webnovel

Xandreas : Curse of Heaven

Xandreas, bagian dari malaikat Tanah Edenia yang terlahir dari sebuah kesalahan. Malaikat cacat yang tak mampu hidup sebaik para malaikat lain. Dia dibuang dari Edenia ke Inferna, dikurung di tanah neraka hingga hari penghakiman tiba. Dia membenci Edenia, tidak ingin terjebak dalam Inferna. Oleh karena itu, Xandreas berhasil meloloskan diri dari Neraka Inferna. Namun, sebagian tubuhnya akan membusuk jika berada lama di dunia. Cara satu-satunya Xandreas untuk bertahan hidup dan menyempurnakan kembali tubuhnya yaitu dengan memakan jiwa-jiwa makhluk hidup, terutama manusia. Xandreas yang malang. Xandreas yang malang.... Tak ada jalan pulang selain berhadapan pada bayangan yang menyapanya dengan seringai dalam kegelapan. ***** Xandreas : Curse of Heaven © Korona Noire FB : Korona N

Korona_Noire · Fantasy
Not enough ratings
9 Chs

Chapter IV (Penyesalan)

Di sinilah mereka sekarang, berjalan berkeliling di dalam sebuah pasar modern yang disebut mall. Begitu megah, luas, dan modern. Hal-hal yang sama sekali belum pernah Xandreas lihat sebelumnya. Banyak manusia di sekitar mereka berlalu-lalang memenuhi setiap area mall. Tempat ini pasti menjadi tempat paling favorit manusia, menurut Xandreas.

Ada sedikit rasa risih pada Xandreas ketika menyadari ia dan Rethan diperhatikan banyak orang yang lewat. Sebagian besar dari mereka menatap kagum Xandreas maupun Rethan. Keduanya memang terlihat tampan biarpun sama-sama berambut panjang bak seorang model fashion ternama, atau mungkin model saja kalah dari mereka.

"Rethan…," panggil Xandreas di sampingnya. "Kenapa banyak orang melihat ke arah kita?"

Spontan Rethan melihat sekeliling, menemukan beberapa orang menatap mereka, terutama kaum hawa.

Rethan menaikan bahunya sesaat. "Entah. Mungkin ada yang salah dengan penampilan kita. Ayolah…! Aku mengerti, fashion rambut panjang memang ketinggalan zaman. Tapi, tidak seharusnya kita jadi pusat perhatian, bukan?"

Xandreas sama sekali tidak mengerti maksud Rethan. Fashion? Ketinggalan zaman? Mungkin itu semacam bahasa tabu yang sulit dimengerti oleh orang seperti Xandreas.

"Tidak usah diperdulikan, Xan. Kita fokus saja mencari pakaian untukmu."

Mereka berdua tetap fokus berjalan tanpa peduli tatapan orang-orang pada mereka. Mereka sama sekali tidak peka jika orang-orang di mall kagum pada keduanya.

Xandreas dan Rethan berhenti di bagian penjualan pakaian khusus pria. Banyak sekali berbagai macam jenis pakaian pria lengkap tersedia di sana, jadi bingung mau memilih yang mana untuk dibeli. Kali ini keduanya berpisah. Rethan meminta Xandreas untuk mencari-cari pakaiannya sendiri, sedangkan dia melihat-lihat pakaian sekitarnya sambil menunggu Xandreas selesai memilih.

"Hmm…. Yang ini bagus juga," komentar Rethan ketika menemukan salah satu jas yang menarik, "Kalau aku beli, nanti mau dipakai buat apa? Kerja kantoran saja tidak."

"Rethan."

Jas tadi Rethan gantung kembali di barisan jas, lalu ia menoleh ketika namanya dipanggil. Betapa terkejutnya Rethan saat melihat setumpuk besar pakaian pria dibawa Xandreas, bahkan wajahnya hampir tidak terlihat saking banyaknya pakaian yang ia bawa.

"Xan, kau yakin ingin membeli semua pakaian itu?" tanya Rethan meyakinkan.

"Semuanya menarik. Jadi, kuambil."

"Iyaaa…, tapi tidak sebanyak itu juga. Aku tidak yakin jika uang yang ada saat ini cukup untuk membeli semuanya. Kau ambil saja beberapa yang menurutmu jauh lebih menarik dan pas. Aku akan tetap menunggu di sini."

Tanpa membalas apapun, Xandreas kembali pergi membawa tumpukan pakaiannya. Dia mengembalikan beberapa jenis pakaian ke tempat asal dan lebih teliti lagi memilih pakaian yang benar-benar cocok untuknya. Saat itu, pandangan Xandreas terarah pada setelan mantel hitam dengan ekor mantel yang begitu panjang, teksturnya terasa nyaman dan juga tidak berat.

Sangat mengaggumkan bagi Xandreas. Ia ingin mantel itu.

"Rethan."

Kini ia kembali pada Rethan, membawa lebih sedikit pakaian, termasuk mantel yang ia pilih tadi. Tanpa berkata-kata, Xandreas memperlihatkan mantel tersebut, menunjukan bahwa ia tertarik untuk membelinya.

"Kau bisa coba dulu di sana." Mengetahui maksud Xandreas, Rethan menunjuk ke arah ruang ganti yang tidak jauh dari mereka.

Xandreas pergi ke ruang ganti sambil membawa beberapa pakaian dan mantelnya. Dia sudah tidak sabar untuk mencoba pakaian bagus ini.

Beberapa saat Rethan menunggu sambil duduk di tempat duduk yang tersedia, akhirnya sosok Xandreas keluar dari ruang ganti. Dia terlihat begitu elegan dengan setelan mantel lengkap beserta kemeja, dasi, dan juga sarung tangan hitam, tak lupa dengan sepatu hitam mengkilat yang sempat dia ambil juga dibagian penjualan sepatu.

Rethan memang masih normal, justru saat ini dia sedang menyukai Lurie, tapi ia akui jika Xandreas terlihat benar-benar keren. Setelan mentel itu sungguh cocok untuk postur tubuh idealnya.

"Wo-wow, Bung…!" Rethan beranjak dari tempat duduknya, lalu menghampiri Xandreas. "Kau benar-benar cocok dengan mantel itu."

Xandreas senang dipuji begitu, tanpa sadar dia menggaruk pipinya. "Kalau begitu, aku ingin langsung memakainya saja."

"Hm? Sungguh?" ucap Rethan, "Kau yakin? Di luar cuacanya agak panas."

Xandreas hanya mengangguk, menandakan bahwa dia benar-benar ingin langsung memakai mantelnya sampai pulang nanti. Rethan hanya menghela nafasnya, berusaha memaklumi perilaku Xandreas yang terkesan pendiam itu.

"Baiklah. Kita bayar ke kasir dan langsung pulang saja."

~*~*~*~

Tak disangka cuaca langit yang awalnya cerah langsung mendung seketika. Gumpalan awan terlihat hitam pekat, cahaya mentari tak mampu menembusnya, udara sekitar pun terasa dingin, dan suara gemuruh guntur terdengar dari kejauhan. Mereka harus segera sampai di rumah kalau tidak ingin kehujanan. Sejenak Rethan sempat memikirkan keadaan Lurie, apakah gadis itu masih di sekolah atau sudah pulang. Ia jadi semakin mencemaskannya.

"Haaah…. Cuaca jadi semakin tidak bersahabat." Rethan menghela nafas, "Sebaiknya kita segera cepat sampai di rumah, Xan."

Langkah Xandreas terhenti ketika ia sampai di depan sebuah gerbang pemakaman umum. Melihat rombongan pelayat yang baru saja selesai memakamkan mayat seseorang. Fokusnya tidak terarah pada rombongan itu, tapi lebih tepatnya pada seorang wanita paruh baya yang tengah menangis di dekat kuburan.

Saat melihat wanita itu, ada perasaan aneh yang muncul dalam diri Xandreas. Perasaan yang familiar, perasaan dekat dengan wanita itu. Dia seperti pernah mengenalnya, tapi nyatanya tidak. Ada rasa rindu dan keraguan yang muncul sendiri dalam diri Xandreas tanpa sebab.

Perasaan itu seperti memintanya untuk menghampiri sang wanita.

Rethan sudah agak jauh di depan Xandreas. Ketika menyadari Xandreas tidak menyusulnya, ia menoleh dan memanggil-manggil Xandreas. Rethan mengikuti arah pandang Xandreas, merasa heran saat ia menyadari arah pandangnya fokus pada tempat pemakaman.

Dari awal bertemu sampai sekarang, Rethan sama sekali tidak mengerti jalan pikir Xandreas.

"Hei, Xandreas! Ayo, cepat! Sebentar lagi mau hujan! Eh?"

Rethan semakin dibuat lebih heran lagi saat Xandreas pergi memasuki area pemakaman tanpa mengatakan apapun padanya. Rethan kembali memanggil-manggil nama Xandreas, tapi tetap saja pria itu tidak menjawab.

"Haaah…. Dasar aneh!" gumam Rethan sambil memijit kepalanya. "Apa sih yang dia pikirkan?"

Area pemakaman yang luas ini terasa mencekam dan sepi, ditambah lagi dengan cuaca langit mendung dan hembusan angin dingin membuat area pemakaman terkesan gelap. Xandreas melangkahkan kakinya melewati kuburan-kuburan, mendekati romobongan pelayat yang baru saja selesai memakamkan seseorang.

Seperti dikendalikan tanpa kehendak Xandreas, tubuhnya dibawa menghampiri wanita paruh baya yang tengah menangis meratapi kematian orang terkasih. Xandreas berdiri di samping sang wanita, tak ada satupun yang curiga akan kehadirannya di sana. Xandreas dapat melihat dengan jelas tulisan yang tertulis di batu nisan, nama, nama orang tua, tanggal lahir, dan tanggal kematian.

Sayangnya, selain lupa berhitung, Xandreas juga sudah lupa cara membaca.

"Dia adalah pria yang baik semasa hidupnya."

Wanita itu mulai bicara sendiri dalam tangisnya. Xandreas yakin kalau sang wanita ingin mengeluarkan segala kesedihan dan keluh-kesah dengan menceritakan semua hal tentang sosok di bawah batu nisan ini.

"Suamiku, Morin…. Dia adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab. Keluarga kami banyak terbantu olehnya. Tapi…, Dewa berkehendak lain."

Soal Dewa, rasanya Xandreas enggan mendengarkan segala hal tentang makhluk yang paling berkuasa di alam semesta itu. Tapi, karena perasaan aneh ini memaksanya untuk mendengarkan segala cerita sang wanita, ia terpaksa mendengarkan.

"Baru tadi malam… saat dia pergi, hendak menemui kawannya di dekat pelabuhan. Dia dibunuh begitu saja."

Seketika Xandreas agak terkejut, menyadari akan suatu hal tentang suami wanita ini. Tentang pria yang dibunuh tadi malam di dekat pelabuhan. Tanpa Xandreas sadari, ia menyentuh dadanya sendiri, merasakan rasa sedih dan sakit yang sebenarnya bukan berasal dari dirinya. Lalu, perasaan ini dari siapa? Milik siapa?

"Polisi masih menyelidiki siapa pembunuhnya." Wanita itu menyeka air matanya. "Aku tidak tahu apa yang diinginkan sang pembunuh dari suamiku. Semua barang-barang yang dia bawa juga masih ada. Apakah mungkin dia orang yang membenci suamiku? Lalu, kenapa…?"

Rasa penyesalan timbul dalam diri Xandreas. Wanita ini begitu sedih kehilangan suaminya, Xandreas kagum melihat wanita itu tetap bisa tersenyum dalam kesedihan walau dipaksakan.

"Aku… turut berduka cita atas kematian suamimu."

Perkataan Xandreas membuat wanita itu menoleh padanya, sempat kebingungan akan kehadiran Xandreas. Dia sama sekali tidak mengenali siapa pria berambut perak panjang ini. Dia berusaha berpikir positif kalau mungkin pria ini adalah rekan suaminya. Memang sampai sekarang wanita itu masih belum kenal dengan rekan-rekan bisnis Morin yang terbilang banyak.

"Pasti sangat berat kehilangan seseorang yang kau kasihi," ucap Xandreas, memandang langsung ke arah sang wanita.

Sekilas wanita itu tersenyum padanya, lalu kembali memperhatikan kuburan sang suami. "Memang berat. Tapi, mau bagaimana lagi? Ini sudah takdir Dewa. Aku tak bisa membantah apapun. Aku hanya bisa berharap agar jiwa suamiku bisa tenang di Edenia."

Tenang di Edenia…. Xandreas takkan pernah yakin akan hal itu. Dia sudah pernah melihat sifat asli penduduk Edenia. Siapapun yang ingin pergi ke tanah surga yang dijanjikan tersebut, mungkin harus berpikir lebih dari dua kali.

Xandreas sudah terlanjur benci dengan kampung halamannya.

….

Syukurlah, hari masih belum hujan walau awan mendung semakin tebal menggumpal di langit disertai guntur yang makin keras. Selama Xandreas di pemakaman, Rethan hanya bisa bersender di samping gerbang menunggu Xandreas. Tak berapa lama, akhirnya batang hidung sosok menyebalkan bagi Rethan itu keluar juga. Tanpa peduli raut wajah Xandreas yang terlihat muram, Rethan sudah merecokinya dengan omelan.

"Hei! Kenapa lama sekali, hah? Apa yang kau lakukan di sana? Buang-buang waktu saja. Kita harus segera pulang! Sebentar lagi hujan turun. Aku juga harus memastikan apakah Lurie sudah pulang atau belum. Dan—."

"Suami wanita itu…."

"Eh?"

Omelan Rethan langsung terhenti saat mendengar ucapan aneh Xandreas. Rethan berpikir, mungkin yang dimaksud adalah orang yang dimakamkan di sana. Lantas, kenapa Xandreas semuram ini? Ia jadi penasaran.

"Suami wanita itu… adalah pria yang tadi malam kubunuh."

Petir menyambar begitu keras disertai kilatannya yang menyilaukan dan suara guntur memekakan pendengaran. Rintik-rintik hujan menyusul kemudian bersama sambaran-sambaran petir lainnya di langit berawan kelabu. Setitik demi setitik hujan mulai membasahi sekitar, menyentuh pula pada tubuh jangkung pria berambut perak yang terlihat tertunduk muram. Mata merah Rethan memperhatikan setiap bahasa tubuh pria itu, bahu yang bergetar dan tangan terkepal erat.

Ia tahu jika Xandreas tengah berusaha menahan rasa sedih dan penyesalan yang teramat mendalam.

~*~*~*~

Salah satu jembatan besar menuju pelabuhan pantai saat ini cukup dipadati para pengendara yang ingin cepat-cepat sampai di tujuan sebelum hujan deras turun. Kedua gadis berseragam SMA terlihat berjalan menuruni jembatan tersebut, satunya berambut panjang ikal dengan poni tebal dan satunya lagi berambut pendek hitam kebiruan dengan dandanan Emo.

"Wah! Sebentar lagi bakal hujan besar," ucap gadis Emo itu sambil melihat langit yang didominasi oleh awan pekat kelabu, "Harus cepat-cepat pulang, Lurie. Ibuku pasti sangat mencemaskanku."

"Aku juga takut kena omel Rethan, Ania," balas Lurie sambil tersenyum seperti biasanya.

Saat mereka berhasil melewati jembatan dan hendak menuju pelabuhan, pandangan Ania tertarik pada seorang wanita yang berada di depan villa tua dekat jembatan. Seperti hari-hari sebelumnya, setiap kali mereka pulang sekolah melewati villa ini pasti wanita dengan pakaian compang-camping dan rambut acakan terlihat berkeliaran di sana.

Yang membuat Ania heran adalah sesuatu yang berada dalam gendongan wanita itu.

"Hei, Lurie…." Ania menyenggol sedikit Lurie. "Kau lihat wanita aneh itu?"

Pandangan Lurie juga ikut menatap ke arah sang wanita. Lurie ingat rumor warga sekitar kalau wanita itu tengah mengalami gangguan jiwa, setiap hari berteriak mencari-cari anak bayinya yang telah lama hilang. Mungkin wanita itu depresi karena kehilangan bayinya dalam suatu kecelakaan.

Lalu, kenapa Ania yang biasanya cuek terhadap wanita itu terlihat penasaran?

"Sudahlah, Ania. Tidak baik mungungkit-ungkit masalah wanita itu," nasihat Lurie pada Ania.

"Bukan begitu, Rie…. Aku hanya bingung dengan benda yang digendongnya. Biasanya 'kan dia tidak membawa apapun dan selalu berteriak mencari anaknya. Tapi, apa yang kulihat sekarang? Dia terlihat menggendong benda itu sambil tersenyum seakan-akan yang digendongnya adalah bayi."

Lurie baru menyadari jika si wanita tengah menggendong sesuatu. Kurang jelas terlihat apa yang digendong karena tertutupi oleh kain lusuh.

"Mungkin itu cuma boneka yang baru saja dia temukan, terus dia anggap sebagai anaknya," Lurie mengira.

Ania kembali memperhatikan lebih teliti apa yang digendong wanita tersebut. Bagaimanapun juga, rasanya cukup mencurigakan jika tiba-tiba wanita yang biasanya teriak mencari anak langsung tersenyum begitu.

Kedua mata cokelatnya semakin fokus saat menemukan celah kain yang menutupi benda itu, mengintip dari kejauhan apa yang berada di baliknya.

Suatu titik merah menyala di antara kegelapan

Menyeringai lebar, menyapa Ania dengan rasa kebencian!

"Akh!"

Sontak Ania kaget melihatnya, bingung dengan mahkluk apa yang berada di dalam gendongan sang wanita. Yang jelas, makhluk itu adalah makhluk yang sangat buruk. Buru-buru Ania meraih tangan Lurie lalu membawanya pergi lebih jauh. Yang ditarik sempat heran dengan perubahan perilaku sahabatnya dari yang awalnya penasaran jadi ketakutan seperti ini.

"He-hei! Ada apa, Ania?"

"Kita harus cepat pulang, Lurie! Hujan sudah mulai turun!"

~*~*~*~