webnovel

RAHASIA LUKISAN TELANJANG

"Betul."

"Bagus sekali! Kuharap pada tanggal satu bulan muka

lukisan itu harus kau bawa ke Gunung Sumpang dan

menyerahkannya padaku! Kau dengar?"

"Tentu saja dengar. Tapi menyesal sobat, lukisan ini tak

bisa kuberikan pada siapa-siapa!"

"Aku tak perduli!" sentak si perempuan bongkok.

"Umurmu memang kulihat sudah lanjut! Tapi tentu kau tak

ingin buru-buru mampus! Karenanya jangan banyak mulut!

Lukisan ini harus kau bawa ke Gunung Sumpang pada

tanggal satu bulan di muka!"

"Tidak mungkin!"

"Kau membantah?!"

Orang tua berbadan kurus gelengkan kepala.

"Jangankan diminta, dibeli pun aku tidak sudi!"

"Kalau begitu kau ingin cepat-cepat mati!"

"Sobat, Iblis Gemuk meminta lukisan ini. Aku tidak

berikan. Adipati Pamekasan berniat membelinya dua ratus

ringgit, aku tidak jual. Sekarang kau juga menghendakinya.

Tetap saja aku tak bisa memberikan!"

"Kalau begitu kau berikanlah nyawamu!" sahut si

perempuan tua seraya mundur satu langkah dan siap-siap

untuk kirimkan satu pukulan.

"Tahan dulu sobat!" ujar si orang tua berbadan kurus.

"Sesungguhnya ada apakah hingga kau begitu

menginginkan lukisan itu?!"

"Itu kau tak perlu tanya! Aku mau lukisanmu habis per–

kara! Ayo, kau mau serahkan apa tidak?!"

"Lucu! Sungguh lucu!"

"Apa yang lucu?!" sentak si perempuan bungkuk

bermuka keriput.

"Lukisan begini rupa banyak orang yang meng–

inginkannya, apa itu bukan lucu?!"

"Orang tua, jangan kau banyak cingcong. Lekas serah–

kan lukisan itu kalau tidak nasibmu akan seperti ini!" Habis berkata begitu perempuan tersebut pukulkan tangan

kirinya ke arah batu di atas mana Wiro Sableng duduk

sembunyi sejak tadi!

Byur!

Sekali pukul saja maka hancurlah bagian dasar batu

besar yang tinggi itu. Bagian atasnya laksana pohon

tumbang, rubuh ke bawah dan menggelinding ke dalam

jurang dengan suara menggemuruh. Wiro sendiri begitu

merasa bagian bawah batu hancur segera melesat dan

berpindah ke puncak batu yang lain!

Si orang tua tarik nafas panjang-panjang dan geleng-

gelengkan kepala. "Pukulan yang bagus luar biasa! Puku–

lan yang hebat!" katanya memuji. Kemudian dipandanginya

paras perempuan di hadapannya. "Sungguh mataku yang

telah tua ini tidak bisa mengenali orang! Mulanya aku

masih bersangsi, tapi melihat pukulan Penghancur Baja

yang kau lepaskan itu tadi kini aku yakin bahwa aku betul-

betul berhadapan dengan Nenek Rambut Putih yang

terkenal itu!"

Jika si orang tua kenali nama gelarannya ini tidak

mengherankan si perempuan bungkuk berambut putih.

Tapi adalah membuat dia diam-diam merasa kaget sewak–

Ztu si orang tua mengetahui nama pukulan yang tadi

dilepaskannya!

"Kalau kau sudah tahu tingginya langit luasnya lautan,

apakah kau masih banyak cerewet tak mau serahkan

lukisan itu?!"

"Langit memang tinggi, laut memang luas! Tapi apakah

semua itu dapat melebihi tinggi dan luasnya budi manusia

yang berhati luhur?"

Terkejut Nenek Rambut Putih mendengar ucapan itu.

"Lekas beri tahu siapa kau!" sentaknya.

Si orang tua geleng-gelengkan kepala.

"Manusia tetap manusia sekalipun dia punya seribu

nama! Manusia tak perlu agul-agulkan nama terhadap

sesama manusia. Karena dia dilahirkan tiada bernama...!"

"Cacing kurus! Aku tak punya waktu lama! Terpaksa lukisan itu kuambil sekarang juga!" kata Nenek Rambut

Putih. Habis berkata demikian laksana kilat dia melompat

menyambar lukisan perempuan telanjang yang tersandar di

batu.

Namun mendadak sontak perempuan tua itu

merasakan lengan kanannya nyeri seperti orang

kesemutan! Ternyata si orang tua telah melepaskan satu

sentilan ujung jari ke arahnya!

"Jadi kau punya ilmu yang diandalkan hah?!" lengking

Nenek Rambut Putih. Tanpa sungkan-sungkan lagi dia

segera menyerang. Maka untuk kesekian kalinya di jalan

menikung yang sempit itu terjadi lagi pertempuran. Kini

lebih seru dari pertempuran antara si orang tua dengan

Iblis Gemuk sebelumnya. Sepuluh jurus berlalu sangat

cepat. Tubuh kedua orang yang bertempur boleh dikatakan

lenyap berubah menjadi bayang-bayang. Batu-batu kerikil

berhamburan, debu jalanan beterbangan.

Wiro Sableng memperhatikan dengan mata tak berke–

dip. Nenek Rambut Putih gerakannya sangat gesit. Setiap

pukulan atau tendangan yang dilancarkannya hebat luar

biasa serta mendatangkan angin yang bersiuran. Tapi

lawannya juga tak kalah hebat, malah sesudah lewat

sepuluh jurus Nenek Rambut Putih berhasil didesaknya ke

tepi jurang!

"Perempuan tua, jika kau tak mau tinggalkan tempat ini

secara baik-baik pasti riwayatmu akan tamat di dasar

jurang sana!"

Nenek Rambut Putih kertakan rahang-rahangnya. Dia

melompat ke sebuah batu datar dan dari sini lancarkan

satu tendangan ganas. Lawannya berkelit gesit ke sam–

ping. Akibatnya tendangan itu melanda sebuah batu di

hadapan Nenek Rambut Putih. Batu itu hancur berkeping-

keping! Si orang tua badan jerangkong terkejut melihat hal

ini. Rupa-rupanya lawan benar-benar inginkan jiwanya.

Maka segera dirubah permainan silatnya. Dalam sekejap

saja tubuhnya lenyap dan membuat Nenek Rambut Putih

kebingungan sendiri!

Bret!

Si nenek tersurut mundur. Pakaiannya di pinggang

robek besar dan kulit badannya terasa dingin sedang di

hadapannya manusia yang menjadi lawannya tertawa-tawa

dan menegur, "Kita tak ada permusuhan. Sebaiknya lekas

tinggalkan tempat ini!"

Tenggorokan Nenek Rambut Putih kelihatan turun naik.

Kegemasan nyata sekali terlihat pada parasnya yang tua

keriputan. Dia menyadari bahwa manusia itu bukan tan–

dingannya. Meski demikian untuk menutupi rasa malunya,

Nenek Rambut Putih berkata, "Sayang aku tengah mencari

dua orang sahabatku. Kalau tidak, sampai seribu jurus pun

aku akan ladeni kau."

Si orang tua ganda tertawa.

"Permusuhan tanpa alasan bisa dicari," sahutnya

"Berlalulah...!"

"Tanggal satu di bulan muka lukisan itu harus sudah

kau sampaikan ke Gunung Sumpang! Kalau tidak aku dan

kawan-kawan tak akan memberi ampun padamu, orang

tua!"

"Aku tidak punya kesalahan apa-apa padamu. Perlu apa

minta-minta ampun segala?!" menyahuti si orang tua. Tapi

Nenek Rambut Putih telah berkelebat dan menghilang dari

tempat itu!

Baru saja Nenek Rambut Putih lenyap di balik tikungan

sebelah kanan, maka dari tikungan sebelah kiri terdengar

seruan nyaring, "Orang tua keparat! Aku datang untuk

menagih jiwamu!"