webnovel

(Un)forgettable

Kisah cinta segitiga Bagi gue, cewek adalah makhluk paling merepotkan. Tapi sial! Kenapa gue harus berurusan sama cewek situkang ngatur. Dan sialnya lagi gue malah jatuh cinta sama dia. -RENALD Hidup gue cuma untuk belajar dan belajar. Tapi sekarang gue malah berurusan sama cowok rese yang ternyata berhasil mengubah cara pandang hidup gue, mengobrak-ngabrik hati gue. -ARIN Aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Dia bagai matahari dan aku hanya bumi. Tapi pesonanya selalu memaksaku terpikat padanya. Matahari memang ditakdirkan menyinari bumi. -BRIAN

Hilda_Af · Adolescente
Classificações insuficientes
30 Chs

Chapter 28 - Royal Couple 2

Puluhan pengunjung tampak duduk bersila menyaksikan penampilan musisi jalanan. Diiringi alat musik gitar, bass dan dilengkapi sound system membuat penampilan mereka layaknya seorang musisi yang sedang mini konser. Arin dan Brian ikut duduk bersila. Vokalis menyanyikan lagu Adu Rayu, suara yang lembut dan merdu membius para penonton. Saat telah selesai menyanyikan lagunya para penonton bertepuk tangan. Tiba-tiba Brian berdiri mengajak Arin ikut bangkit, membawanya menuju band yang sedang bersiap menyanyikan lagu berikutnya. Brian menginterupsi, ia mau menyumbangkan satu lagu bersama perempuan yang digandengnya.

"Kak, aku nggak mau ah malu." Arin berusaha melepaskan genggaman tangannya.

"Udah, nggak apa. Lagian udah terlanjur ke depan, kalau nggak jadi justru itu bikin malu." Arin akhirnya menurut, menerima mik.

Brian ingin menyanyikan lagu Love Story milik Taylor Swift. Para pemain alat musik mengacungkan jempolnya tanda menyanggupi dan mulai memainkan musiknya.

We were both young when I first saw you

I close my eyes and the flashback starts

I'm standing there on a balcony in summer air

See the lights, see the party, the ball gowns

See you make your way through the crowd

And say, "hello,"

Little did I know...

Suara Brian menghipnotis para penonton, begitu juga Arin yang kini menatapnya takjub. Arin tersadar lalu melanjutkan penggalan lagunya.

That you were Romeo, you were throwing pebbles

And my daddy said, "stay away from Juliet"

And I was crying on the staircase

Begging you, "please don't go"

And I said...

Brian tersenyum. Kini mereka menyanyikan reff bersama-sama, saling bertatapan.

Romeo, take me somewhere we can be alone

I'll be waiting; all that's left to do is run

You'll be the prince and I'll be the princess

It's a love story, baby, just say, "yes"

So I sneak out to the garden to see you

We keep quiet 'cause we're dead if they knew

So close your eyes escape this town for a little while

'Cause you were Romeo - I was a scarlet letter

And my daddy said, "stay away from Juliet"

But you were everything to me

I was begging you, "please don't go"

And I said...

Penonton terkesima, menilai mereka adalah pasangan yang serasi.

Romeo, save me, I've been feeling so alone

I keep waiting for you but you never come

Is this in my head? I don't know what to think

He knelt to the ground and pulled out a ring and said...

Marry me, Juliet, you'll never have to be alone

I love you, and that's all I really know

I talked to your dad - go pick out a white dress

It's a love story, baby, just say, "yes"

Brian mengeluarkan kotak beludru berisi cincin. Arin sempat terkejut. Penonton berteriak kegirangan, bahkan para remaja berjingkrak-jingkrak karena terbawa perasaan.

'Cause we were both young when I first saw you

Di lirik terakhirnya Brian benar-benar berlutut di depannya. Melamarnya di depan umum. Mengapa Brian tidak pernah kapok? Arin kemudian sadar, ia yang memberinya harapan. Ia tidak tega menolaknya di depan umum, akhirnya mengangguk menerima. Brian tersenyum senang, memakaikan cincin di jari manisnya dan mencium punggung tangannya. Penonton yang sedari tadi menyaksikan pun bertepuk tangan riuh.

Kini Arin dan Brian makan malam di Cafe Batavia. Mereka memilih meja di lantai dua dekat jendela besar yang menghadap Museum Fatahillah. Makan sambil menikmati suasana Kota Tua malam hari dengan lampu-lampunya. Brian tak lepas memandang Arin, senyumnya juga tak pernah pudar. Arin merasa tidak enak harus mengucapkan salam perpisahan malam ini, memilih tetap melanjutkan makan.

"I loved you even more than you could ever imagine." Brian masih lekat menatapnya.

"My real smile comes out when I'm with you." Arin tertegun, matanya berkaca-kaca.

"Tapi aku nggak liat senyum kamu sekarang." Brian merasakan kejanggalan.

Arin menunduk, mengehela napas kemudian melepas cincin pemberian Brian. Ia harus mengucapkannya sekarang meskipun berat. Ia selalu bertanya-tanya, kenapa selalu berpisah dengan orang yang ia cintai, takdir tidak pernah memihaknya. Kini ia menatap Brian, senyumnya sudah hilang diganti gurat kesedihan. Ia mengembalikan cincin itu di telapak tangan pemiliknya, menyentuh tangan Brian menyuruh menggenggam cincin tersebut.

"I can't." Hanya itu yang dapat Arin ucapkan.

"Arin, jelasin ada apa? Aku tahu kamu nyembunyiin sesuatu."

Akhirnya Arin menjelaskan bahwa ia harus pergi ke Amerika untuk melanjutkan studi. Ia tidak bisa bersama Brian, baginya hubungan jarak jauh tidak akan berhasil. Brian tertawa, hanya karena itu Arin menyerah. Brian berusaha meyakinkan bahwa itu tidak menjadi penghalang bagi mereka.

"I keep you in my heart." Brian menatapnya sungguh-sungguh.

"I wish you would not wait for me, but you always do." Arin tersenyum getir.

Arin mengambil ponselnya di dalam tas dan memasang earphone, memberikannya pada Brian agar memasang earphone tersebut di telinganya kemudian memutar lagu Let Me Go agar Brian mengerti maksudnya dan melepaskannya, ia menginginkan seseorang mencintai Brian dengan cara yang tak bisa ia lakukan, seseorang datang membenahi kekacauan hati cowok itu akibat perbuatannya.

Setelah itu mereka makan dalam diam, tidak ada lagi percakapan. Bahkan dalam perjalanan pulang di tengah macetnya jalanan hanya ada suara klakson kendaraan saling bersahut-sahutan, tidak ada suara dari keduanya. Sedari tadi Arin menahan tangisnya, mengembuskan napas panjang berusaha menguatkan dirinya agar air matanya tidak tumpah. Sedangkan Brian di sampingnya tidak berekspresi, sorot cahaya di matanya redup, mungkin marah pikir Arin. Ia tidak bisa membendung air matanya lagi, akhirnya air mata itu luruh. Brian menengok, menghapus air matanya.

"Aku minta kamu janji, apapun yang terjadi jangan ngeluarin air mata kamu karena kesedihan."

Arin hanya menatapnya, kemudian pandangan Brian kembali lurus ke depan. Kini mereka sudah sampai di rumah Arin, keluar dari mobil. Arin mempersilakannya masuk ke rumah untuk berganti baju. Selesai mengganti baju, ia sempat mengobrol sebentar dengan orang tua Arin, setelah itu berpamitan pulang. Arin mengantarnya keluar.

"Keep smiling, 'cause I can see the stars in your eyes when you smile." Arin mengangguk, berusaha tersenyum. Brian balas dengan senyum tulus yang sangat menawan.

***

Suasana bandara internasional Soekarno-Hatta nyaris tidak pernah sepi. Di tengah hiruk pikuk kesibukan bandara tersebut, Arin bersama kedua orang tuanya berdiri di depan gate. Arin terpekur, entah kenapa rasanya hampa. Ia hanya akan menyelesaikan studi selama dua tahun di Harvard lalu kembali lagi ke Indonesia, tapi rasanya seakan pergi bertahun-tahun lamanya meninggalkan kerinduan.

Sebelumnya ia sudah menemui anak-anak panti untuk sekedar berpamitan, mengunjungi pusara Renald dan menghabiskan waktu seharian bersama Tiara. Semuanya sudah ia temui, lalu kini ia merindukan siapa? Brian, kata hatinya.

Suara merdu terdengar dari pengeras suara, mengumumkan kepada calon penumpang untuk penerbangan menuju Boston agar segera bersiap. Pandangan Arin beralih ke dalam gate yang sudah dipenuhi calon penumpang yang tujuannya sama dengannya. Arin memeluk kedua orang tuanya, kemudian hendak masuk ke dalam. Namun, kedua orang tuanya menahan—membuat keningnya mengernyit bingung. Mereka menyuruhnya menengok ke belakang, Arin pun menurut. Lidahnya kelu memandang orang di depannya. Brian tersenyum padanya, ia pikir cowok itu tidak akan menemuinya lagi.

Brian berjalan mendekat, "bukan cuma kamu yang diterima di Harvard, aku juga." Tersenyum miring.

Arin menutup mulutnya kaget, "kok kamu nggak bilang?"

"Tadinya aku mau bilang, tapi kamu malah ngambil keputusan itu sebelum aku sempat cerita. Akhirnya aku lebih milih diam dan ngasih kejutan ke kamu sekarang. Lagian aku juga seneng nguji kamu, sampe nangis gitu mau pisah sama aku." Brian terkekeh.

Arin menyikut perutnya—kesal, membuat Brian memekik. "Nyebelin!"

Ia kesal Brian mengerjainya, ia sampai menangis semalaman karena berpikir akan benar-benar berpisah dengan Brian. Mungkin cowok itu malah mentertawakan sikapnya yang melankolis. Tapi hatinya lega mengetahui Brian akan ikut bersamanya mengejar studi S2 di Harvard.

Papa Brian sudah memberi izin, ia boleh menyelesaikan studinya dalam dua tahun ini. Makanya ia mendaftarkan dirinya ke Harvard University dan mendapatkan surat penerimaan berbarengan dengan Arin. Papa Brian masih bisa meng-handle perusahaannya selama ia kuliah di luar negeri.

"It's simple, just say you love me and I will say I love you too." Arin memang tidak pernah mengungkapkan perasaannya.

"Nggak perlu bilang kamu udah tahu." Arin tersipu malu.

"Oke, kalau gitu kali ini jangan tolak aku lagi." Arin tertawa.

Brian mengeluarkan kotak beludru berisi cincin yang sama, cincin berlian yang diperuntukkan Arin sewaktu di restoran saat makan malam itu, yang ia sematkan pekan lalu di Kota Tua. Dan kini ia membawanya kembali. Brian menoleh pada orang tua Arin, mereka mengangguk sambil tersenyum tanda setuju. Ia menyematkan cincin penuh sejarah itu di jari manis Arin. Perempuan yang kini digenggamnya pun tersenyum.

"You're everything I need."

Brian balas tersenyum, "you are my everything." Mencium kening Arin.