webnovel

(Un)forgettable

Kisah cinta segitiga Bagi gue, cewek adalah makhluk paling merepotkan. Tapi sial! Kenapa gue harus berurusan sama cewek situkang ngatur. Dan sialnya lagi gue malah jatuh cinta sama dia. -RENALD Hidup gue cuma untuk belajar dan belajar. Tapi sekarang gue malah berurusan sama cowok rese yang ternyata berhasil mengubah cara pandang hidup gue, mengobrak-ngabrik hati gue. -ARIN Aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Dia bagai matahari dan aku hanya bumi. Tapi pesonanya selalu memaksaku terpikat padanya. Matahari memang ditakdirkan menyinari bumi. -BRIAN

Hilda_Af · Teen
Not enough ratings
30 Chs

Epilogue

Semilir angin sore meniup-niup rambutnya yang ia biarkan tergerai, deburan ombak menggiring anak-anak penyu ke dasar laut. Tangannya memainkan pasir putih, kilau keemasan langit senja menjadi pemandangan yang indah baginya. Kini ia menuliskan sepucuk surat.

Dear Renald

Sudah berapa tahun sejak aku menuliskan surat untukmu waktu itu? Aku tidak pernah menghitungnya, begitu pula dengan rindu ini yang tak terhitung. Mungkin aku akan menua, tapi tidak dengan perasaanku padamu. Aku tetap melanjutkan hidup, selama itu ingatanku tentangmu akan selalu hidup.

Kamu tiada duanya, maka dari itu aku tidak menghabiskan waktu mencari-cari seseorang yang sepertimu. Tidak akan menemukannya, percuma. Meskipun begitu, aku mendapatkan seseorang yang mampu mengisi hatiku yang kosong. Tapi sekali lagi kujelaskan, aku tidak pernah menyingkirkanmu, selalu ada tempat khusus untukmu. Bahkan ia rela—terbagi cintaku padamu, menemaniku mengunjungi pusaramu dan sama-sama mendoakanmu.

Kamu beruntung dicintai banyak orang, meskipun kamu pergi tapi tidak pernah ada yang melupakanmu. Semuanya ramai menyebutkan namamu dalam doa. Semoga kamu bahagia di sana. And let me remember how wonderful you are.

Lalu memasukkan surat yang telah selesai ia tulis ke dalam botol. Mendekati air laut dan menaruh botol itu di sana agar terbawa arus ombak, kakinya basah terkena deburan ombak. Ia pun mundur beberapa langkah untuk menghindari susulan ombak berikutnya. Tersenyum menatap botol yang berisi suratnya terbawa ke tengah laut.

"Arin, ayo pulang." Ia menengok ke sumber suara.

Brian menghampirinya, menggenggam tangannya mengajaknya pulang. Arin ikut melangkahkan kakinya bersama Brian. Hembusan angin lagi-lagi menerbangkan rambutnya yang panjang, Brian pun menyelipkan rambut wanitanya ke belakang telinga.

"You look stunning, dear. That's why I love you so desperately." Brian mencium keningnya.

Arin tersenyum, "I love it when you make me feel special, but she's jealous to me." Mengelus-ngelus perutnya yang sudah membesar.

Brian berjongkok, mengecup perut istrinya. "Daddy loves you my princess."

"Our princess," sela Arin tak terima.

Brian bangkit, "of course, our pretty princess."

Arin mengaitkan lengannya pada lengan suaminya, menyenderkan kepala di bahunya. Ia bersyukur Tuhan memberi segalanya, kebahagiaan yang tak terhingga. Suami yang setia dan calon anak dalam kandungannya yang sebentar lagi akan lahir, melengkapi keluarga kecilnya.

***

Pesta pernikahan bertema vintage outdoor mengusung era tahun 20-an begitu ramai. Dua mempelai berdiri tampak bahagia, pengantin wanita memegang buket mawar merah. Lalu ia memutar badannya membelakangi para tamu undangan bersiap melempar buket tersebut, para tamu—kebanyakan wanita lajang bersiap merebutkan buket mawar itu, termasuk Arin yang begitu semangat menanti bunga milik sahabatnya—Tiara.

Tiara pun melempar buketnya kemudian para wanita yang berjejer agak ricuh berusaha menangkapnya. Arin berjingkrak-jingkrak ketika buket tersebut terlempar ke arahnya dan segera menangkapnya sigap sebelum didahului oleh yang lain. Ia senang berhasil menangkapnya, katanya jika beruntung mendapat bunga dari pengantin tidak lama lagi akan menyusul menikah. Dan ia sangat menanti itu.

Selepas lulus S1, Tiara dan Andi langsung bekerja sehingga mereka bisa lebih cepat menikah. Berbeda dengan Arin dan Brian yang melanjutkan studi mengambil magister. Setelah lulus, Arin menjadi dosen di universitas swasta ternama di Jakarta, sangat berbeda dengan cita-citanya dulu yang ingin menjadi pengusaha. Jusrtu tunangannya lah yang kini menjadi pengusaha, meneruskan usaha Papa Brian.

Brian menghampirinya, "nice catch."

Arin mencium aroma bunga mawar yang harum, ia jarang mendapat bunga mawar. Brian sering memberinya bunga daisy yang entah mengapa begitu spesial bagi pria itu, kemudian pernah memberinya bunga edelweis yang katanya mengandung makna keabadian. Brian tidak hanya memberi bunga, tetapi juga selalu menjelaskan filosofi bunga yang diberikannya.

"Kali-kali kasih aku bunga mawar kayak gini dong." Arin merengek.

"Kalau kamu udah jadi istri aku, baru aku kasih bunga mawar." 

"Masih lama dong." Arin mencebikkan bibirnya.

"Who say?" Brian tersenyum—mengangkat sebelah alisnya. "Aku udah persiapin semuanya, rencana pernikahan kita bahkan aku udah siapin rumah tempat kita tinggal setelah menikah."

Arin menutup mulutnya—kaget, "kok kamu nggak bilang? Kebiasaan."

"Nanti kalau aku kasih tahu takut kamu nggak setuju, lebih baik ngomong langsung ke orang tua kamu dan mereka setuju. Setelah itu kamu nggak bisa nolak." Brian memberi cengiran lebar.

Arin tertawa, "ya nggak lah, masa nolak sih. Kamu setrauma itu ya." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Jadi kamu mau nikah sama aku?" Brian tersenyum, tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya.

"Aku mau jadi perempuan yang kamu tatap sebelum tidur dan yang pertama kali kamu liat saat bangun." Mencium pipi Brian.

Brian menariknya ke dalam pelukan. Ia bahagia bisa bersama Arin. Selama ini penantian juga perjuangannya tidak sia-sia, gadis yang dulu hanya berani ia tatap dari kejauhan saja, yang ia kagumi diam-diam ternyata akan menjadi masa depannya. Baginya Arin adalah matahari yang tidak mungkin digapai dan terlalu terang, dan apalah daya ia hanya bumi. Tidak ada yang tahu rencana Tuhan, awalnya ia mengira ini hanya mimpi. Tapi ia bersyukur ini adalah realitas yang membahagiakan.

"Matahari memang ditakdirkan menyinari bumi." Brian melepas pelukannya, menatap Arin penuh arti.