webnovel

BAB 33

Mito geram pada perlakuan Hiashi, tapi mungkin sepenuhnya Hiashi tidak bersalah mengingat Naruto memang mencari perkara. "Dasar. Anak nakal!" ia memarahi cucunya habis-habisan, tapi masih mencoba untuk mengobati wajah tampan cucu laki-lakinya itu. "Jika memang kau melakukannya, kau boleh bilang padanya, tapi jika sebaliknya tidak pernah kau melakukannya, kau harusnya tidak boleh berbohong padanya."

"Aku kira akan cepat selesai masalah kami dengan itu—" Mito mencocol obat luka sangat kasar di ujung bibir cucunya. "Aduh! Sakit! Apakah nenek tidak mau mengobati aku?"

"Begini saja kau bilang sakit? Bagaimana dengan hatiku saat pulang-pulang kau babak belur. Pikirkan kesehatanku juga." Naruto membuang tawa. "Mengapa masih bisa tertawa kau sekarang?" Naruto tiba-tiba menangkap pergelangan neneknya, lalu dipeluknya wanita tua itu. "Apalagi sekarang?"

"Terima kasih telah menjadi pendukungku."

Mito memutar bola matanya bosan, karena ia tahu, ini salah satu cara cucunya merayu dia supaya tidak terus-terusan menggerutu kesal. Tapi bayangkan, siapa yang tidak kaget—siapa pun di luar sana, sebagai seorang nenek yang amat mencintai cucunya, mendapati sang cucu pulang-pulang dengan wajah babak belur. Pasti bukan hati Mito saja yang mencelus. "Aku menyesal tidak menodai Hinata secepatnya."

"Jaga mulut kotormu itu!" Naruto terkekeh. "Jadi, apa rencanamu?"

"Tidak ada rencana, aku mungkin akan mundur untuk sementara waktu sampai waktu benar-benar bisa berdamai denganku—menunggu ayah Hinata menghubungiku terlebih dahulu. Hari ini, pasti Hinata akan dimarahi karenaku. Aku berbohong, dan tidak memikirkan posisi Hinata, aku amat menyesal."

Sementara di kediaman Hyuuga, Hiashi meminum air dingin bergelas-gelas, bahkan menggerus es batu di dalam mulutnya sampai penuh. Saat dia membicarakan apa yang didapatkan olehnya dari pertemuan—percakapan empat mata dengan kekasih putrinya, Hiashi langsung mengajak istrinya untuk berbicara serius. Hikari terdiam menunduk. Dan berpikir apakah masalahnya akan membesar?

"Laki-laki itu telah menodai putriku!" sepanjang waktu, Hiashi berceloteh seperti itu. Tapi dia tidak mau minum-minuman beralkohol untuk menenangkannya. Bisa-bisa, dia akan kehilangan kendali dan pergi ke rumah keluarga Uzumaki, lalu mengamuk, mengeluarkan seluruh kekesalan hati dan pikirannya yang amburadul. "Apakah Hinata tidak membicarakan masalah itu bersamamu tadi?"

"Tidak. Walau tampak cemberut." Kedua tangan Hiashi bertumpuan di pinggir meja, wajahnya memerah malu dan juga marah. "Apakah kita harusnya menikahkah mereka secepatnya?" tanya istrinya.

"Kita lihat dulu, apakah Hinata hamil."

"Hiashi, itu terlalu..." Hikari membuang napasnya, dia amat kalut.

"Selesai transplantasi kornea Hinata, kita perlu memikirkannya ulang."

"Memikirkan apa?"

"Akan ada pernikahan atau tidak."

"Hiashi, apakah kau membencinya?"

Hiashi memandangi istrinya dengan terheran-heran. "Mengapa aku tidak bisa membenci laki-laki itu?" Hikari membuang tawanya. "Apanya yang lucu?"

"Neji melakukannya bersama Shion, kita kecolongan, dan sekarang juga. Kau bilang takut bahwa Hinata mungkin saja bernasib sama seperti calon istri Neji. Aku berpikir untuk tidak menjauhkan mereka. Laki-laki itu terbuka dengan kita, mengakuinya. Kau harusnya sedikit memberikan laki-laki itu kesempatan."

"Kesempatan untuk apa?"

"Mendekati keluarga kita. Kau tidak akan menyesali apa pun nantinya, Hiashi."

Sebenarnya, Hikari agak gemas, mengapa sekarang suaminya berperan baik sebagai seorang ayah. Kasus seperti ini memang tidak bisa dihindari. Anak-anak zaman sekarang sudah kelewat batas dalam berhubungan. Dan Hiashi adalah pria tua yang terlalu kuno. Ia agaknya kaget—serasa dunia telah berakhir. Hiashi tidak mampu bersikap. "Dan soal tadi, kuharap kau tidak memukulnya sampai merusak wajah tampannya."

"Kau masih membela laki-laki bajingan itu?"

"Putramu pun lelaki bajingan yang meniduri dan menghamili seorang gadis." Hiashi keluh tiba-tiba. "Kau tidak boleh memaki pacar Hinata, dan menyebutnya dengan sebutan-sebutan kejam. Berkacalah sedikit pada kasus Neji."

Hiashi mengambil duduk di sofa. Menenangkan pikiran. "Kuharap akan ada pertemuan keluarga yang memikirkan soal pernikahan mereka."

"Hikari, kita perlu memikirkan pernikahan Neji dulu."

"Seperti yang kaukatakan, bahwa mereka akan pergi ke Inggris."

"Apa maksudmu?"

"Bagaimana kalau kita memberi tanggung jawab laki-laki itu menjaga Hinata."

Hiashi tidak habis pikir, mengapa istrinya konyol sekali. "Aku belum benar-benar memastikan apakah laki-laki itu adalah laki-laki baik untuk Hinata."

"Demi Tuhan, Hiashi!" Hikari agaknya mulai geram. "Aku akan pergi ke kamar Hinata, dan memastikan putri kita baik-baik saja mendengar kemarahanmu tadi. Daripada berdebat denganmu seperti sekarang."

Hikari keluar dari ruang kerja suaminya, terburu-buru menuju paviliun Hinata.

Setelah sampai di paviliun pribadi yang melewati jalan terbuka di belakang bangunan utama, Hikari langsung menuju ke kamar Hinata, mengetuk terlebih dahulu. "Sayang, ini ibu."

"Silakan, bu."

Masuk ke dalam, Hikari melihat putrinya tengah terdiam di atas kasurnya. "Kau sudah menghabiskan makan siangmu?" putrinya mengangguk, pula tersenyum sementara Hikari mengambil duduk di pinggir kasur gadis itu. "Ibu, ingin bertanya sesuatu, agak pribadi, dan mungkin akan membuatmu tidak nyaman."

"Pribadi seperti apa?"

"Tentang laki-laki itu." Hinata tertegun. "Jangan diambil hati saat ayah datang dengan marah-marah tadi. Dia tidak marah kepadamu, Sayang."

"Lalu, apakah dia marah pada Naruto? Apakah mereka barusan bertemu?"

"Iya. Begitulah." Hikari merasa tidak yakin, tapi dia tidak mau mundur. "Laki-laki itu memberitahu ayah hal mengejutkan."

"Mengejutkan? Seperti apa?"

Sebelum memberitahu, Hikari perlu mengisi pernapasannya atau setidaknya membasahi tenggorokannya yang terasa kering. "Kau mungkin saja akan hamil anaknya." Hinata bersemu merah. "Apakah kalian sudah melakukan hubungan suami-istri?"

"Ibu... itu..." wajah Hinata memerah, dia tergagap setelahnya, tidak bisa berbicara dengan benar. Hikari justru menangkap bahwa kabar itu ternyata benar. Putrinya telah dinodai.

Sementara itu, Hikari menangkap kedua tangan putrinya, dan membuat Hinata sendiri kaget. "Tidak apa-apa, ini pasti sulit. Ibu akan mencari cara supaya kalian benar-benar bisa bersama."

"Apakah ayah tetap tidak merestui kami meski ada kejadian seperti sekarang?" Hikari tidak bisa mengakuinya. "Apa butuh waktu lagi?" dan Hinata kemudian merakan sentuhan lembut ibunya mengusap pipinya. "Sangat aneh rasanya menjumpai ayah marah, karena seharusnya dia bisa merelakanku pergi supaya tak terbebani dengan apa yang aku alami."

Pasti rasanya juga sulit berada di posisi Hiashi—Hikari meratapi di dalam hatinya, ketika suaminya mulai berkeinginan untuk membuka perasaannya pada putrinya. Sebagai seorang ayah, Hiashi terpukul mendengar kabar itu, dan kabar buruk datang berturut-turut seperti badai topan yang tak dapat dihindari.

Begitu Hikari keluar dari paviliun dengan langkah gontai, dia menjumpai suaminya berdiri di tengah-tengah jalan setapak. Sepertinya ingin pergi ke paviliun putrinya, tapi terlihat merasa tidak berdaya.

"Kau butuh istirahat, lalu apakah kau mendengar kabar baik soal rencana operasi Hinata?"

Dengan pandangan lemah Hiashi mengangguk. "Pekan ini, seharusnya bisa. Melihat kondisi Hinata baik-baik saja. Tidak ada masalah apa pun tentang kesehatannya." Hiashi membalikkan badan, rencananya dia akan pergi dari sana, benar-benar mengurungkan niat untuk bisa menghampiri Hinata di kamarnya.

"Kau tidak masuk dan mencoba berbicara dengan Hinata?"

Hiashi menengok ke arah istrinya. "Kupikir, dia akan semakin membenciku."

"Dia terlihat tidak mau berdamai denganmu," Hiashi terpuruk. "Tapi obrolan kadang bisa membuat seseorang yang membencimu bahkan tidak mau berdamai denganmu, akan berpikir sebaliknya." Istrinya menasihati. "Terbuka. Bertukar pikiran. Berbicara hal yang tidak penting sekalipun mungkin akan mengubah perasaan Hinata dan tahu apa yang sedang terjadi padamu."

"Aku benar-benar terlambat untuk membuka hatiku."

"Sebenarnya ini belum benar-benar terlambat."

Sebelum Hiashi meninggalkan istrinya di tengah jalan setapak itu, untuk menuju ke paviliun putrinya, ia memeluk istrinya erat, dan meminta maaf. Karena Hiashi mengingat banyak kesalahan yang terjadi atas perbuatannya. Sebulan lagi pernikahan Neji dan tunangannya. Dan mungkin dua bulan lagi menjadi pernikahan putrinya. Ia harus mengaturnya, hati kecilnya berkata bahwa laki-laki itu mungkin menjadi laki-laki yang pantas untuk putrinya. Cucu dari seorang diplomatik dari negara Rusia.

Sampai di dalam paviliun, lalu berdiri di depan pintu kamar putrinya. Hiashi mengetuk beberapa kali. "Siapa?" dari dalam sana, Hinata bertanya. "Ibu?"

"Ini aku." Hiashi mengumumkan dengan suara pelannya.

"Ayah?" membuat Hinata terkejut—ketidakpercayaan bahwa ayahnya berada di paviliun ini, dan mengetuk kamarnya. Sesuatu yang jelas tidak pernah dilakukan oleh pria itu. Hinata menggeser pintu kamar untuk ayahnya. "Ada apa? Tumben sekali."

Hiashi menjumpai putrinya duduk di atas kursi rodanya, hatinya menjadi kalut. "Apakah ayah boleh masuk?"

"Tentu." Dan untuk pertama kalinya pula, Hinata merasakan ayahnya mendorong kursi rodanya. Dalam lima belas tahun dia mengalami penderitaan itu, ayahnya tidak pernah bersikap seperti sekarang. "Ayah bisa menyuruh seseorang untuk memberikan pesan kepadaku. Atau menyuruh ibu berbicara denganku."

Hiashi justru melirik ponsel yang tergeletak di atas kasur putrinya. Seingatnya, ia tidak mengizinkan siapa pun orang memberikan ponsel pada gadis itu. Pikirannya teralihkan oleh benda itu. "Oh, ponsel ibumu ketinggalan?"

"Bukan." Hiashi mengernyit. "Itu ponselku. Naruto membelikannya untukku. Dia pikir aku bisa menghubungi Neji, Hanabi, atau ibu dengan itu. Ponsel itu sungguh cerdas."

"Cerdas?"

"Mengoperasikannya mudah, untuk orang yang tidak bisa melihat sepertiku." Hiashi terdiam, masih memandangi ponsel berwarna gelap yang tergeletak di atas kasur. "Apakah ayah marah kalau aku membahas dia?" air matanya mulai menggenang. "Aku mungkin tidak akan sungkan lagi untuk membahas Naruto. Karena aku sangat menyukainya."

"Ayah tahu." Hinata menunduk, memainkan ujung kemeja yang dikenakan olehnya.

"Aku mendengar sesuatu dari ibu, kalau Naruto membuat ayah marah." Hiashi menarik napas. "Kami berciuman," dan sebenarnya ingin menghentikan putrinya untuk menjelaskan detail masalah itu. "Tapi kami tidak melakukan hal lebih dari itu."

"Ayah tidak mengerti."

"Sepertinya Naruto berbohong, demi jalan pintas yang sering kali kami bicarakan."

"Jalan pintas?"

"Membuatku hamil, agar ayah benar-benar merestui kami." Hiashi tiba-tiba merasa lega. "Aku pun sempat ingin berbohong dengan cara itu, tapi aku tidak pernah membohongi ayah ataupun ibu, rasanya sangat sulit untuk kulakukan." Hinata makin menundukkan kepala, sementara Hiashi mencermati putrinya. "Aku mencintainya, sangat mencintainya. Aku bahkan menyerahkan diriku pada suatu malam, tapi dia tidak pernah menginginkan itu. Naruto masih memikirkan, apakah tidak masalah aku bukan lagi menjadi seorang bangsawan ketika aku memutuskan untuk menikah dengannya."

Hiashi berlutut di depan putrinya. Keadaannya seolah memerintahkan demikian, sehingga Hiashi tanpa ragu lagi untuk memeluk putrinya. "Ayah," Hinata tersedu-sedu di dalam pelukan itu. "Aku mencintainya. Aku benar-benar mencintainya."

"Ayah tahu. Maafkan ayah."