Hinata lahir dari keluarga yang masih menjunjung budaya patriarki. Segala aspek tentang anak laki-laki diutamakan sementara seorang anak perempuan bagi keluargnya, tidak lebih dari sebuah objek 'mereka sekadar ada'. Suatu hari, gadis itu mengalami kecelakaan, berakhir buta serta lumpuh pada kedua kakinya. Keluarganya amat terpukul, tetapi mereka kembali mengingat jika seorang anak perempuan tidak begitu penting, gadis itu berakhir dikurung dan mungkin menjadi gadis dari keluarga bangsawan yang tak lagi diurus. Walaupun keluarganya tidak pernah memberikan sedikit kasih sayang dan rasa iba, Hinata sama-sekali tidak merasa begitu sakit hati, sebab dianggap tetap ada di keluarga itu lebih dari cukup. Namun seorang laki-laki muncul di toko bunga temannya. Laki-laki itu membawanya pergi ke suatu tempat yang disebut sebagai rumah sesungguhnya. Laki-laki itu pula menunjukkan sebentuk kehidupan yang sesungguhnya dalam arti keluarga, kehangatan, kasih sayang, dan saling melindungi, sementara selama ini, Hinata tidak pernah mendapatkan semua itu dari keluarganya.
JEPANG
St. Konoha High School
Setiap kali melewati kotak sepatu anak laki-laki yang disukainya, Hinata seakan ditarik untuk mendekat ke kotak sepatu itu. Namun dia tahu, apa yang akan dilakukan selanjutnya dianggap tidak terpelajar sebagai seorang anak perempuan yang terlahir di garis bangsawan. Menyatakan cinta pada anak laki-laki itu salah besar. Bisa disebutkan sebagai dosa, dan mencemari namanya sendiri seperti ia melumuri tubuhnya dengan kotoran.
Hinata mengepalkan tinjunya sangat kuat. Ia tidak boleh hilang kesadaran sampai mengeluarkan surat cintanya dan menyelipkannya pada kotak sepatu anak laki-laki itu.
Maka yang dilakukan oleh Hinata setelah itu dia mundur beberapa langkah sampai akhirnya berpindah menuju ke kotak sepatu khusus anak perempuan.
Sampai di tempatnya dan akan menarik sepatunya, Hinata mendengar sekumpulan anak laki-laki mendekati kotak sepatu. "Ayo tebak, apakah di kotak sepatunya akan ada surat cinta lagi?"
"Tidak ada, tidak ada, ternyata hari ini tidak ada lho." Anak laki-laki lain menimpali setelah dia membuka kotak sepatu temannya. Pemuda malas berambut pirang itu menggeleng hingga mendorong teman-temannya untuk menyingkir, berhenti mengganggu atau menggodanya. "Kenapa hari ini tidak ada? Aku pikir setidaknya ada tiga surat."
"Kalian tidak bosan menggodaku terus-terusan?"
"Untuk apa bosan?" seseorang bertanya. "Surat-surat itu menarik, mereka menulis dengan kata-kata lucu, bahkan ada yang tulisannya salah, dan lebih parahnya lagi, mengapa mereka perlu menyemprot surat itu dengan minyak wangi? Baunya tidak enak!"
Di tempatnya, Hinata meremas selempang tasnya, sebaliknya keinginan untuk tidak meletakkan surat itu pun menjadi semakin besar—ini bukan lagi soal tingkahnya bisa saja dikatakan tidak terpelajar, tapi jelas dia tidak boleh mempermalukan dirinya sendiri seperti anak perempuan yang memiliki keberanian besar untuk meletakkan surat mereka di kotak sepatu ketua basket sekolah mereka yang terkenal dan dicintai semua orang.
Benar-benar memalukan!
Selesai mengenakan sepatunya, Hinata keluar dari gedung sekolah.
Sementara anak-anak tadi masih merumpi layaknya anak perempuan yang suka melakukannya sepulang sekolah atau di banyak kesempatan yang ada. Salah satu dari anak laki-laki di sana melirik kepergian Hinata sambil mengembuskan napasnya.
Di luar gedung, Hinata sudah dijemput oleh sopirnya, tidak mungkin dia dapat mendekati gadis itu. Lalu disusul oleh banyaknya mobil berdatangan. Satu demi satu murid di sekolah itu masuk ke dalam mobil jemputan mereka. Sebaliknya anak berambut pirang itu terus memandangi kepergian Hinata bersama mobil mewah milik keluarga gadis itu.
Kalau gadis itu yang mengirim surat, aku tidak akan menolaknya.
"Tuan muda," seorang pria mendekatinya, membungkuk sebentar sebelum pada akhirnya menyadarkannya untuk tidak melihat ke mana mobil temann satu sekolahnya pergi. "Di mana bola basket Anda?"
"Aku menyimpannya dalam gudang olahraga." Anak laki-laki itu masuk ke dalam mobilnya, bersandar tidak nyaman karena perasaannya yang aneh tiap kali melihat gadis pendiam seperti Hinata Hyuuga mengabaikannya.
"Saya akan mengumumkan kabar buruk, malam pesta dansa kita dijadwalkan untuk berangkat ke Rusia. Nenek Anda sudah mengatur semua kebutuhan Anda. Jangan khawatir, tidak akan ada yang tertinggal, termasuk seluruh mainan Anda, komik, hingga semua barang-barang pribadi Anda di kamar rahasia."
"Aku tahu, tidak usah diulang." Sopir itu melirik dari kaca spion, mencermati wajah majikan kecilnya yang kemudian cemberut.
"Apakah Anda ingin mampir ke suatu tempat?"
"Ya, tentu saja, tapi kali ini aku ingin mencaramahimu terlebih dahulu," jawabnya, nyaris tidak dapat didengar karena menggerutu. "Aku sudah bilang tadi, kalau kau tidak perlu menjemputku, biar aku satu mobil bersama temanku."
"Jika saya menuruti Anda, saya yang akan kena marah, saya tidak mau kehilangan pekerjaan saya!"
"Kau benar, nenek tidak akan segan-segan memarahimu bahkan memecatmu, bukan?" sopir itu mengangguk, tersungging senyum jenaka, karena anak itu langsung reda dari kemarahannya. "Aku ingin makan mi. Kita mampir ke kedai mi saja ya?" tanpa menjawab, sopir itu hanya mengangguk kecil sebagai tanda menyetujui.