webnovel

JALAN YANG SALAH

"Kenapa, Damian? Kau sudah melupakan aku? Ah, mungkin aku harusnya memanggilmu Bapak Damian, ya?"

Damian memicingkan matanya, "Kau...Miranda?"

"Ya, aku Miranda mantan asisten rumah tanggamu. Mantan istri siri sahabatmu."

"Kau kenapa jauh lebih cantik sekarang?"

"Aku memang cantik sejak dulu, hanya saja kau yang tidak menyadarinya dan terlalu jual mahal. Juga berlagak sok setia."

"Hahaha...kau benar Mira. Aku dulu terlalu naif, kemarilah temani aku malam ini. Kau sendirian?"

"Apa kau melihat aku bersama yang lain?"

Gadis muda yang tadi sudah senang dengan tawaran Damian mendelik sinis pada Mira dan segera berlalu dengan wajah penuh kekesalan. Sementara Mira tanpa perasaan bersalah langsung duduk di samping Damian. Wanita itu memang tampak jauh lebih cantik dibandingkan 10 tahun lalu. Kini kecantikannya tampak begitu matang. Dengan gaun malam berwarna merah, Mira tampak cantik dan mempesona di mata Damian.

"Apa kabar, Mir?"

"Ya begini saja, mencari kesenangan dan kebahagiaan yang tidak pernah aku dapatkan."

"Johan?"

"Sudah lama aku tidak bersamanya lagi."

"Kau tinggal di Jakarta lagi?"

"Aku menyelesaikan kuliahku 7 tahun lalu. Saat kuliahku selesai, Ibuku meninggal dunia. Johan ingin menikahi aku secara siri. Tapi, aku tidak mau, akhirnya aku kembali ke Jakarta dan bekerja di maybelle cosmetic sebagai sekretaris. Bosku yang dulu cukup tampan dan gampang untuk aku goda, sehingga dia diam-diam membelikan aku sebuah apartemen dan mobil atas namaku. Tapi,setahun lalu dia kembali ke Singapura. Dan,aku berganti bos. Bosku yang sekarang agak kaku, dan tidak mengasyikkan untuk aku goda. Jadi, setahun ini bisa dikatakan aku kesepian," bisik Miranda di telinga Damian.

Damian memang melihat gaya Miranda sekarang lebih elegan dan berkelas. Beda jauh saat pertama kali datang ke rumah Damian sebagai seorang asisten rumah tangga.

Melihat Damian yang tampak menatap kagum padanya, Mira pun menjadi lebih berani, ia memainkan jemarinya yang lentik ke balik kemeja Damian. Dengan sengaja ia memperlihatkan bagian tubuhnya pada Damian, membuat lelaki yang sudah setengah mabuk itu merasakan ada yang terbangun dari dirinya.

"Kita ke rumahku, kau mau?" tanya Damian.

"Istri dan anak-anakmu?"

"Aku duda dan jangan kau pikirkan soal anak-anak. Mereka tidak ada lagi. Aku bebas mau berbuat apa saja."

"Benarkah?"

"Kalau hanya bicara kau tidak akan bisa membuktikan. Jadi, lebih baik kita segera perai dari sini," kata Damian.

Miranda pun tersenyum dan keduanya langsung bergandengan tangan melangkah keluar.

"Untung aku baru saja minum, jadi aku masih bisa mengendarai mobilku," kata Damian.

"Kalau kau mabuk, aku bisa menyetir dan membawamu ke apartemenku."

"Ah, kau tadi membawa mobil sendiri? Bagaimana kendaraanmu?"

"Tenang saja, aku tadi memakai jasa taksi online."

"Baiklah kalau begitu. Ayo, kita langsung saja ke rumahku." Lw

Damian langsung membawa Miranda ke rumahnya. Rumah yang besar itu tampak lengang. Hanya ada asisten rumah tangga yang menjaga rumah itu. Dan saat Damian pulang bersama Miranda, Ipah asisten rumah tangga Damian hanya bisa menggelengkan kepalanya.

"Istrinya belum 40 hari, sudah bawa wanita lain ke rumah, wong gendeng," gumam Ipah perlahan sambil berlalu kembali ke kamarnya di ruang belakang.

"Rumahmu besar ya, Mas. Tidak kalah dengan rumahmu yang dulu. Kau jual rumah itu?"

"Rumah itu atas nama almarhum Arista. Dan, sekarang sudah menjadi rumahnya Dominic. Istriku ketigaku baru saja meninggal dunia."

"Ya, aku tau. Aku sering mencari tau tentang dirimu,Mas. Bukankah sejak dulu aku sudah menyukai dirimu?"

"Dulu, jujur saja kau tidak terlalu menarik. Tapi, sekarang kau cantik mirip dengan Arista. Elegan dan mempesona. Tubuhmu juga indah," kata Damian.

Miranda langsung mengedipkan sebelah matanya.

"Di mana kamarmu?" tanyanya dengan suara merayu.

Tanpa menjawab Damian langsung menggendong tubuh Miranda hingga wanita itu memekik kecil.

Tidak perlu ditanyakan apa yang terjadi di dalam kamar Damian. Yang jelas dalam waktu satu jam keduanya sudah tersengal- sengal karena permainan panas mereka di atas ranjang.

"Pantas saja dulu Aruga rela mengkhianati istrinya demi dirimu. Kau memang sangat liar dan begitu buas di atas ranjang. Kau memang luar biasa, Miranda," kata Damian sambil memeluk Miranda.

"Salahmu sendiri kenapa dulu kau selalu menolakku, Mas. Sekarang kau menyesal, kan?"

"Kau mau tinggal di sini bersamaku?" tanya Damian.

"Kita menikah, maksudmu?"

"Ya kalau kau mau. Tapi, jika memang kau tidak mau kita bisa bebas tanpa ada ikatan. Suka sama suka untuk mencari kepuasan dan bersenang-senang. Kau bebas mau bersama siapa saja jika kau bosan denganku. Aku juga begitu, bebas bersama siapapun yang aku mau."

"Heem, tawaranmu keduanya menarik, Mas. Tapi, bagaimana jika kita menikah saja. Dengan catatan, pernikahan kita bukan pengikat. Yaa, supaya hubungan kita halal saja. Jika aku sedang malas denganmu aku bisa pergi, dan aku juga tidak akan melarang kau bersenang-senang dengan wanita lain, asal jatah uang bulananku sebagai istri kau penuhi. Bagaimana kalau begitu?"

"Kau ini pintar sekali ya, pantas saja Aruga dulu memujamu."

"Tapi, dia takut istri."

"Tapi, nikmat yang mana? Aku atau dia dalam memuaskan dirimu?" tanya Damian sambil kembali memainkan sepasang bukit kembar milik Miranda.

"Tentu saja dirimu, ternyata kau ini buas dan tahan lama," jawab Miranda. Dan keduanya pun kembali bergumul, tidak hanya sekali tapi berkali-kali hingga dini hari.

Pagi harinya Damian merasa tubuhnya begitu segar. Dan hidungnya menghirup aroma kopi yang begitu nikmat. Saat ia membuka mata, tampak Mira sedang duduk di samping ranjangnya dengan secangkir kopi buatannya.

"Kau sudah bangun? Selamat pagi, sayang."

"Tentu saja, Mas. Bahkan aku sudah selesai mandi, ayo bangun, aku sudah membuatmu kopi. Aku tau kau paling suka kan secangkir kopi di pagi hari. Aku juga sudah membuatkanmu sarapan pagi di bawah. Mandilah dulu."

"Bagaimana kalau hari ini kau tidak bekerja, Mir? Kau temani aku di kantor saja. Sudah lama aku tidak ditemani wanita cantik. Dulu, Arista sering menemani aku bekerja saat kami belum memiliki anak-anak."

Miranda tersenyum manis.

"Boleh saja, Mas. Aku akan menemanimu, boleh aku pakai baju almarhum istrimu yang ada di lemari? Aku malas pulang ke apartemen."

"Pakai saja, sayang."

Miranda segera beranjak dan memilih pakaian yang ada di lemari. Ia mengambil setelan blouse dan celana kulot berwarna pastel milik almarhum Liemey. Tanpa ragu, ia mengganti pakaiannya di hadapan Damian, membuat lelaki itu menelan kembali salivanya.

"Kau menggoda diriku, heem?" tanya Damian sambil memeluk Miranda dari belakang.

"Apa kau tergoda?"

"Tentu saja, sebagai hukuman kau harus menemani aku mandi juga," kata Damian.

Seperti singa yang sedang kelaparan, Damian terus dan terus menggauli Miranda pagi itu. Hingga akhirnya setelah semua selesai mereka pun sama-sama bersiap dan turun ke meja makan untuk sarapan pagi. Ipah hanya bisa melongo melihat kemesraan majikannya dengan wanita yang semalam dibawanya.

"Ipah, ini calon nyonyamu. Jadi, kau yang sopan ya padanya. Namanya Ibu Miranda," kata Damian.

"Oh, baik Pak. Mari Pak, Bu sarapan dulu. Ibu ini tadi rajin sekali sudah membuat makanan."

Damian pun segera makan bersama dengan Miranda. Namun, saat mereka tengah menikmati sarapan bel pintu berbunyi. Ipah pun tergopoh- gopoh membukanya.

"Kau ini kebiasaan sekali, jika sedang galau selalu terlambat masuk kantor. Kantor itu milikku atau milikmu sebenarnya, Dam..."

"Hai, Mas Aruga, kita bertemu lagi..."