Aruga benar-benar kesal dengan ulah Damian. Seharusnya ia sudah datang untuk menghadiri meeting jam tujuh pagi di kantor. Tapi, ponselnya tidak dapat dihubungi sama sekali sejak semalam. Untung saja klien mereka tidak marah, dan sudah biasa ditangani oleh Aruga. Sampai jam delapan pagi, meeting selesai Damian tak juga muncul. Membuat darah Aruga naik. Ia pun memutuskan untuk pergi ke rumah Damian.
"Alasan dia membeli rumah itu dulu supaya dekat ke kantor. Dan, sekarang dia malah tidak hadir. Memang sudah tidak waras dia itu. Selalu saja sejak dulu tidak pernah berhenti membuatku susah. Jika tidak mengingat persahabatan yang sudah puluhan tahun, ingin kubunuh saja dia," gerutu Damian sambil berjalan menuju tempat parkir.
Dia pun langsung mengemudikan mobilnya menuju rumah Damian. Dan emosinya makin tinggi saat melihat mobil Damian masih terparkir dengan manis di halaman.
Tanpa pikir panjang, ia segera membunyikan bel hingga Ipah tergopoh-gopoh membukakan pintu.
"Mana bosmu itu, Pah?" tanya Aruga.
"Baru saja turun sarapan, Pak."
"Jam segini? Apa jam di rumah ini mati semua hingga tidak tau ini jam berapa?!"
"Itu...aduh..."
Aruga tidak peduli lagi, ia pun langsung melangkah masuk.
"Kau ini kebiasaan sekali, jika sedang galau selalu terlambat masuk kantor. Kantor itu milikku atau milikmu sebenarnya, Dam..." Aruga menghentikan kalimatnya saat di ruang makan. Ia terkejut melihat wanita yang sedang berada di pangkuan Damian sambil menyuapi sahabatnya itu makan.
"Hai, Mas Aruga, kita bertemu lagi..."
"Miranda..."
"Iya, mantan suami. Aku Miranda mantan istri sirimu. Apa kabar dirimu,Mas?"
"Dam, kau ini sudah tidak waras? Untung klien kita tidak marah dan dia juga sudah biasa meeting hanya denganku. Kau malah masih enak-enakan di sini. Ini jam berapa? Jangan mentang-mentang kau pemiliknya!" seru Aruga tak peduli dengan kehadiran Miranda.
"Aku semalam mabuk. Dan, Mira yang sudah membantuku. Maafkan aku, Ga. Aku segera ke kantor sekarang."
"Ya, ingat jam satu kau harus menghadiri meeting. Yang ini tidak bisa kau anggap main-main. Kau akan kehilangan uang banyak jika sampai kau abai. Aku kembali ke kantor duluan. Jika dalam waktu satu kau tidak datang, kau akan menemukan surat pengunduran diriku di atas mejamu!"
Dengan jengkel Aruga pun segera berlalu. Di halaman ia sempat bertemu dengan Ipah. Langsung di tariknya tangan wanita separuh baya itu.
"Wanita itu siapa?" tanya Aruga pura- pura tidak tau.
"Semalam Bapak membawanya pulang. Pakaiannya semalam seperti kurang bahan, Pak. Saya pikir wanita itu pulang. Tapi, ternyata pagi-pagi dia turun ke bawah dan memasak. Setelah itu, saat turun bersama Bapak dia sudah memakai pakaian almarhum Ibu Liemey. Yang membuat saya lebih kaget lagi, Bapak bilang dia penggantinya Ibu."
"Tidak waras, istrinya belum lama meninggal dia sudah bertingkah. Ya Tuhan, memang tidak ada akhlak. Kalau ada apa-apa lekas laporkan pada saya, ya bik Ipah."
"I-iya, Pak."
Aruga pun segera ke kantor tanpa membuang waktu lagi.
"Pak, apa Pak Damian datang hari ini?" tanya sekretarisnya.
"Buaya itu akan datang sebentar lagi bersama ratu buayanya," jawab Aruga kesal.
"Buaya? Siapa yang buaya itu, Pak?"
"Bos besarmu itu, buaya."
"Pak Damian?"
"Ada berapa bos lagi di kantor ini?"
"Anda kan bos juga, Pak," gurau sekretaris Aruga.
"Kau ini, mau kalau gajimu aku potong?"
"Janganlah, Pak. Skin Care harganya mahal, Pak."
"Kalau begitu jangan protes. Kalau saya bilang buaya ya bosmu itu, bukan saya," gerutunya sambil melangkah masuk ke dalam ruangannya. Ia pun segera menelepon Arasy dan langsung menceritakan apa yang terjadi. Aruga tidak mau Arasy mengira jika ia kembai mengkhianati pernikahan mereka.
Berselang 30 menit Damian datang bersama dengan Miranda. Aruga hanya bisa menghela napas panjang sambil menggelengkan kepalanya.
"Pak, itu tadi siapa?"
"Nyonya bos yang baru, mungkin. Sudah, sana siapkan notulen dan juga materi yang akan kita bahas nanti. Klien kita ini tepat waktu. Jangan sampai kita kalah tender," kata Aruga pada sekretarisnya.
"Baik, Pak. Saya siapkan sekarang."
Untung saja selama meeting, Damian tidak mengajak Miranda mendampingi. Jika sampai ikut, rasanya kepala Aruga akan lebih berasap lagi. Ia tidak habis pikir dengan apa yang dipikirkan oleh Damian saat ini.
"Kau tidak waras lagi, Dam? Dulu kau bilang tidak sudi pada Miranda. Kenapa sekarang kau malah berhubungan dengan wanita itu?"
"Aku tidak peduli masa lalu, Ga. Lagipula apa yang harus aku pikirkan sekarang? Istri tidak ada, anak tidak ada. Jadi, buat apa lagi?"
"Kau akan menikahinya? Atau sekedar bersenang-senang?"
"Mungkin menikahinya. Kita lihat saja nanti."
"Hati-hati dengannya, Dam. Dia itu ular yang jahat. Kau bisa-bisa hanya dijadikan alat olehnya."
"Aku tau, Ga."
"Terserah kau lah, Dam. Sebagai sahabat aku hanya bisa mengingatkan."
**
Sementara itu, Zalina sedang resah. Elena demam sejak semalam, dan sepanjang pagi ini tidak ada makanan yang bisa masuk.
"Mbak, apa Elena hamil, ya," kata Zalina pada Sutinah.
"Ini sudah1 seminggu lebih sejak kejadian itu. Dan, Elena bilang hari itu adalah masa suburnya, Mbak."
"Ya Allah, Bu. Jadi harus bagaimana kita sekarang?"
"Aku takut jika aku membawanya periksa ke dokter dan hasilnya positif dia bertambah stress, Mbak. Aku tidak mau anak itu sedih lagi. Sekarang ini dia sudah mau bicara. Sudah tidak menangis lagi, bahkan semalam baru saja ada yang menyampaikan niat baik ingin melamar."
Sutinah pun tampak berpikir sejenak.
"Testpack,Bu."
"Sama saja, Mbak. Bisa langsung menangis anak itu. Saya tidak tega melihatnya seperti itu."
"Begini saja, Bu. Bukankah ada susu khusus untuk Ibu hamil yang mengurangi mual dan muntah. Obatnya juga ada, kan? Kalau tidak salah Ibu pernah sampai stok karena ketika hamil Arlina Ibu mual terus menerus. Berikan saja obat itu dulu sementara waktu. Toh, non Elena juga tidak akan tau. Nanti, jika kondisi non Elena sudah lebih siap, barulah kita ke dokter."
"Ah, Mbak betul juga ya. Saya kok nggak kepikiran ke sana."
"Ya Ibu sudah panik, coba kalau Ibu sedikit lebih tenang."
"Iya, Mbak. Jujur saya panik sampai saya tidak bisa berpikir dengan jernih. Kalau sudah menyangkut anak-anak, perasaan saya lebih mendominasi rasanya."
"Saya juga memiliki anak gadis yang seusia anak Ibu. Saya paham betul rasanya, Bu. Jika saya yang ada di posisi Ibu saya juga sudah pasti bingung dan panik, Bu."
Zalina menghela napas panjang, ia meraih ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Arasy. Dalam hal ini Arasy mungkin bisa membantu untuk bicara pada Elena. Sebagai seorang psikolog, bukan sebagai seorang Tante pada keponakannya.
.