutupi mata bengkaknya.

"GIOOOOORRRR!" terdengar teriakan lantang dari arah pintu kelas.

Aura menatap bingung, pemilik bangku yang sering ia kunjungi terlihat tidak ada di tempatnya. "Aura, mau cari Gior ya?" tanya salah satu laki - laki yang duduk berkumpul di sudut kelas.

"Gior kemana?" tanya Aura bingung.

"Lo gak tau?" Laki - laki itu berjalan menghampiri Aura. "Gior udah pindah," bisiknya pelan.

"Pindah? Lo ngomong apa? Pindah apa maksud lo?" Wajah Aura berubah panik.

"Pindah, dia udah gak di sini lagi. Dia pergi, ninggalin lo!" tatapan laki - laki itu tajam.

"Anjing!" umpat Aura lalu berbalik hendak pergi mencari keberadaan Gior.

"AURA?!" teriak laki - laki itu lagi. "Percuma lo cari dia! Dia udah pergi jauh sejam yang lalu! Lo gak akan pernah nemuin dia lagi!"

Ingin sekali Aura menghajar laki - laki yang berada tak jauh darinya itu. Namun, menemukan Gior dengan jalur tercepat adalah hal yang harus dilakukannya saat ini. Aura memutuskan pergi, menghajar laki - laki itu akan dia tunda nanti.

Berbagai macam ketakutan berada di dalam pikiran Aura saat ini. Ia sangat marah, lebih marah dibanding saat mendapati Gior pergi dengan perempuan lain. "Gior, lo gak akan pernah bisa pergi dari gue!" ucap Aura yakin. Ia tidak akan membiarkan Gior berhasil pergi darinya. Dia akan mengejar kemana pun Gior pergi.

"Hey, kamu mau kemana?" teriak Satpam saat Aura berjalan melewati gerbang yang terbuka.

Aura tak mengindahkan pertanyaan satpam sekolahnya. "Hey, kamu! Mau kemana?!" Satpam tersebut mencoba menghampiri Aura dan menahannya.

"Masuk ke kelas! Siapa suruh kamu berkeliaran?!"

"Minggir!" ucap Aura dingin, tatapannya pun sangat tajam seperti ingin memakan siapa pun yang mencoba menghalanginya.

"Kembali ke kelasmu! Kamu mau saya laporkan ke wali kelas kamu?!"

"Minggir!" tangan Aura mendorong satpam itu sampai terjungkal. Setelah membuat satpam sekolah jatuh terduduk, Aura dengan tidak perdulinya pergi, ia berjalan ke arah pangkalan ojek lalu menyebutkan alamat tujuannya.

"WOY?!!!" teriak laki - laki berseragam sama dengan Aura menyaksikan kejadian yang dialami oleh satpam sekolah. "Pak, Bapak gak papa?" tanya laki - laki itu, ia membantu satpam berbadan gembul itu berdiri.

"Bapak gak papa Je. Cuma Bapak bakal kena tegur ini sama kepala sekolah."

"Tenang Pak, nanti saya bantu bicara. Perempuan itu gak ada etikanya!"

"Gak usah Je ini udah tanggung jawab Bapak. Mending kamu balik ke kelas."

+-+-+

Aura memberikan selembar uang berwarna biru, matanya menatap rumah bercat abu di depannya. Terlihat sepi tidak seperti biasanya. "GIOR!!!" salam Aura. Sayangnya ia tidak langsung mendapat jawaban. "GIOR!!! Keluar lo, gue tau lo di dalam!!!" lagi ia mengucapkan salam lebih keras dari sebelumnya. Tak lama seorang wanita berumur 40-an berjalan keluar dengan tergopoh - gopoh.

"Mbak, kenapa teriak - teriak di depan rumah saya, Mbak cari siapa?" tanyanya dengan logat Jawa yang masih kental.

"Ibu siapa ya?" tanya Aura balik kebingungan karena tidak pernah melihat wanita yang berada di hadapannya ini ada di rumah Gior.

"Saya Ibu Tin. Mbak mau cari siapa?"

"Ibu siapanya Gior?" Aura kembali melempar pertanyaan.

"Gior sopo toh Mbak?"

"Yang tinggal di rumah ini."

"Oh, Gior anak Pak Gusti yo Mbak?"

"Iya, Giornya mana Bu?"

"Pak Gusti dan keluarganya udah pindah Mbak sebulan yang lalu dan rumah ini sudah dijual kepada saya."

"Pindah? Pindah kemana?"

"Dengar - dengar sih ke Kalimantan Mbak, saya juga kurang tau. Waktu itu rumah ini dijual cepat karena katanya Pak Gusti dipindah tugaskan." Aura mengacak rambutnya prustasi. Ia semakin marah mendengar pernyataan Ibu Tin ini. Bagaimana mungkin Gior pindah sebulan yang lalu dan dia tidak tau menahu sama sekali.

"Ibu tau alamatnya yang di Kalimantan bu?"

"Wah itu saya kurang tau Mbak karena setelah menanda tangani pembelian rumah Pak Gusti dan keluarganya langsung berangkat ke Kalimantan, jadi tidak sempat ngobrol Mbak."

Aura menatap nanar rumah yang pernah ditinggali oleh Gior. Ia langsung berjalan pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun kepada pemilik rumah yang baru. Dengan pikiran kosong Aura terus berjalan, berjalan tidak tau arah dan tujuan. Ia ingin mati sekarang, ia benar - benar ingin mati. Hidup tanpa Gior, ia tidak pernah membayangkannya. Lebih baik ia mati, itu dalam pikirannya sekarang.

Tubuh kurus, wajah pucat, tatapan kosong dan keringat bercucuran. Itulah gambaran yang tepat buat Aura. Ia terlihat seperti mayat hidup. Selama satu jam Aura berjalan, kakinya mulai terasa lelah. Ia pun memilih berhenti di sebuah jembatan. Tatapannya tertuju pada sungai yang mengalir di bawahnya. "Kalau mati bisa buat lo nyesal, gue akan mati buat lo Gior!"

Aura memegang sisi jembatan dengan erat. Ia kembali melihat ke bawah, air sungai terlihat begitu segar jika ia terjun sekarang. "Gue mati buat lo Gior!" setelah mengatakan itu Aura menaiki sisi jembatan dan dalam detik ketiga.

"Selamat tinggal Gior!"

'Byur!'

+-+-+