webnovel

pihak dari sebuah perusahaan

"Kakak mau ke mana? Ini hari Minggu kan?" Setengah senang sekaligus terkejut saat Fero melihat Luna yang sudah bersiap dengan pakaian rapi pada pukul 8.23.

Dia kira Luna sedang tak ingin pergi ke manapun saat itu, sama seperti dua hari yang lalu saat gadis itu berteriak mengalami mimpi buruk tentang ibu mereka. Namun Sepertinya hari ini Luna sudah mulai lebih baik dibansing dengan hari-hari kemarin. Adiknya sendiri bisa menduga ke mana kakaknya akan berangkat pagi ini.

"Aku harus menyelesaikan hal yang belum terselesaikan. Sudah dua minggu terbengkalai. Aku masih mau mempertahankan bisnis kita, Nak."

Mata adiknya tampak berbinar. Mendengar kalimat jawaban tersebut. "Benarkah? Jadi kau sudah sehat ya Kak?"

"Ya. Terima kasih untuk dukungan kalian semua." Luna tersenyum tipis. "Aku sudah sedikit lebih baik. Biarkan aku mengemudi sendiri. Kau dan Fioni hati-hati di rumah."

"Siap Kak!"

Setelah mengacak rambut si adik dan melambaikan tangan, Luna beranjak ke luar rumah. Dia berhenti sejenak di teras rumah, memandangi pepohonan sejuk nan asri yang tumbuh di sekitar kompleks perumahan. Matanya menatap langit pagi yang cerah. Lantas tak lama segera menuju garasi mobil dan melajukan kendaraan tersebut menuju ibu kota.

Namun, pada saat weekend seperti ini, Luna harus memilih beberapa alternatif jalan menuju ke tempat restoran miliknya berada, karena hari ini berlaku hari bebas kendaraan alias Car Free Day (CFD) yang sudah cukup lama dicanangkan oleh pemerintah ibu kota.

Luna melihat sekelompok orang yang tengah berkerumun saat kendaraannya hampir beberapa meter lagi menuju tempat yang dia tuju. Sebenarnya dia tidak tertarik untuk memperhatikan mereka, namun ocehan yang keluar dari mulut orang-orang yang usianya kira-kira tiga puluh tahunan ke bawah itu cukup membuatnya untuk ingin melambatkan laju mobil.

"Restoran itu? Maksudmu yang seafood itu kan?"

Salah seorang pria di antara mereka menunjuk ke arah restoran milik Luna.

"Iya, hampir bangkrut kan? Kabarnya karena ada karyawan yang menyelewengkan dana si restoran. Di bawa kabur!"

"Astaga. Mengerikan sekali. Apa pemiliknya memang bodoh ya? Bisa mempercayakan keuangan pada orang lain? Padahal soal uang, kita tidak boleh mudah percaya."

Satu teman wanita menyahut. "Itulah sebabnya kenapa kau tidak boleh mudah percaya sekalipun pada orang yang sudah sangat kau percayai. Apalagi soal uang. Manusia bisa berubah karena uang!"

Luna sudah tak lagi mendengarkan ocehan orang-orang tersebut. Dia mempercepat mobilnya memasuki halaman depan restoran dengan bangun minasi cat merah. Dia belum siap mendengar kata-kata negatif dari siapapun saat ini karena sangat jelas itu akan mempengaruhi suasana perasaan mengingat keadaan dirinya pun yang sedang dalam kondisi kurang baik. Dia tengah mengalami luka karena beberapa musibah.

Beberapa waiter dan waitress menyapa saat Luna memasuki pintu depan restoran. Yang sudah akrab berbicara agak lama sembari menanyakan atasan mereka yang seolah menghilang selama dua minggu. Karena sejak kasus yang menimpa bisnis restorannya bergulir, Luna biasanya datang hampir setiap hari ke Jakarta. Namun saat mendiang Alinea sang ibu meninggal, dia tidak terlihat sehari pun di sana. Itu cukup membuat khawatir karena bahkan Luna hampir tidak pernah menjawab pesan dari karyawan atau kolega kerjanya.

"Bu Luna? Ibu sehat?"

Emili, wanita si kepala koki restoran menyapa dengan sumringah seperti biasanya saat Luna hampir memasuki area dapur. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu dengan antusias mendekati atasannya. Dia juga adalah salah satu karyawan yang memiliki hubungan cukup dekat dengan Luna. Seperti saudara, juga memiliki loyalitas dan performa kerja yang sangat baik. Sebagai orang yang telah bekerja di restoran milik Luna selama bertahun-tahun, wanita itu sangat bisa diandalkan dan menjadi salah satu pemimpin di cabang kota Jakarta.

"Ah, aku tidak baik-baik saja, Bu. Banyak yang terjadi dan itu cukup berat." Luna menjawab dengan suara pelan. Seperti biasa, dia tidak akan merasa sungkan bercerita pada orang seperti Emili. Apalagi Emili juga sudah tahu soal kabar kematian ibunda Luna.

Luna memang sengaja tidak terlalu membesarkan kabar duka tersebut pada lingkungan pekerjaannya. Kabar tersebut justru hanya dia sebarkan pada kerabat dan saudara terdekat. Bahkan teman-teman Luna pun hanya sedikit yang tahu. Itu pun bukan dari Luna secara langsung melainkan lewat pihak lain.

"Saya tahu ini tidak mudah."

"Ya, memang. Boleh kita berbicara sebentar? Aku ingin mengobrol sedikit denganmu, Bu."

"Tentu. Saya bersedia. Silakan." Emili lantas masuk sebentar ke area dapur untuk meminta rekannya menangani sejenak tugasnya.

Mereka lalu duduk di salah satu meja terdekat di antara para pelanggan yang belum terlalu ramai. Sebenarnya mereka tidak duduk di atas kursi, melainkan sebuah tikar dari anyaman yang khas yang di atasnya terdapat meja kayu berwarna cokelat muda. Luna memang sengaja menciptakan konsep tradisional zaman lampau pada restoran miliknya. Bangunan yang sebagian besar didominasi oleh kayu dan sebagian bata merah tanpa dilapisi lagi bagian luarnya. Peralatan makan dan minum dari kayu dan beberapa dari anyaman bambu. Selain itu, dia juga membuat suasana alam mini di bagian belakang restoran serta beberapa di bagian depan.

Dia menaruh kolam berisi ikan mas dengan pepohon serta kerikil di sekitarnya. Sementara di bagian depan, dia menghiasinya dengan pohon model bonsai besar yang berjumlah beberapa. Itu semua agar tempat usahanya tampak sejuk di tengah padatnya hiruk pikuk kota Jakarta.

Emili memesankan sepiring ikan tuna berbumbu pedas ditemani segelas lemonade segar. Namun karena Luna tidak ingin makan sendirian, akhirnya Emili pun ikut memesan menu berbeda untuk dirinya sendiri. Mereka makan sambil berbicara seperti biasa. Tentu saja Luna yang akan membayar semuanya. Tidak ada makanan gratis di sana saat ini meski untuk si pemilik restoran, mengingat Luna sadar dengan keadaan bisnisnya yang hampir hancur.

"Dua minggu yang lalu, aku menerima sebuah email dari orang yang tidak menyebutkan namanya. Aku saat hendak menanggapi. Namun email itu berisi tentang dia yang ingin membantuku mengatasi masalah bisnis ini. Dia menawarkan sejumlah dana namun dengan syarat."

Beberapa menit setelah mencicip makanan yang dihidangkan, Luna langsung membicarakan hal yang ingin dia ceritakan. Tanpa basa-basi ataupun semacam tetek-bengeknya. Memang seperti itulah gayanya berbicara kepada Emili, jika memang dirasa tidak memerlukan basa-basi. Lagipula, dia sudah ingin meminta pendapat dari seseorang mengenai email yang dikirimkan padanya oleh entah siapa itu beberapa waktu lalu.

"Lalu, syaratnya apa?" Tanya Emili yang langsung memasang wajah serius. Dia tahu ini bukan pembicaraan yang cukup ringan, bahkan sedikitpun tidak. Padahal dia mengira atasannya hanya ingin berkeluh kesah mengenai beban yang dihadapi. Nyatanya dia salah.

"Dia tidak menyebutkannya di email itu. Hanya memintaku datang ke sebuah alamat di kota ini, untuk pendiskusian tawaran katanya. Jelas saja aku bingung menanggapinya. Aku ragu. Jangan-jangan si pengirim email itu adalah orang iseng. Atau ... bisa saja orang berniat tak baik. Tapi kau tahu kan, kalau bisnisku butuh bantuan dana segera?"

Emilia mengangguk. "Saya paham. Tentunya kita tidak boleh sembarangan menanggapi surat seperti itu. Terlalu beresiko. Tapi, saya juga ingin sekalian mengabarkan bahwa kemarin ada orang yang datang ke sini dan menanyakan tentang Ibu Luna. Dia bilang dia adalah utusan dari pihak Santoso Furniture, salah satu perusahaan furnitur di kota ini. Yang datang dua orang, bilang mereka ingin bertemu dengan Ibu Luna. Saya dan para karyawan lain jelas berhati-hati meski kami mengenal nama perusahaan mereka. Kami bilang Ibu sedang tidak bisa dihubungi dan mereka tidak protes atau mengatakan apapun lagi, langsung pergi."

Luna tertegun karena nama perusahaan yang disebut oleh Emilia barusan. Apakah mungkin ini ada hubungannya dengan email tanpa nama si pengirim yang dia terima malam itu?