webnovel

Xandreas : Curse of Heaven

Xandreas, bagian dari malaikat Tanah Edenia yang terlahir dari sebuah kesalahan. Malaikat cacat yang tak mampu hidup sebaik para malaikat lain. Dia dibuang dari Edenia ke Inferna, dikurung di tanah neraka hingga hari penghakiman tiba. Dia membenci Edenia, tidak ingin terjebak dalam Inferna. Oleh karena itu, Xandreas berhasil meloloskan diri dari Neraka Inferna. Namun, sebagian tubuhnya akan membusuk jika berada lama di dunia. Cara satu-satunya Xandreas untuk bertahan hidup dan menyempurnakan kembali tubuhnya yaitu dengan memakan jiwa-jiwa makhluk hidup, terutama manusia. Xandreas yang malang. Xandreas yang malang.... Tak ada jalan pulang selain berhadapan pada bayangan yang menyapanya dengan seringai dalam kegelapan. ***** Xandreas : Curse of Heaven © Korona Noire FB : Korona N

Korona_Noire · ファンタジー
レビュー数が足りません
9 Chs

Chapter V (Penjelasan)

Sosok kecilnya berdiri di tengah-tengah ruang persidangan Edenia. Setelah melakukan proses yang panjang, akhirnya ia diputuskan untuk dihukum berat dengan dikirimkan ke Inferna. Ia berdiri di sana, sendirian, dengan berbagai macam tatapan dari ratusan malaikat yang memperhatikannya. Terasa mengintimidasi dan memalukan hingga membuat sepasang mata emas itu tanpa sadar mengalirkan air mata ketakutan.

Anak kecil seperti Xandreas disidang dan diadili dengan hukuman sangat berat walau ia tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Tentu saja ia merasa takut dan bertanya-tanya apa yang salah padanya.

Apakah hanya karena ia terlahir bukan karena keinginan para dewa? Apakah itu termasuk kesalahan besar, meskipun ia hanya seorang anak kecil yang tak tahu apa-apa?

"Dengan ini kami menyatakan Xandreas Elias Mephious dari klan keluarga Mephious akan dibuang ke Inferna dan dihukum seberat-beratnya hingga hari penghakiman tiba."

Keputusan hakim telah mutlak setelah palu diketukan di meja penghakiman. Xandreas jatuh berlutut, tak mampu membendung tangis. Dia tak menyangka jika hal seperti ini akan terjadi. Dia mengutuk dirinya sendiri karena terlahir bukan karena kehendak Dewa. Pertanyaan-pertanyaan terus bermunculan di pikirannya.

Siapakah dia? Dan siapa yang selama ini menciptakan dirinya jika bukan para dewa?

Persidangan itu sungguh membuat syok dua saudara kembar yang sedari tadi mengintip di balik pintu lain ruang sidang karena tidak diizinkan masuk di pintu utama. Sepasang tangan mungilnya bergetar dan terkepal erat di atas paha saat ia terduduk di lantai, Nojura menangis tak terima jika saudaranya yang selama ini mereka sayangi dihukum seberat itu.

Hidup dalam kekurangan fisik membuat Nojura begitu menyayangi Xandreas dan ingin melindunginya segenap jiwa. Tapi, apa yang ia lihat sekarang?

"Rudan, apa salah Xandreas…?! Kenapa dia dihukum dipersidangan…?! Kenapa dia harus dibuang ke Inferna? Apa salah Xandreas, Rudan…? Apa?!"

Nojura terus mengguncang-guncang lengan Rudan saat saudara tertua mereka mematung melihat persidangan. Setiap kata yang ia dengar dari hakim dan orang-orang yang hadir di sana menghipnotis pikirannya, meyakinkan hati kecilnya akan sesuatu yang mampu membuat pandangan Rudan berubah terhadap Xandreas.

Xandreas dicap sebagai penghianat Edenia….

~*~*~*~

Walau hujan turun lebih dulu di pemakaman, tak disangka jika hujan baru saja turun di sini, di sekitar area pelabuhan. Dari jendela dapur yang dibiarkan terbuka, mata emas Xandreas melihat banyak orang mulai menghentikan aktivitas mereka di pelabuhan, banyak kapal dan perahu menepi hingga para awaknya keluar mencari tempat berteduh, para nelayan juga menghentikan kegiatan mereka menangkap ikan.

Sambil duduk di kursi meja makan dengan sebuah jeruk yang ia kupas di tangan, pikiran Xandreas terarah ke memori saat di pemakaman. Wanita tua yang meratapi kepergian sang suami rupanya adalah istri dari pria yang tadi malam ia bunuh. Sejak dari pemakaman, rasa bersalah terus ada hingga saat ini. Malam itu adalah hal pertama bagi Xandreas membunuh seseorang. Ia tak habis pikir, dengan memakan jiwa manusia tubuhnya akan lebih membaik.

Sebenarnya, apa yang terjadi pada tubuhnya? Mengapa harus jiwa manusia yang menjadi obat untuk dia mampu bertahan?

Bagian kulit jeruk yang kesekian sudah ia kupas saat terdengar langkah seseorang mendekati dapur ini. Walau wajahnya tertunduk, Xandreas dapat menebak kalau yang baru saja masuk dapur adalah Lurie. Dia tahu dari cara gadis itu bersenandung dan bergumam sendiri.

"Haaah…. Ada apa dengan Ania hari ini?" gumam Lurie sendiri sambil mengambil air mineral dari dalam kulkas. "Kenapa dia terlihat ketakutan begitu?"

Gumamannya terhenti saat melihat sosok pria berambut perak panjang duduk di kursi meja makan sambil mengupas kulit jeruk. Dari gerakan tangan pucatnya yang terlihat lambat, Lurie yakin pria itu tengah memikirkan sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman.

"Hei…," Lurie menyapa sambil meletakan sebotol air, gelas, dan buku yang ia bawa di meja, lalu duduk di hadapan Xandreas. "Kau Xandreas 'kan?"

Sedikit mengangkat wajah agar dapat melihat wajah cantik Lurie, Xandreas bicara dengan suara kalemnya, "Dan kau Lurie?"

Sejenak Lurie terkekeh menanggapi. "Sepertinya, Rethan dan Kuin menceritakan tentangku padamu. Mereka juga cerita tentang dirimu padaku. Bagaimana keadaanmu sekarang?"

"Lebih baik."

"Syukurlah…."

Dari luar rintik-rintik hujan semakin deras disertai petir menggelegar di langit. Awalnya Lurie sempat kaget ketika suara dan kilat petir muncul, tapi ia berusaha tenang melihat lawan bicaranya ini masih tetap diam di sana. Tak ada satupun yang bicara sampai Xandreas terpikir untuk menawarkan jeruk yang sudah ia kupas dalam waktu yang cukup lama karena berkutat dengan pikirannya.

"Mau?" tanya singkat Xandreas sambil menyodorkan jeruk itu pada Lurie.

Lurie hanya tersenyum lalu mengambil setengah dari jeruk itu.

Mereka kembali larut dalam diam sambil memakan jeruk mereka masing-masing. Demi membunuh rasa bosan, Lurie membuka bukunya lalu mulai membaca. Hal itu membuat Lurie begitu diperhatikan Xandreas.

Buku…?

Sudah sangat lama Xandreas tidak membaca buku lagi, bahkan dia sudah lupa seperti apa rasanya dan caranya. Terlalu banyak waktu terbuang di penyiksaan Inferna membuat hampir semua ingatan masa kecil Xandreas sirna.

"Apa yang kau baca?"

Pertanyaan itu membuat Lurie memandang Xandreas. Wajah rupawan yang selalu terlihat pucat memperhatikan dirinya dan juga buku itu, penasaran dengan apa yang sedang ia baca.

"Oh? Ini?" tanya balik Lurie agak canggung. "Hanya buku tentang sejarah kota."

Suasana kembali sunyi beberapa saat membuat Lurie mulai risih, apalagi Xandreas masih saja fokus menatapnya.

"Ku-kudengar dari Rethan…." Lurie memutuskan untuk memecah kesunyian. "… Kau tidak bisa berhitung."

"Hanya lupa caranya," jawab Xandreas seadanya, "Aku juga lupa cara membaca."

"O-Oh? Begitukah…?" Lurie mengaitkan helaian rambutnya di belakang telinga. Dia benar-benar merasa tak enak hati menanyakan hal itu. "Aku… bisa mengajarimu caranya berhitung dan membaca, sekalian kita belajar banyak hal bersama-sama."

"Kedengarannya menarik." Xandreas mengangguk setuju.

Soal Lurie, gadis itu terlihat begitu polos dan baik pula padanya. Xandreas merasakan ada jiwa yang begitu putih dalam diri Lurie, bahkan malaikat pun akan memujanya jika menemukan sosok gadis ini.

Sempat terpikir bahwa mungkin Xandreas bisa menanyakan suatu hal yang sejak tadi begitu mengganjal dalam pikirannya. Tidak sepenuhnya dan tidak secara rinci, tapi dia akan menanyakan hal yang serupa dengan masalahnya.

"Lurie…."

Pandangan Lurie kembali terarah pada Xandreas, menatap pria itu yang terlihat mulai menundukan kepalanya canggung seakan-akan apa yang ia lihat di bawah meja lebih menarik dari wajah cantik Lurie.

"Aku ingin bertanya sesuatu…." Sempat Xandreas menarik nafasnya dan berucap dalam pelan. "Menurutmu, bagaimana soal pembunuhan itu?"

Kedua mata Lurie sempat membola, terkejut dengan apa yang ditanyakan Xandreas. Ingin ia bertanya alasan mengapa Xandreas menanyakan hal demikian, tapi rasanya tidak sopan. Mungkin dia hanya ingin tahu pendapat Lurie saja. Jadi, tidak perlu musti bertanya balik lagi.

Lurie berpikir sejenak, bergelut dalam pikirannya, mencari jawaban yang tepat sesuai apa kata hatinya hingga ia menjawab, "Pembunuhan…. Pastinya itu hal tidak baik dan sangat dikutuk."

Xandreas semakin tertunduk lesu, rasa bersalah semakin dalam menyelimuti dirinya. Dia sudah menduga jawaban Lurie akan seperti ini.

"Tapi, tidak semua pembunuhan itu buruk."

Spontan manik emasnya menatap langsung wajah Lurie, heran sekaligus menuntut jawaban pasti akan ucapan Lurie yang terdengar… sulit dipercaya. Menurut gadis ini pembunuhan tidak buruk? Dari sisi mananya, itu yang membuat Xandreas penasaran.

"Hukum rimba sering mengharuskan beberapa jenis makhluk hidup untuk saling membunuh," jelas Lurie sambil memainkan lembaran bukunya di atas meja, "Misalnya, binatang jenis karnivora harus membunuh binatang lain demi bertahan hidup, atau binatang lainnya harus saling membunuh demi melindungi nyawa dan apa yang berharga bagi mereka."

Karena merasa sudah tak tertarik lagi dengan buku yang ia baca, Lurie menutupnya, mengelus halus permukaan sampul buku yang keras. Apa yang saat ini ia terangkan terasa lebih menarik untuk ia bahas bersama Xandreas.

"Ada saatnya pembunuhan itu dipandang sebagai hal yang perlu dilakukan." Lurie menyenderkan tubuhnya di sandaran kursi sambil bersedekap. "Aku yakin, para binatang itu memiliki hati nurani untuk tidak membunuh binatang lain. Tapi, karena nafsu dan keinginan untuk bertahan hiduplah yang mengharuskan mereka membunuh binatang lain. Jika mereka tidak melakukannya, maka tak ada harapan tuk bertahan hidup."

Xandreas bergeming di tempat, tak menyangka jika jawaban Lurie akan seperti ini. Gadis ini memiliki pandangan lebih luas dari apa yang ia kira. Tapi, jawaban seperti itu masih belum cukup membuat Xandreas merasa lebih tenang.

"Lalu, bagaimana dengan seseorang yang membunuh orang lain?"

Kini Lurie bingung harus menjawab apa. Dia terdiam cukup lama hingga Xandreas kembali melanjutkan pertanyaannya.

"Mungkin kau akan sulit mengambil persepsi dari pertanyaan sekilasku itu. Maksudku, bagaimana jika seseorang membunuh orang lain karena memang itu suatu keharusan? Apakah tindakan itu termasuk buruk dan patut dikutuk?"

Senyum kecil terukir di wajah Lurie, matanya terpejam sesaat meresapi apa yang dipertanyakan Xandreas. Pertanyaan ini cukup rumit bagi Lurie. Ia harus bisa menjawab dalam sisi-sisi dimana definisi ini tidak terkesan terlalu buruk atau terlalu baik untuk dijadikan jawaban.

"Seseorang membunuh orang lainnya, tentu hal tersebut sangatlah buruk karena tidak ada alasan pasti yang membuat pembunuhan itu dibolehkan."

Xandreas menyangga dagunya menggunakan punggung tangan, menatap lekat-lekat Lurie, bermaksud menunggu gadis itu menjawab pertanyaannya sampai selesai.

"Tapi, mungkin lain cerita kalau orang tersebut terpaksa melakukannya karena ingin melindungi diri."

"Tapi, bagaimana jika memang orang tersebut membunuh karena harus, bukan untuk melindungi diri?"

"Apakah orang itu menginginkannya?"

Xandreas kembali bergeming, mulai bingung harus merespon seperti apa pertanyaan balik Lurie. Lagi-lagi, kata-kata tak terduga terucap.

"Banyak kasus seseorang membunuh orang lain karena diharuskan. Ada beberapa sebab hal itu bisa terjadi, semisalnya jika itu tuntutan pekerjaan." Lurie mulai menjelaskan lebih tenang, "Pernah dengar tentang terduga pembunuh yang mengaku membunuh orang lain karena disuruh? Dia diharuskan membunuh oleh orang yang menyuruhnya. Jika tidak, maka orang yang menyuruhnya itu akan melakukan hal buruk padanya maupun pada keluarga dan kerabat terdekatnya."

Lurie menghela nafas sesaat hingga ia melanjutkan, "Apapun jenis pembunuhannya, tentu tidak diperbolehkan dan sangat buruk bagi orang-orang. Hanya ada beberapa sebab yang membuat mereka harus membunuh. Setiap makhluk hidup memiliki hati bersih, dan ada beberapa sebab pula yang membuat kepribadian mereka rusak. Tinggal pada diri kita sendiri, seperti apa menanggapi kerasnya dunia yang memang dibuat oleh masing-masing individu."

Mungkin hanya itu yang bisa dijawab oleh Lurie. Xandreas hargai itu. Dia bangga pada Lurie yang mampu menjawab dengan persepsi netral, padahal pertanyaan yang ia ajukan cukup menyulitkan bagi gadis remaja seperti Lurie.

Dan mungkin ini akan menjadi pertanyaan terakhir Xandreas sampai dirinya benar-benar mampu berpikir lebih tenang dalam menghadapi masalahnya.

"Lalu, jika seseorang telah terlanjur membunuh orang lain kemudian rasa penyesalan muncul ketika melihat keluarga dari orang yang ia bunuh bersedih, apa yang harus dia lakukan?"

Lagi-lagi Lurie terdiam demi memikirkan matang-matang apa yang akan ia jawab. Buku bacaan yang telah ditutup ia perhatikan sampulnya, sampul berwarna cokelat mendominasi dengan ilustrasi dan font tulisan yang terkesan membosankan. Perlahan tangan halusnya menyentuh sampul itu, merasakan kembali tekstur kerasnya dan sedikit kasar.

"Setidaknya, dengan munculnya rasa penyesalan telah membuat pintu pengampunan sedikit terbuka," jawab Lurie kemudian, "Dia menyadari bahwa apa yang telah ia lakukan itu salah. Maka berarti, masih ada sedikit hati nurani menerangkan jiwanya. Takkan ada pengampunan dari keluarga yang ditinggalkan, tapi dengan meminta maaf setulus hati akan sedikit membuat hati merasa lega. Soal dimaafkan atau tidak, itu tergantung pihak keluarga korban nanti."

Lurie menggelengkan kepalanya dengan senyum canggung terukir, memijat pelipis sambil berpikir bahwa ia tak menyangka menjelaskan hal demikian. Gadis itu tak yakin apakah penjelasannya membantu atau tidak, yang penting ia sudah memberikan jawaban semampunya pada Xandreas. Perasaan Lurie semakin canggung kala pria itu semakin lekat menatapnya lagi dalam diam.

"Ma-maaf…." Lurie menggaruk kepalanya canggung. "Kurasa, apa yang kujelaskan tadi kurang bisa dimengerti. Aku pun bingung apa yang sedang kukatakan. Itu semua keluar dari mulutku begitu saja."

"Tak apa…."

Sorot mata secemerlang emas berpoles menerawang lurus, mengukir senyum tipis di wajah sepucat kelabu kala mencerna setiap penjelasan gadis di hadapannya. Setidaknya, Xandreas bisa lebih tenang dari sebelumnya memikirkan masalah tentang pembunuhan ini.

Sejenak gadis muda ini terpana saat pertama kali melihat senyum itu, terlihat lebih tulus membuat sinar semangat kehidupan lebih terasa sebelum saat pertama kali melihat ekspresinya beberapa menit yang lalu.

"Lurie…."

"Eh?"

Kedua tangan itu menangkup tangan kecil Lurie, membuat sang gadis memekik terkejut. Bisa ia rasakan tangan pucat itu begitu dingin kala menggenggam tangannya, bahkan terasa bagaikan dasar air laut terdalam yang belum pernah tersentuh tanda-tanda kehidupan.

"Terima kasih atas jawabanmu," ucap Xandreas menatap langsung ke manik mata Lurie, "Iyaaa…. Walau mungkin jawabanmu masih belum bisa menuntaskan rasa penasaranku, setidaknya itu sudah cukup menenangkan hatiku. Sejak tadi, aku selalu terbayang-bayang akan masalahku sendiri. Dengan mendengar jawabanmu tadi, sudah cukup membuatku lebih tenang menghadapi segala masalah yang kelak akan semakin berdatangan."

Mulut mungilnya sedikit menganga, tak bisa mencerna apa yang dimaksud dari rangkaian ucapan terima kasih Xandreas. Tentang masalah seperti apa yang dihadapi Xandreas saat ini cukup membuatnya bertanya-tanya.

Xandreas memiliki masalahnya sendiri. Lalu, apa hubungannya tentang masalahnya dan pendapat Lurie soal pembunuhan?

Lurie menggeleng pelan, mengenyahkan perkiraan yang masih belum pasti, menerka-nerka masalah seperti apa yang dihadapi Xandreas. Apapun masalahnya, Lurie tak berhak untuk tahu jika Xandreas memang tidak ingin menceritakannya.

Iya, Lurie yakin jika Xandreas adalah tipikal pria yang sangat misterius.

Keduanya terdiam dalam sunyi, memperhatikan masing-masing tangan mereka masih saling menggenggam di atas meja. Lurie malu mengetahuinya, sedangkan Xandreas terlihat bingung, bertanya-tanya apa yang dia lakukan tadi.

Saat itulah, hawa-hawa dingin terasa memasuki dapur, bahkan terasa lebih dingin dari cuaca hujan di luar sana. Suara hujan lebat semakin terdengar menembus ruang, menambah suasana sunyi semakin mencekam di antara mereka berdua. Di dekat pintu masuk, kegelapan pekat menyelimuti semenjak Lurie memasuki dapur. Xandreas yakin, di dekat pintu itu bukanlah hal yang patut tuk ditakutkan. Tapi tetap saja cukup untuk membuat jantung meloncat saking tegangnya.

Sepasang mata memancarkan sinar merah dalam kegelapan, sebuah tangan menggenggam erat sisi pintu hingga temboknya retak. Suara gemuruh petir bersahutan, cahayanya menembus kaca jendela-jendela seisi rumah, menembus dapur dan lorongnya pula hingga sosok pemilik mata merah itu terlihat sekilas.

Raut wajah murka dengan tatapan menembus tulang hingga ke sel-sel tubuh, mematikan segala sistem saraf bagi siapa saja yang melihat sosoknya. Mengerikan, menatap nyalang ke arah Xandreas seakan-akan menginginkan nyawa pria berambut perak panjang itu untuk lenyap dari dunia.

Hampir Lurie terpekik kaget hingga ia tahu siapa sebenarnya sosok itu, kemudian ia hanya tertawa canggung. Begitu pula dengan Xandreas, menatap kemunculan horror sosok itu dengan begitu datar.

Itu Rethan, dan Xandreas tahu pria merah itu tengah cemburu berat di suasana, cuaca, dan waktu yang mendukung.

~*~*~*~