webnovel

6. Six o'clock

Kemanapun perginya, rumah adalah tempat yang paling pas untuk mengakhiri semuanya. Selepas senja berakhir, hari akan mulai gelap dan kisah yang dituliskan hari ini akan segera berakhir. Rumah adalah tempat yang paling pas untuk menyimpan catatan dari ini dan membuka catatan baru untuk esok yang akan datang.

Senja mulai menyapa, Alby memperlambat laju motornya. Yang disukai remaja beralis tebal itu adalah suasana jalanan di senja begini. Tidak mendung juga tak panas. Ada langit jingga dan semburat awan sebagai penghiasnya. Ada bayu yang membelai lembut permukaan kulit coklat mudanya. Disela-sela damainya bersama senja, ponselnya berbunyi. Dirogohnya benda persegi yang ia dapatkan kala ulangtahun ke 17 tahun kala itu, membawa sepatah kalimat yang menyuruhnya untuk segera pulang ke rumah.

Ia tersenyum simpul. Bundanya. Disela-sela kalimat manisnya untuk menyuruhnya pulang, wanita setengah baya itu masih sempat menyematkan nama Rama --anak tirinya-- dalam satu peringatan ringan, "Jangan lupa, Rama suruh main."

Alby menekan beberapa huruf. Matanya yang tak bisa fokus ke jalanan itu membuatnya tak menyadari satu hal, ia berada di perempatan jalan. Lampu merah yang menyuruh pengguna jalan untuk menunggu hijau datang ia abaikan. Hingga satu suara berteriak padanya. Membuat fokusnya seketika dipaksa untuk kembali ke jalan. Ponselnya terlempar jauh. Tangannya dengan sigap menarik rem. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Seorang gadis berseragam sama dengannya terserempet dan jatuh ke sisi trotoar jalan, sedang Alby yang berusaha menyeimbangkan posisi motornya pun mulai ikut terjatuh bersama motor kesayangannya. Ia merintih. Beberapa orang di sisi jalan berlari ke arahnya dan sebagian lagi berlari menuju gadis yang juga tak kalah sakit rintihannya.

"Gak papa, dek?" satu orang membopong tubuh kurus Alby.

"Gak papa. Makasih." Seketika ia menatap gadis yang jauh di trotoar jalan. Dengan kaki tertatih, Alby berlari. Menghampirinya untuk melihat bagaimana keadaannya.

"Sorry, sorry, aku minta maaf." Alby memohon. Dibantunya ia untuk berjalan dan membenarkan posisinya.

"Ayo ke rumah sakit," ajaknya lirih.

Gadis itu menggeleng sembari tersenyum pahit. "Aku gak papa. Cuma dengkul aja," ucapnya mencoba meluruskan kakinya yang terasa begitu perih. Darah mengalir perlahan. Luka memar di sebagian besar tubuhnya karena benturan.

"Ayolah. Aku gak mau kamu kenapa-kenapa karena ini nantinya," paksa Alby padanya. Namun, gadis itu tetap menggeleng. Sekeras apapun Alby memaksanya, pendirian kukuh gadis itu juga masih menetap pada posisinya.

"Ya udah, ya udah. Aku ambil obat merah di tasku. Nanti aku plester juga, ya? Tunggu." Dengan kaki pincang, Alby berlari ke arah tasnya yang baru saja dipunggut orang untuk di rapikan di tepi jalan. Sebelum benar meraih tasnya, ia melirik sekilas keadaan motor kesayangannya. Satu sisi lecet. Satu spion kacanya pecah --Ahh motorku-- Alby menyipit. Tidak. Keadaan korbannya lebih penting sekarang.

Ia morogoh tas biru tuanya. Mencari apa saja yang disebut P3K. Ada obat merah, ada kasa, dan ada handsaplast. Itu ada bawaan wajib Alby. Karena kejadian tak terduga bisa saja menimpanya. Seperti hari ini.

Alby berlari pincang, kembali pada gadis yang duduk sembari sesekali menekan sisi lututnya dan mengigit bibir bawahnya. Ia sedang menahan rasa sakit sekarang ini. Alby berjongkok tepat di depan gadis yang sedari tadi hanya terdiam dengan rintihan pelan yang keluar dari celah bibir merah mudanya itu. Menatap lutut si gadis dengan penuh rasa bersalah. Kejadiannya terlalu cepat.

"Aku bersihin dulu, ya." Ia menguyur lutut gadis itu dengan air putih. Mengeringkannya dengan kassa, lalu memberinya obat merah, dan menutup lukanya.

"Sekali lagi aku minta maaf, ya?" Alby mengulang. Sementara gadis itu hanya mengangguk ringan sembari tersenyum miris padanya.

"Kita satu sekolah?" lanjutnya kala kedua sorot matanya tertuju pada bet sekolah di sisi lengan kiri milik gadis itu.

"Tapi aku belum pernah lihat kamu, kamu anak baru?" --Ah, Alby kembali pada sifat cerewetnya. Ia bahkan tak memberi celah dan jeda untuk gadis yang ada di depannya itu berbicara.

"Lanata?" sambungnya kala gadis yang ia lontari pertanyaan lagi-lagi hanya diam bisu.

Setelah namanya disebut, ia sigap meraih tas yang ada di sisinya. Nata bukan orang yang bisa berbicara banyak pada orang asing. Ia tak nyaman dengan situasi begitu.

"Aku mau pulang. Makasih." Akhirnya, Si bisu ini mau juga mengumbar suaranya. Nata berdiri, memungut tasnya dan berjalan pincang ke sisi trotoar untuk menyebrang. Jika saja, ia menurut kata Pak Dan agar tak ditinggal saat membeli alat gambar, juga jika saja ia menyuruh Pak Dan menjemputnya tepat di depan toko, bukannya di pom bensin sisi jalan, pasti ia tak akan begini. Bertemu remaja ceroboh yang bisa saja melayangkan nyawanya. Ia diam, bukan karena ia bisu. Karena Nata malas bicara. Siapa orang yang ditabrak karena lalainya pengendara tidak marah? Tak ada. Akan tetapi tubuh Nata lemah dan rasa sakit menyelimutinya, mau teriak-teriak, mau mengumpat, mau nyalahin, ya percuma. Toh juga ia tak bisa menyuruh waktu untuk berjalan mundur.

"Biar aku yang nganter!" teriak Alby padanya. Nata berhenti sejenak. Menoleh pada pria itu lalu kembali melanjutkan langkah pincangnya.

"Tanggung jawab sebagai cowok, eh, engga, sebagai pelaku pada korbannya." Alby mengejar gadis itu. Ditahannya langkah dan kembali membujuk agar ia mau pulang bersama Alby.

Tanggungjawab sebagai pelaku. Penekanan yang pas!

••• 100 Persen itu Sempurna •••

Sepanjang jalan Nata hanya terdiam. Memang itu sifat yang mengakar pada Nata --hanya berbicara kala ia perlu saja. Akan tetapi untuk Alby? pria bertubuh kurus itu tipe orang yang cerewet. Ia akan berbicara panjang lebar hanya untuk sekadar memecah keheningan. Sebenarnya Alby sudah beberapa kali memancing gadis itu untuk lebih akrab padanya. Bertanya inilah, itulah, berbasa-basi lah, tetapi hasilnya? Kalau engga, ya, iya.

"Di depan. gerbang item," tunjuk Nata pada sebuah rumah yang bisa dibilang cukup elit ketimbang rumah-rumah disekitarnya.

"Yang ada rumputnya itu?"

"Iya."

Alby menghentikan motornya tepat di depan gerbang rumah Nata. Membuka kaca helmnya dan sekilas menatap damainya suasana rumah gadis itu. Halamannya tak cukup luas, beralaskan rumput hijau dan beberapa bunga berwarna sebagai penghias. Di sisi halaman ada ayunan besi, yang ditemani oleh kuningnya lampu taman. Pintu kayu yang tertutup rapat menjadi gerbang kedua untuk masuk ke rumah itu. Jendela hitam yang gordennya sedikit terbuka menjadi ventilasi tempat udara saling bertukar. Lantai atasnya cukup elok. Dengan satu balkon yang dihias sepasang kursi hitam dan satu meja bulat di tenganya. Pintu kaca yang membuat siapa saja bisa melihat, di dalam ruangan lantai atas itu ada satu kebun kecil.

"Rumahmu bagus, ya?" Mengabaikan perkataan Alby, Nata hanya terdiam dan membenarkan posisi seragamnya. Ia melirik remaja tampan itu sekilas. Tersenyum kaku dan mengucapkan satu kata yang harap-harap mampu membuat pria ini segera pergi dari hadapannya. "Makasih."

"Lanata, kamu kelas berapa?" Alby menyela. Gadis yang tadinya mau berjalan masuk ke halaman rumahnya itu terhenti sejenak.

"2-3"

"Oh, kalau begitu, besok pasti ketemu aku." Alby tersenyum kuda.

"Lah, bodo amat. Mau ketemu apa enga. emang sini pikirin." --Bukan, bukan dirinya yang berbicara itu dengan lantang. Hatinya saja yang ingin mengumpat terus terusan.

Nata lagi-lagi hanya tersenyum kaku. "Udah malem. Sekali lagi makasih." Kali ini Nata tak mau ambil resiko. Sesegera mungkin ia berbalik dan melangkah menjauh dari pria itu. Bukan apa-apa. Liat dia aja udah sebelnya minta ampun.

... Bersambung ....