webnovel

Camilla 1

'Takdirmu adalah mati untuk diriku!'

'Cih, hanya dalam mimpimu, Tuan.'

Jubah kebesarannya menghembuskan sedikit angin, saat makhluk hitam itu berjalan tepat di depan wajahnya yang sedikit memar.

'Hidupku abadi, Aku tidak akan pernah menangisi kematian para pengabdiku.'

Makhluk itu kembali berkata, dan kali ini dia duduk di atas singgasana yang menjadi tempatnya berkuasa.

'Tidak ada gunanya Kau hidup abadi, semua makhluk yang ada di dunia akan mati, bahkan dunia ini juga akan binasa, dan Kau hanya akan hidup sendirian.'

Makhluk itu tertawa keras mendengar ucapannya.

'Baiklah ....'

Makhluk hitam itu mengeluarkan asap hitam dari tangannya, kemudian muncul sebuah senjata seperti pedang dengan warna hitam pekat sampai ke ujung mata pedangnya.

'Matilah Kau!!

....

"Achh ...."

Nafasnya terengah, tetesan air mengucur dari pelipis, dada terasa sesak, serta tubuh yang terasa lemas.

"Hah, hhhh, ... mimpi itu lagi." Dia bergumam, betapa bodohnya, siapa yang akan mendengar gumamam dari mulut yang masih berbau tidak sedap.

Satu kebiasaan yang sudah menjadi kebutuhan, bersenandung di dalam kamar mandi dengan lagu-lagu yang disukainya, seorang gadis sedang menikmati ritual mandi pagi yang menyegarkan kulitnya.

Sesekali tubuhnya bergoyang, seolah ada alunan musik yang mengiringi gerakan kecil anggota badannya.

Tidak jarang kesialan juga menimpanya, saat tidak sengaja menginjak lantai kamar mandi yang licin, dan berakhir dengan bokong juga punggungnya yang menghantam lantai dengan keras.

"Siaaal ...." Memang bodoh, siapa yang akan mendengarnya?

Camilla Lans, gadis muda berusia 20 tahun, pekerjaan tidak menentu alias serabutan, tinggal di sebuah flat kelas rendahan, punya dua teman laki-laki bernama Vigo dan Nado.

Kali ini pekerjaan yang dia ambil adalah, menjadi seorang pencabut rumput liar, di lapangan golf pribadi milik seorang pengusaha kaya raya bernama Bernardo Lanus.

Camilla mengambil pekerjaan tersebut atas rekomendasi dari kedua sahabatnya, mereka juga bekerja di sana. Sebelumnya gadis itu bekerja sebagai seorang pramusaji di kedai kopi, tetapi dia sudah berhenti, karena pemilik kedai pindah ke kota lain, untuk membuka kedai yang baru.

***

Dengan peralatan yang sudah di sediakan, gadis itu mulai bekerja bersama pekerja lainnya. Terik matahari tidak menjadi penghalang baginya, dia gadis yang punya gairah dan semangat hidup yang tinggi, tidak ada alasan bagi dirinya untuk meratapi hidup yang kurang beruntung.

Sshhhh ....!! Hembusan angin di tengah panasnya sinar matahari, membawa kesegaran di kulit Camilla yang terasa terbakar. Namun, membuat gadis muda itu juga merinding, tidak hanya suara angin, tapi ada suara lain seperti hembusan nafas atau suara bisikan.

'Camilla ....'

Mata gadis itu membulat sempurna, ketika mendengar bisikan di tengah angin yang berhembus, bisikan itu menyebut namanya dengan jelas.

'Camilla ....'

Gadis itu segera menegakan tubuhnya yang menunduk, gerakan tangan yang sedang mencabuti rumput juga berhenti, melihat ke sekeliling, kedua temannya sedang melakukan pekerjaan mereka.

"Vigo, Nado ...." Camilla memanggil dua temannya yang tidak jauh dari tempatnya, kedua pemuda itupun mengalihkan perhatian saat nama mereka di panggil.

"Apa k-kalian mendengar sesuatu?" tanya Camilla dengan gugup. Vigo dan Nado menggelengkan kepala.

"Aku tidak mendengar suara apapun," jawab Vigo, sambil membetulkan posisi kaca matanya yang sedikit turun.

"Aku juga," tambah Nado.

"Tentu saja kau tidak dengar, telingamu itu penuh, Nado!" Vigo berkata sambil menarik headset di telinga kanan Nado.

"Ah, itu sakit, Vigo!" Nado meringis karena telinganya sakit, pemuda jabrik itu mengusap telinganya.

"Hhh, kalian memang menyebalkan, sudah sana kerjakan tugas kalian!" Camilla berteriak, gadis itu merasa kesal, kedua temannya sama sekali tidak membantu.

"Kau pasti lapar, mungkin itu suara perutmu yang keroncongan." Nado berkata kemudian disusul tawa oleh Vigo.

"Hhh ... dasar bodohh!" Camilla berbalik kemudian melangkah beberapa jauh dari temannya, tetapi gadis itu terjatuh karena tersandung sesuatu.

Brukkk.... "Ahhh ...." Camilla berteriak membuat temannya terkejut dan dengan sigap mereka segera menolongnya karena gadis itu jatuh tengkurap.

"Camilla ... kau baik-baik saja?" Vigo dan Nado segera membangunkan gadis itu.

"Aduh, lututku sakit sekali! Benda bodoh apa yang membuatku terjatuh?" keluh Camilla. Mereka bertiga melihat ke arah batu yang berbentuk kotak, tatapan mereka berubah terkejut saat melihat ada tulisan di batu tersebut.

"S-Sejak kapan ada batu di situ?" Camilla menelan ludah melihat batu yang ternyata sebuah batu nisan.

"Brisa Margarita!" Vigo dan Nado membaca tulisan di batu tersebut secara bersamaan.

"Tunggu- ..." Nado merogoh saku celana, pemuda itu mengambil ponselnya. "Apa mungkin?" gumamnya.

"Apa yang kau tahu, Nado?" Camilla berkata pada temannya yang sedang menatap layar ponsel.

"Apa kau tidak ingat nama bangsawan terkenal tahun 1900? Brisa Margarita, yang meninggal dengan cara yang aneh?" Nado berkata, terlihat getaran di tangannya.

Camilla terdiam seolah memikirkan sesuatu, sampai rasa sakit di lututnya terabaikan.

"Mungkin ini Brisa yang lain!" ucap Vigo, pemuda itu mengibaskan tangannya.

"Nado memang konyol, dia pikir sudah menemukan harta karun," kata Camilla, sambil memakai kembali topinya. Gadis itu hendak berdiri, tetapi tangan Nado menariknya kembali, mereka bertiga berada tepat di depan batu nisan tersebut.

"Lihat ini!" pinta Nado, pemuda itu memperlihatkan gambar yang ada di ponselnya. Camilla dan Vigo saling menatap kemudian kembali melihat pada batu nisan yang ternyata sama seperti pada gambar di ponsel Nado.

'Brisa Margarita, lahir pada tahun 1870 dan meninggal pada tahun 1900. Saat usianya 20 tahun dia pernah hilang selama satu tahun. Setelah kembali tiba-tiba dia menjadi seorang bangsawan yang dikagumi banyak orang, padahal sebelumnya dia hanyalah gadis miskin biasa. Tidak ada yang pernah mengetahui misteri perubahannya tersebut.'

'10 tahun menjadi bangsawan, hidupnya tidak pernah merasa bahagia, dan pada akhirnya dia ditemukan tewas, dengan banyaknya luka sayatan, seperti bekas gigitan hewan dengan gigi yang sangat besar dan tajam.'

'Banyak rumor mengatakan, Brisa mengakhiri hidupnya, tetapi dengan luka aneh tidak mungkin jika hal itu disebut bunuh diri, dan sampai sekarang tidak pernah diketahui penyebab kematiannya.'

Camilla menelan ludah, dan mengingat kembali suara bisikan tadi yang mengganggunya saat bekerja. Seluruh tubuhnya terasa gemetar dan sedikit lemas.

"Apa mungkin Tuan Lanus adalah keturunan Brisa Margarita ?" Nado kembali berkata.

"Na- ..."

"Hey. Kalian sedang apa? Ayo kembali bekerja!!" Ucapan Camilla terpotong, karena tiba-tiba pengawas para pekerja berteriak pada mereka, dasar bangsawan mencabut rumput saja harus ada yang mengawasi.

"Iya, Tuan!!" Mereka bertiga menjawab dengan serempak dan kembali bekerja.

***

Hari sudah sore, Camilla dan dua temannya sudah selesai bekerja, saat ini mereka tengah berada di flat tempat tinggal gadis tersebut, menyantap makanan cepat saji yang diberikan pengawas untuk makan malam .

"Hmm, ini enak sekali!! Aku kelaparan setelah seharian bekerja!" Camilla begitu menikmati makanan yang disantapnya.

"Mm, benar," jawab Vigo dengan anggukan cepat, untung saja kali ini kacamatanya tidak jatuh.

"Dasar orang kaya, kita mendapat jaminan penuh, makan tiga kali, ditambah makan malam," seru Camilla, dengan gembira. "uang bonus dan gaji kita lumayan besar," lanjutnya.

"Wah, besok aku bisa belanja kebutuhan dan menabung sebagian uangnya," ucap Camilla, gadis energik itu terlihat begitu bahagia.

"Ya tapi bayarannya mahal," pungkas Nado secara tiba-tiba.

"Hey. Ayolah jangan begitu! Jangan mengubah suasana hati yang bagus menjadi buruk!" ucap Camilla dengan mulut mengunyah makanannya.

"Ck, tadi siang kita belum selesai membaca artikel tentang Brisa Margarita, dan kau tahu apa kelanjutannya?" Nado menaikan nada suara, tetapi tidak dihiraukan oleh kedua sahabatnya.

"Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu, sudah habiskan saja makananmu itu! Kalau tidak mau, akan kuambil ayam gorengnya!" Camilla mengulurkan tangan untuk mengambil ayam goreng milik Nado.

Ctukk ... "Awh ...." Camilla meringis, saat Nado memukul tangannya, dengan sebuah garpu yang dipakai untuk memakan Spageti bersaus.

"Dasar rakus, tubuhmu kecil tapi makanmu seperti seekor gajah yang kelaparan." Nado menggerutu, kemudian mereka tertawa bersama tanpa menghiraukan layar ponsel yang masih menyala, dengan artikel yang bergambar seorang wanita cantik.

***

Malam ini cuaca benar-benar indah, bulan purnama bulat sempurna, menggantung di langit malam kota Aurora.

Camilla merebahkan tubuh di atas tempat tidur, besok dia harus mencari pekerjaan baru untuk menyambung hidup. Dia menyalakan alarm di ponsel yang masih dalam masa cicilan, mengisi daya baterai sampai penuh, dan melingkari beberapa kolom lowongan pekerjaan di koran harian yang di belinya.

Sudah beberapa kali gadis itu menguap, dan akhirnya dia tertidur pulas, tanpa dia sadari tirai jendela tersibak karena angin, padahal dia sudah menutup rapat sejak tadi sore, setelah itu pintu kamar juga terbuka secara perlahan.

'Camilla ....'

'Siapa kau?'

'Ikutlah denganku!'

'Untuk apa? Aku tidak mengenalmu, jadi pergilah!'

'Datanglah ke Hutan Hijau, Aku butuh bantuanmu!'

....

Sett ... Mata yang tertutup rapat segera terbuka, gadis itu bermimpi lagi. Dalam mimpinya dia melihat dan juga berbicara, dengan seorang wanita cantik dengan gaun putih model abad 19, wajah dengan riasan yang klasik, rambutnya pirang dan berkulit putih.

Camilla mengubah posisi tidur yang menyamping menjadi terlentang, memijat kepalanya yang berdenyut nyeri, saat tiba-tiba dia melihat bayangan wajah aneh dan menyeramkan dalam bentuk kilatan yang sangat cepat.

'Hutan Hijau?' Dia berguman, gadis itu menggeleng cepat.

'Itu hanya mimpi, jangan terpengaruh!'

Camilla kembali tertidur karena rasa kantuk yang luar biasa, dan lagi dia tidak menyadari kehadiran wanita dengan gaun putih, matanya menatap nyalang, wanita itu berdiri tepat di samping tempat tidur, sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman yang menyeramkan.

To be continue

See you next chapter