2 Pertama

"Aura gue laper, kantin yuk?"

"...."

"Aura?"

"...."

"Aura lo denger gak sih gue ngomong?"

"...."

"Ra ... Aura! Aura kantin yuk!"

Gadis dengan rambut yang diikat asal itu masih saja duduk termenung di bangkunya. Bel sudah berbunyi sedari tadi. Sedangkan dia masih terdiam tanpa ada gerakan dan suara sedikit pun, hanya ada hembusan nafas dan kedipan mata menandakan dia masih bernyawa. Tanda - tanda kehidupan tersebut yang membuat sahabatnya sedari tadi tidak menyerah memanggil - manggil namanya agar mau menemaninya ke kantin.

"Aura?" panggilnya lagi, tidak menyerah. Kali ini suaranya terdengar lebih lembut. Perlahan ia menyentuh tangan Aura dan berhasil membuat Aura melirik ke arah tangannya.

"Ayo dong, udah satu bulan lo gini. Mau sampe kapan?" Lagi-lagi itu yang di katakan sahabat Aura membuat siapapun yang mendengarnya bisa bosan. Tapi tidak dengan gadis bernama Aura. Sepertinya ia tak pernah bosan mendengarkan omelan sahabatnya.

"Ra, denger gue. Laki - laki itu banyak Ra. Lo jangan takut keabisan deh. Indonesia ini luas. Apa lagi bumi. Diantara mereka pasti ada yang terbaik buat lo!" Jena kembali merayu sahabatnya. "Gior bukan yang terbaik buat lo. Buktinya, dia mutusin lo! Ih rugi banget lah si Gior mutusin sahabat gue ini yang cantik nan jelita ini."

"Jena ... jangan pernah sebut nama dia lagi!" Akhirnya, Jena bisa bernapas lega. Aura akhirnya mengatakan beberapa patah kata setelah sekian lama berpuasa berbicara. Patah hati kemarin sangat berdampak buruk untuk hidupnya.

"Oke, gue gak akan sebut nama dia lagi. Gue janji! Tapi, kita ke kantin, ya? Kata nyokap lo, lo belum makan dari kemarin. Gue gak mau lo pingsan di kelas." Dengan memohon Jena menatap Aura berbeda dengan Aura yang hanya membalas tatapan Jena datar tanpa ingin berbicara sedikit pun. "Ayo," ajak Jena yang seolah mengerti kalau sahabatnya tidak akan menolak.

Dengan tersenyum riang, Jena merangkul lengan Aura. Aura hanya memberikan respon datar. Saat mereka berjalan di koridor, beberapa siswa siswi kenalan mereka menyapa ramah dan hanya Jena yang membalas sapaan tersebut. Sedangkan Aura masih bertahan dengan diamnya.

Sesampai di kantin Jena meminta Aura untuk duduk saja sedangkan dia memesan makanan. Aura yang duduk sendiri, tiba-tiba dikagetkan dengan seorang laki-laki yang tiba-tiba saja datang menduduki tempat yang berada di hadapannya. Awalnya Aura hanya diam menatap laki-laki itu dengan wajah datar. Namun, saat memperhatikan cara makan laki-laki itu yang seperti dikejar setan membuat Aura tersenyum kecil hingga membuat lelaki yang ditatapnya terusik.

"Kenapa?" Lelaki itu kini telah selesai makan dan menatap Aura tepat di manik matanya. Aura merasa jantungnya sedikit begetar, namun ia segera menepisnya jauh-jauh karena baginya ini salah. Ia baru saja patah hati, mana bisa secepat itu kembali membuka hati.

"Ada kecap di pipi lo." Aura hendak menyentuh wajahnya untuk membantu membersihkan. Namun, ia segera menjauh dari jangkauan Aura.

Setelah membersihkan wajahnya, lelaki itu memilih diam. Begitu juga dengan Aura. Tak lama, Jena datang membawa dua piring nasi goreng untuk dirinya dan Aura. Lelaki itu pun pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun.

"Lo kenapa?" tanya Jena yang bingung dengan Aura yang tiba-tiba tersenyum memperhatikan punggung lelaki yang kini menjauh.

"Ah ...," ia menggeleng. Namun, ia ingin bertanya kalau-kalau Jena tau. "Cowok tadi, yang di depan kita tadi. Lo tau gak siapa namanya?"

Jena tak langsung menjawab, ia malah menoleh ke kursi di hadapannya yang sudah kosong. "Gue gak liat, emang kenapa?"

Bibir Aura mengerucut, dahi Jena langsung berkerut melihat pemandangan yang sudah lama tak dilihatnya. Ada rasa senang dari lubuk hatinya melihat Jena yang tiba - tiba kembali bisa mengekrspresikan perasaannya.

"Eh ... tunggu!" Aura tiba - tiba terpikir sesuatu yang baru saja diingatnya setelah sekian lama. "Kayaknya gue pernah suka sama dia deh." Aura sekarang tersenyum sambil menerawang mengingat-ingat saat dulu ia pernah bertemu dengan lelaki itu pertama kalinya. Saat laki-laki itu mengusap pipinya sendiri hingga menimbulkan lesung pipi yang tak di ketahui banyak orang. Aura ingat, ia pernah suka dengan laki-laki berlesung pipi itu. Iya dia laki - laki berlesung pipi, cinta pertama Aura yang dikaguminya diam - diam.

"Lo masih galau beberapa menit yang lalu dan sekarang lo udah bisa suka sama orang. Wah ... daebak!" Jena mengeleng takjub melihat sahabatnya. Harus diakui kalau Aura orang yang mudah suka, tapi hanya sebatas suka gak lebih. Kalau ia bisa sampai jatuh cinta, itu benar-benar hebat karna Aura sulit jatuh cinta. Sekalinya jatuh cinta ia akan terjatuh-sejatuhnya seperti orang bodoh. Contohnya, seperti yang sudah terjadi.

Aura masih tersenyum wajahnya yang tadi seperti mayat hidup, tiba-tiba saja bisa berubah hanya karena laki - laki di hadapannya. Walau pun Jena tak tahan untuk tak menggoda Aura. Tetapi, di dalam lubuk hatinya ia begitu senang dan bersyukur pada Tuhan telah mengembalikan sahabatnya, ia bahkan kini sedang berencana untuk mencari tau. Siapa laki-laki yang telah menyembuhkan luka hati sahabat tersayangnya.

"Jangan senyum-senyum mulu, makan dulu, gih. Sepuluh menit lagi bel," tegur Jena. Aura menoleh ke arah Jena lalu mengangguk mengabiskan makanannya dengan senyuman.

Aura kembali, pikir Jena senang.

+-+-+

-1 Tahun Yang Lalu-

"Non Aura sarapan dulu ya?" ucap Bibik yang sudah ia anggap ibu karena merawatnya sejak bayi menggantikan Ibu kandungnya yang sibuk bekerja.

"Bik, Aura gak sempat sarapan!" keluhnya. Aura tampak repot, tubuhnya penuh dengan berbagai atribut. Rambutnya dikuncir tiga sesuai dengan bulan lahirnya, dilehernya tergantung name tag besar bertuliskan monyet, tak tinggal ada kalung permen yang jumlahnya telah ditentukan panitia mos sekolah.

"Bibik suapin ya?" Aura tak menjawab, Bibik pun keluar dari kamar Aura dan tak lama kemudian kembali masuk membawa nampan berisi mie goreng beserta susu putih. "Bibik buat mie goreng kesukaan Non Aura ...." Hanya terdengar helaan napas Aura, ia tak bisa membantah Bibik yang telah merawatnya ini, mau tak mau ia membuka mulutnya saat Bibik menyuapinya.

"Besok - besok jangan buatin Aura mie goreng lagi ya?" Pinta Aura menatap Bibiknya.

"Kenapa? Gak enak ya?" Bibik kaget dengan permintaan Aura, ia sangat tahu Aura sangat menyukai mie sejak kecil.

"Aura sudah SMA Bik, Aura gak mau gendut karena makan mie goreng terus!"

"Nanti Non Aura kurus? Ntar dikira Bibik gak pernah kasih makan Non Aura lagi!"

Aura tertawa, "siapa yang ngira? Biar Aura marahin."

"Bapak sama Ibu," jawab Bibik dengan tersenyum menggoda.

Raut Aura berubah murung. "Gak akan! mereka mana perduli dengan Aura ...."

"Kata siapa?"

"Faktanya!"

"Non gak tau aja!"

"Tau apa?"

"Tadi malam Ibu nanya persiapan Non Aura hari pertama MOS loh ...."

"Boong!" ucapnya tak percaya.

"Bapak juga, nanyain Non Aura lewat sms!"

"Boong!" Lagi - lagi Aura tak percaya, tepatnya mencoba gak percaya, walau dalam hatinya sangat ingin percaya.

"Yaudah kalau gak percaya!" ucap Bibik sembari tersenyum penuh makna.

"Beneran Bik?" Aura yang melirik Bibik, melihat ada harapan yang membuatnya boleh percaya.

"Beneran! Ayo ... satu suap lagi," ucap Bibik menyuapi suapan terakhir ke mulut Aura.

+-+-+-+

"Yang mana yang namanya Aura?!" tanya salah satu laki - laki bername tag panitia MOS.

"Saya Kak?" Aura berdiri sembari mengangkat tangannya.

"Oh ...." Laki - laki itu mengangguk sembari tersenyum penuh makna.

"Kamu dipanggil sama Gior!" Dahi Aura mengernyit, ia merasa asing dengan nama itu. "Buruan sana di kelas 11 Ipa 1 ya?" ucapnya. Aura menuruti dan berjalan keluar kelas.

Aura memandangi plank setiap kelas, mencari keberadaan kelas yang dituju. Sampai keujung dia berjalan, namun ia tak menemukan kelas tersebut.

"Permisi," ucapnya pada sosok laki - laki yang berdiri di salah satu depan pintu. Aura tau akan percuma tanya laki - laki ini karena laki - laki ini berpakaian sama sepertinya. Namun, apa salahnya mencoba.

"Tau di mana kelas 11 IPA 1 gak?"

"Di sini kelas IPS semua, sepertinya di sana." tunjuknya ke arah utara.

"Oh, di sana ya?" Namun Aura tampak bingung, karena di bagian utara terdapat banyak gedung.

"Iya ...."

"Kalau gitu terima kasih." Aura pun berbalik.

"Tunggu!" ucap laki - laki tersebut. "Mau gue temenin? Sepertinya lo bingung."

"Ah ... thanks ...." Aura pun tersenyum, begitu pula dengan laki - laki tersebut. Aura takjub, matanya terpesona dengan senyuman laki - laki itu, sebuah lesung pipi membuatnya semakin terpikat.

"Ayo ...." ajak laki - laki itu saat melihat Aura berdiri diam.

"Ada yang manggil lo ya?" tebaknya.

"Kok lo tau?"

"Kakak kelas?" tebaknya lagi.

"Sepertinya. Lo tau dari mana?"

"Gue juga, tadi gue dipanggil."

"Oh ya, ngapain?"

"Minta nomor."

"Hah, nomor apa?"

"Nomor handphone."

"Buat apa?"

"Lo polos ya?" ucapnya sambil tertawa kecil, tawanya membuat Aura kembali terpesona. "Minta nomor handphone karena mau digebet, memangnya buat apa lagi?" Aura berhenti melangkah.

"Gak mau ah, gue gak mau pacar - pacaran!" Laki - laki itu menoleh, ia tersenyum lembut. Kali ini bukan terpesona lagi, double kill jantung Aura pun berdetak cepat.

"Temuin aja dulu, nanti bilang kalau lo punya pacar," sarannya. Aura pun menuruti ide tersebut.

Kelas itu terlihat kosong tidak ada murid baru yang sama sepertinya, namun ada seseorang laki - laki duduk di meja guru. "Permisi Kak ...."

"Hai Aura?" balasnya dengan cengiran lebar. "Oh ... iya gue Gior."

"Ada apa ya Kak?"

"Gue suka sama lo!" Aura tidak terkejut lagi.

"Maaf Kak, saya sudah punya pacar!" jawab Aura bohong. "Saya ke kelas dulu ya Kak," pamit Aura buru - buru.

+-+-+

avataravatar
Next chapter