webnovel

1.3

Kabe-don!

Cakra menegang. Matanya membelalak dan napas tercekat. Tangan Wijaya mengurungnya kini. Dia terhimpit di antara dada bidang lelaki yang mengaku-aku sebagai pacarnya dan tembok.

Panik nggak? Panik lah.

Cakra seperti kehilangan ruang gerak. Matanya terus menyapu untuk mencari celah. Namun badan Wijaya kokoh seperti benteng. Jadi dalam kesimpulannya, dia tak bisa melakukan sesuatu kecuali … ‘itu’. Tapi … tapi bagaimana jika Wijaya terluka?

Kendati juta emosi berjubal di benak Cakra, lelaki kelahiran Kediri itu tetap tenang. Manik obsidian Jay mengamati lamat-lamat pemuda di depannya itu dari tadi. Ekspresi Cakra cenderung tidak berubah, tapi dia mampu melihat bahwa setitik rona muka di sana berganti. Ada kilat bingung, tak nyaman, ada pula gurat tak ingin dikalahkan. Namun semua, terbungkus apik dengan ekspresi kokoh, tegas. Bahkan manik coklat di hadapan Wijaya ini menatapnya tajam, tajam sekali tanpa sedikit pun getar. Seakan dalam diam Cakra mengatakan bahwa ia tidak takut.

Wijaya yang mendapati kekasihnya seperti ini serasa teraliri listrik statis ribuan volt. Hatinya berdentum-dentam.

Hahaha! Menarik! Sangat menarik!

This is just so sexy! Cakranya so fucking sexy!

Keseksian maksimal yang membuat Wijaya bergerak lebih berani. Ia meraih dagu lelaki yang sedikit lebih pendek darinya dan mengangkatnya ke atas. Matanya berbinar penuh kekaguman, senyum merekah di muka blasteran itu, “kamu memang luar biasa Cak,” gumam Wijaya seraya mendekatkan kepalanya. “Aku bangga memilikimu,” lanjutnya dan cepat, cup! bibirnya menempel di atas bibir Cakra.

Manik coklat Cakra yang sewarna rema Wijaya membola. Dia terkejut bukan main atas apa yang dilakukan manusia tak beradab ini. Lancang! Kurang ajar!

Cakra merasa dilecehkan.

Refleks mengambil alih tindakan si ikal. Cepat dia mencengkeram lengan Wijaya. Kemudian dalam hitungan detik, dia memajukan satu kakinya dan ia tendang kuat engsel kaki Wijaya, memaksa orang sialan ini melepaskan ciumannya, lalu sekejap—

BUAAAK!

—Wijaya terpelanting, dihempaskan ke lantai.

Di atasnya, Cakra terengah dengan wajah yang merona merah. Ia masih tetap berdiri tegak, memandang Wijaya yang baru saja ia banting ke karpet dengan pandangan campur aduk. Kesal, tak suka jelas merupakan emosi dominan di dadanya. Namun dia bisa merasakan hal lain, malu? Lalu debaran di dadanya ini … excited? Excited menghadapi Wijaya yang tak terduga? Ha!

Cakra menggertakkan giginya. “Kowe cenane ora duwe dur, Wijaya! (Kamu emang bener-bener nggak punya tata krama, Wijaya!)” geraman meluncur dari bibir Cakra. Napasnya naik turun tak beraturan, dia masih emosi.

Wijaya tersenyum kecil. Tangannya terjulur meraih pipi Cakra, mengusapnya lembut. Sejenak, Wijaya melihat pacarnya membelalak atas apa yang dia lakukan, pipinya bahkan merona merah. Namun bukannya kesenangan karena diberikan afeksi, Cakra menepis tangan kokoh si coklat. “Apaan si kamu Wi—” hanya saja, sebelum dia bisa protes lebih banyak, Wijaya menyambar tangan si ikal. Menariknya hingga lelaki itu berada dalam pangkuannya.

`

Memandang lekat Cakra, Wijaya menggumamkan rajukan, "jangan gitu ke pacarnya dong beb~" Wijaya menggembungkan pipi. Sok uwu. Namun Cakra bisa melihat, kilat di netra jelaga putra konglomerat itu menunjukkan betapa dia menikmati semua ini.

“K-kam—ah!” Cakra terkesiap, tiba-tiba tangan kokoh meraih tengkuk dan menariknya ke bawah. Bibir mereka bertemu kembali. Di sini Cakra merasakan badannya panas atas kelembutan yang diberikan oleh pemilik manik kelam di sana. Dia bahkan membiarkan lidah menyapu di sana. Sebelum tahu-tahu ada gigi nakal menggigit.

Cakra tersentak. "Wijaa—aaamh!" dia mau memprotes, tapi siapa sangka … ketika mulutnya terbuka, ada daging tak bertulang menginvasi masuk. Cakra menegang, dia berusaha mendorong. Hanya saja, lidah terampil di dalam, menggelut miliknya dan menggelibat kuat. Lebih, Cakra merasakan sesapan sensual dan itu cukup membuat si ikal untuk sesaat melayang jauh. Sehingga dia tak sadar jika pelan-pelan, lawannya ini mendorong tubuhnya, membuat ia terlentang di atas karpet.

Tapi entah mengapa, dia merasakan jika lelaki di atasnya ... tidak memiliki niatan lebih. Dia hanya menggoda, menunggu respon kekasihnya—dia.

Ini seperti tes.

Tes apakah nikmat duniawi akan membuat Cakra menyerahkan semua.

Hal ini tentu saja membuat si manik cokelat kesal. Lalu cepat dia menggigit lidah lelaki di depannya, keras. Oh, mungkin sangat keras hingga sang korban melepaskan dirinya, menjauh. Menggunakan kesempatan itu, Cakra segera merangkak menjauh, membuat jarak. "Jangan macam-macam kamu!" Cakra menekan nadanya. Setengah menggeram. Dan jangan lupa wajahnya yang memerah.

Sedangkan yang diancam, malah tertawa, terbahak. "Kamu kok gemesin sih Caak~" Berikutnya, Wijaya berdiri, dia mendekati Cakra yang masih duduk di atas lantai. Namun seiring kakinya mendekat, Cakra pun merangkak menjauh.

Jelas terlihat di sini Cakra tak menginginkan Wijaya mendekat.

Pemuda bertahi lalat di dagu itu mengerutkan kening. Dia menggoda kemudian. Sengaja memajukan satu kakinya ke arah Cakra. Benar saja, Cakra mendesis. Entah bagaimana Wijaya jadi membayangkan Cakra itu kucing kampung item yang sekarang bulunya lagi berdiri semua sambil “HIIIIISSSSH!”

Haris WIjaya tertawa kecil. “Iya deh iya, aku berhenti. Nyerah.” Ia mengangkat dua tangannya ke udara sebagai simbol menyerah. Dia bahkan berjalan ke arah yang bertentangan dengan tempat Cakra kini. Sebelum tiba-tiba, dia ikut duduk di lantai.

Cakra di lantai, dia di lantai. Sama-sama di lantai.

Mereka bertatapan.

Tik tok tik tok.

“EEEEEHHH?? Kok di lantai mas? Tamu jangan di lantai!” Cakra otomatis berdiri dan buru-buru berlari ke arah tamunya. Begini-begini, Cakra tak ingin tamunya merasa tak dihargai. Dia memuliakan tamu, jadi … dia tak mau tamu di lantai padahal ada kursi. Kuat, Cakra menarik lengan Wijaya dan menunjuk kursi untuk tamu, “ke sana yuk. Jangan di lantai begini ...” ekspresinya yang penuh kekesalan sudah hilang. Yang ada kini secuil panik dan rasa sungkan.

Wijaya mengerjap. Jujur dia cukup cengo dengan sikap Cakra. Errr … dia tadi sudah berlaku begitu dan Cakra tetap memperlakukannya demikian?

Ba-dump!

Hati Wijaya menghangat. Tawa renyah meluncur.

“Aku nggak salah pilih emang ya,” adalah ucap Wijaya lagi, sebelum mengikuti keinginan Cakra dan berdiri. “Tuntun Cak, pake ganggaman tangan ya ...” tambah pemuda bertahi lalat di dagu itu sambil menyeringai.

Cakra mengerutkan kening. Awalnya ia sudah ingin sekali memukul Wijaya dengan amat keras. Hei! Kenapa dia malah berbuat begini dan bukannya minta maaf atau setidaknya terima kasih karena diperhatikan?!

Namun Cakra menahannya. Dalam diam, dia menatap lelaki di depannya itu tersenyum. Dia bisa melihat betapa Wijaya menikmati semua. Tidak ada rencana atau kelicikan di dalam kilat mata pemilik rema coklat kemerahan itu. Dan itu membuat pandangan Cakra melembut. Dia berpikir ... bahwa disaat seperti ini, Wijaya terlihat sama seperti orang lain pada umumnya. Dia menjadi orang biasa.

Karena itulah, dia mengikuti keinginan pemuda itu. Menggandeng dan mengajaknya ke meja tamu. Setelah itu mereka kembali duduk di sana, kali ini bersisian. Wijaya sudah melupakan ketegangan yang ada dengan cepat, sekali lagi, perhatiannya fokus pada makanan.

‘Dia doyan ngemil sepertinya …’ pikir Cakra sambil memperhatikan gerak-gerik orang di sampingnya itu. ‘Doyan ngemil apa doyan makan? Tadi dia makan bu—’

"Cak," lalu, memotong rentet pikir Cakra, Wijaya kembali menyebut namanya. "Nanti kencan yuk," katanya menyuarakan ajakan main—atau setidaknya itu adalah pikiran Cakra.

Dan yang diajak? Kalem, dengan semua emosi telah sirna dalam hitungan detik, ia menjawab, "Besok aja ya? Kamu kan sudah bawakan jahe hari ini,"

Wijaya cemberut. Iya kali ini dia literal cemberut. Oh bahkan mulutnya sedikit di monyongkan sebelum dia menirukan ucapan Cakra, "bisik iji yi? Kimi kin sidih biwikin jihi hiri ini." Yang serius membuat Cakra ingin menampolnya keras. Kok bikin kesel gitu bibirnya sama ekspresinya itu!

Tapi urung. Benar, Cakra menahan dirinya karena sebelum dia melakukan itu, Jay kembali terkekeh. Renyah. Lalu sesuatu yang tak terduga terjadi, di tengah tawa tak mengesalkan itu, Wijaya tiba-tiba menjulurkan tangan dan menepuk puncak kepala Cakra. "Oke. Besok aku jemput di kosan ya," katanya kemudian, tanpa senyum mengesalkan melengkung. Dan dia mengucapkannya dengan lembut.

Hal yang entah mengapa, membuat mulut Cakra merekahkan senyum sebelum menjawab lembut, "okay. Akan aku tunggu.”

[]