webnovel

9. Tragedi di rumah pacar

Rumah Isam, pinggiran kota.

Ternyata rumahnya tidak jauh dari warnet kota yang sering didatangi oleh Juli. Mereka hanya perlu berjalan kaki menghabiskan waktu seperempat jam perjalanan, pada akhirnya dia sampai di sebuah rumah sederhana yang ternyata sepi tidak ada orang.

Bisa dikatakan hanya mereka berdua, Isam anak tunggal. Ibunya adalah buruh lepas di sebuah pabrik, kadang kala sebagai tukang cuci dan pekerjaan apapun serabutan. Asalkan itu bisa menghasilkan uang dengan cara yang benar. Keadaan membuat wanita tua itu menyisihkan malunya, gengsi tidak akan memberi makan dan uang untuk dia dan putranya hidup di Jakarta. Jadi wajar saja jika dia jarang di rumah, meskipun sudah malam begini.

Tujuannya datang kemarin? Entahlah, katanya Isam akan menghantarkan dirinya pulang setelah mengambil jaketnya dan mengambil kunci motor sebab mereka tidak bisa berjalan kaki begitu jauh.

"Gimana ceritanya kamu bisa pergi tanpa uang yang cukup?" Isam memulai perdebatan, itulah yang dikatakan oleh pemuda ini berulang kali setelah mengetahui kalau Lyne tidak punya uang yang cukup untuk naik taksi pulang ke rumahnya.

Sebenarnya ada bus kota, tetapi dia tidak tahu jalurnya. Berbeda kalau naik, tinggal katakan saja alamatnya.

Lyne tidak menjawab, dia memilih duduk di atas sofa tua yang ada di samping lukisan besar, ada foto Isam dan ayah juga ibunya di sana.

"Yang jadi polisi itu siapa?" tanya Lyne, mengabaikan kalimat dari Isam. Itu jauh lebih menarik untuk dibicarakan. Jari telunjuknya mengarah pada sebuah foto yang diletakkan di atas meja, pertandingan dengan vas bunga kecil dan foto keluarga yang berbeda dari yang dipajang besar di sisi pintu akses masuk ke dalam dapur.

"Pakde," jawab Isam, seadanya. Sembari memakai jaketnya. Dia melirik jam dinding di atas pintu masuk menuju dapur. "Sebentar lagi pukul delapan, kita harus segera pulang sebelum Mama kamu mencari kamu," ucap Isam. Ternyata dia lebih khawatir pada keadaan sang kekasih setelah pulang nanti.

Lyne tidak bersuara sepatah kata pun. Fokusnya masih mencoba untuk mengelilingi setiap sudut rumah dengan pandangan mata kacang almond miliknya.

"Lyne ...." Saat Isam menoleh, memutar tubuhnya, tiba-tiba saja gadis itu menunjukkan layar ponsel berisi bekas pesan singkat yang dikirimkan oleh mamanya sore tadi.

"Mama bilang akan pulang nanti malam jam dua belas malam atau mungkin lebih, paling cepat adalah tengah malam." Lyne manggut-manggut dengan kalimatnya sendiri. Dia menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jaket yang dia kenalkan.

Dia menatap Isam. "Aku akan tinggal sebentar sambil ibu kamu pulang," katanya. Menepuk-nepuk sisi sofa yang kosong. Menginginkan kekasihnya untuk duduk di sisinya. "Sejak kali pertama pacaran sama kamu sampai sekarang, baru kali ini aku datang ke rumah kamu. Jadi aku berpikir untuk sekalian menyapa," katanya lagi. Menjelaskan.

Isam menghela nafas. Mengulurkan tangannya pada Lyne, mengajaknya untuk bangun dan pulang sekarang. "Ibu akan pulang besok subuh, dia shift malam di pabrik," terang Isam.

"Mau menunggu sampai subuh? Lalu kamu akan diusir sama mama kamu," katanya lagi, ekspresi itu menyebalkan untuk Lyne.

"Bangun, kita pulang sekarang," ajak Isam padanya. "Aku mohon, Lyne ...." Dia membujuknya, kali ini berharap kalau kekasihnya tidak akan keras kepala.

Lyne berdecak. Bangun dari tempatnya. "Kamu memang tidak asik!" Dia merajuk, berjalan mendahului Isam.

"Aku akan pulang sendiri!" Lyne berbicara di sela langkah kakinya.

"Pulang sendiri apanya! Kamu bilang gak punga ongkos. Aku juga tidak punya uang untuk membantu, itu tabungan untuk beli sepatu latihan besok," tukas Isam menyahut.

Tiba-tiba Lyne berhenti, tidak jadi membuka pintu di depannya. Dia menoleh pada Isam. Menatapnya. "Aku bohong soal uang," sambung Lyne.

"Kenapa?"

"Kamu tidak peka?" Lyne mendengus kesal. "Wah, bagaimana bisa aku jatuh cinta sama kamu yang punya kepribadian kaku begini?" Pada akhirnya dia mulai menyadarinya, bahwa kekasihnya ini benar-benar menyebalkan.

Lyne menghembuskan nafas. "Kamu bilang kalau rumah kamu dekat dari sini, jadi aku memutuskan untuk berbohong kalau aku tidak bisa pulang naik taksi. Kamu benar-benar enggak tahu kenapa aku bilang itu?" Dia mengerutkan keningnya. Menatap remaja yang diam di tempatnya.

"Sudahlah, itu sulit dimengerti," ucap Lyne menutup perdebatan kecil mereka.

Dia kembali memutar tubuhnya, berniat untuk menarik gagang pintu yang ada di depannya. "Aku pulang," katanya dengan malas.

Namun, saat dia mulai menarik gagang pintu, membuka pintu kayu itu, tiba-tiba saja Isam menarik tubuhnya. Melepaskan genggaman jari Lyne dari gagang pintu perak yang dia genggam, Isam mengambil alih itu dan menutup kembali pintunya dengan sedikit keras.

Lyne terkejut kala Isam membanting tubuhnya di dinding, mengunci segala pergerakan dan pandangan matanya.

"Isam ..." Dia melirih. Jantungnya berdegup kencang, seakan mau copot dari tempatnya. Baru kali ini dia ditatap dalam keadaan yang begitu dekat. "K--kenapa?" tanya Lyne. "K--kenapa menatapku be--begitu ...."

"Aku berusaha untuk menahan itu sedari tadi, Lyne. Jadi jangan memaksa," lirihnya tiba-tiba.

Lyne melihat pemuda yang ada di depannya mengulum salivanya dengan berat.

"Aku berusaha untuk tidak melakukan hal yang bodoh ...."

"Lakukan saja," sambung Lyne, memberi celah padanya. Lyne menatap dengan mantap. "Apapun itu ..." Dia menjeda lagi. "Lakukan saja," imbuhnya.

Isam menggeleng dengan samar. "Aku tidak akan bisa berhenti, jika melakukannya," imbuhnya pada Lyne. "Aku takut itu menyakitimu," tukasnya lagi.

Gadis itu menatap sang kekasih tanpa jeda dan tanpa mau berkedip, seakan-akan akan jika berkedip maka kekasihnya akan hilang dan momen ini juga.

"Jadi, rencana malam ini aku hanya akan mengantarkan dirimu pulang. Kita bertemu besok pagi di sekolah," katanya. Isam menjauhkan tubuhnya kemudian, dia kembali pada posisinya yang normal.

"Isam," panggil Lyne. Menghentikan aksi pemuda itu yang hampir saja membuka pintu.

Keduanya saling pandang satu sama lain. "Kenapa kamu tidak pernah mau menyentuh aku?" tanyanya.

Isam menghela nafas. Dia menggelengkan kepalanya. Berjalan mendekati Lyne. "Sudah kukatakan bahwa agendanya hanya aku menghantarkan dirimu pulang, aku tidak mau membicarakan hal itu."

"Kata mereka aku cantik!" Lyne keras kepala. "Katanya aku menarik," ucapnya. Masih kokoh berbicara meskipun Isam melarangnya dengan menggelengkan kepalanya. Sebagai seorang laki-laki yang ditinggal pergi seorang diri di rumah bersama gadis secantik Lyne, dia berusaha untuk menjaga semuanya. Agar tidak ada kesalahan apapun malam ini.

"Semua orang ingin memacari diriku," tuturnya lagi. "Bahkan ada yang pernah mengajakku tidur bersama." Lyne menjatuhkan pandangan matanya, bermain dengan ujung jari jemarinya. "Mereka bilang bahwa aku mengundang nafsu untuk mereka," lirihnya.

"Lyne ... aku mohon ...."

"Kenapa kamu sama sekali tidak pernah mau melirikku?" Pekiknya. Meninggikan nada bicaranya. "Haruskah aku sama Anggar saja? Dia bilang kalau dia tertarik denganku! Dia bilang jika ...."

Ucapannya terhenti, tatkala Isam menarik tubuhnya dengan kasar, menempelkan bibirnya pada Lyne. Melumatnya dengan kasar. Jari jemarinya pun ikut mengiringi.

--yang dia tahan sejak tadi, sekarang benar-benar tidak ada harganya. Usahanya sia-sia begitu saja, pertahannya runtuh untuk tidak menodai kekasihnya.

Ternyata, bukan hanya Juli yang membuat kesalahan dari tindakan bodoh mengikuti nafsu dan ego, Isam dan Lyne pun melakukan itu malam ini.

... To be continued ...