webnovel

When Love Defeated Your Revenge

Devan Naraya, tidak pernah berpikir bahwa niatnya untuk membalas dendam pada keluarga yang telah menelantarkannya selama ini, berujung pada perasaan cinta. Perasaan asing yang selama ini tak pernah ia dapat. Akankah cinta mampu membuat Devan melupakan dendamnya?

Olil_Lia · 若者
レビュー数が足りません
12 Chs

Rindu tak Ingin Bersua

Sambil berjalan gontai, Airin mengembuskan napas gusar. Emosinya seakan sudah berada di ubun-ubun sekarang. Tak dapat dibendungnya lagi.

"Sabar, Rin."

"Gimana bisa sabar coba, Na? Dia sita hape aku! Gimana kalo Ibuk nelpon, terus bingung dia karena suaranya bukan suara orang yang dikenal? Emang dasar ya itu orang kaya sialan!" Sekali lagi Airin mengumpat.

Sambil mengusap punggung sahabat sekaligus rekan kerjanya, Nina coba menenangkan. Memberikan kalimat kalimat motivatif yang sebenarnya tidak Airin butuhkan sama sekali.

"Anggap aja ini bagian dari takdir, ketika Tuhan mempertemukan kamu dengan cowok kaya, ganteng, idaman para wanita."

Nina mengucapkan kalimat itu dengan sorot mata yang berbinar. Semakin membuat Airin jijik.

"Najis, amit-amit, ya... Biarpun dia kaya, seujung kuku pun aku nggak ada minat sama dia. Terus apa tadi kamu bilang, Na? Ganteng? Cih! Cowok tinggi kaku macam tiang listrik begitu kamu bilang ganteng? Hh... Seleramu, Na, Na, nggak nyangka aku serendah itu." Celoteh Airin tak terima teman karibnya justru memuji muji orang yang setengah mati saat ini ia benci.

"Kayaknya, itu orang sengaja deh, Rin cari cari kesempatan buat deketin kamu," ujar Ryan yang saat itu ikut bersama mereka, coba mengemukakan pendapat.

"Ini lagi, otaknya geser kali, ya? Buat apa sih cowok tajir melintir tapi edan begitu ngedekitin cewek miskin, biasa aja kayak aku gini?" Sanggah Airin dan dibalas anggukan tanda setuju oleh Nina.

"Setuju. Ngapain cowok sekeren Devan, mau ngedeketin cewek galak mirip preman macam temen kita ini? Yang bener aja kamu, Yan."

Nina terkikik menahan tawa meskipun dihadiahi toyoran oleh Airin.

"Ya, siapa tahu aja kan, ya? Aneh sih dari gelagat dia yang tiba-tiba nyita hape yang bisa dibilang barang penting buat orang-orang perantauan seperti kita, cuma karena hal sepele gitu? Aneh nggak sih menurut kalian? Kayak, disengaja gitu kan?"

"Aneh nggak aneh juga, sih. Karena emang hape buat orang sibuk kayak dia itu pasti alat yang penting banget buat komunikasi buat kelancaran bisnisnya. Tapi emang rada aneh juga, ngapain dia buang buang waktu ngejar aku buat ganti rugi, bukannya beli baru terus udah. Lagi pula dia kan kenalannya pak Banyu, tahu lah dia aku nggak akan bisa kabur kemana mana. Ngapain juga dia harus sita sita hape segala."

Ketiganya kini tengah berjalan santai menuju pertigaan jalan di dekat sebuah pabrik yang biasa di sana banyak bajaj yang parkir menunggu penumpang.

Malam ini mereka pulang cukup larut akibat ada seorang tamu yang membooking kafe tempat mereka bekerja sebagai lokasi perayaan ulang tahun, dan baru saja berakhir pukul satu dini hari.

"Iya, itu yang aku bilang, Rin. Dia sita hape kamu biar kalau kamu butuh buat hubungin keluarga kamu, kamu bakal datengin dia. Gitu konsepnya." Ryan masih bersikukuh dengan pendapatnya.

"Yee... Ini orang, ya. Masih aja suudzon sama Devan. Kenapa kali, cemburu, ya?" Balas Nina seolah tak terima cowok idamannya dijadikan bahan prasangka buruk kedua temannya.

"Lho, kok jadi kamu yang nggak terima, Na? Sampe ngatain aku cemburu segala. Ngawur kamu, tuh!"

"Kamu duluan yang bicara ngawur soal Devan!"

"Naksir kamu ya sama dia? Sampe belain segitunya!"

"Kalo iya, kenapa? Emang pantes kok orang kayak dia ditaksirin."

Di jalanan ibukota yang tetap ramai meski sudah lewat tengah malam, keduanya terlibat percekcokan, membuat Airin di tengahnya semakin merasa pusing.

"Udah, deh, nggak usah debat gitu. Kok malah jadi kalian sih yang repot?" Airin coba menengahi.

"Ini nih, biang keroknya, si cowok ganjen."

"Eh, lha kok malah ngatain?"

"Emang iya, kok!"

Untungnya Ryan bukanlah sosok lelaki pada umumnya, kelakuannya cenderung seperti perempuan yang lebih mengandalkan mulut untuk bertengkar, bukan otot layaknya lelaki kebanyakan.

"Lagian kamu ini, Na. Alasan kamu nuduh Ryan cemburu itu nggak berdasar banget tau, nggak? Masa cowok lembek kayak gini ada rasa sih buat aku. Iya, nggak, Yan?"

Sejenak Ryan diam tak menanggapi rentetan Kalimat yang dilemparkan Airin padanya, sebelum akhirnya dia mengangguk meskipun pelan dan hampir tak terlihat gerakannya.

"Tuh, Na. Udah ya. Jangan nuduh Ryan yang macem macem. Dia anak baik lho."

Seperti Ryan, mendadak Nina jadi diam seribu bahasa.

Hanya menimpali ucapan Airin dengan kalimat singkat dan sebuah anggukan.

"Oke, deh. Enggak lagi."

"Nah, gitu, dong. Ayuk, ah cepetin jalannya. Aku udah capek banget nih kakinya pengen cepet-cepet selonjoran," ajak Airin penuh semangat sambil menggandeng dua rekan kerjanya. Tak menyadari mimik muka yang berubah baik milik Ryan maupun Nina.

***

Devan tersenyum senang. Usahanya untuk mendekati Airin nyaris berhasil. Dia hanya perlu terus memepet dan masuk dalam dunianya agar dapat segera merebut hati Airin.

Devan percaya, seberapapun Airin berusaha untuk terlihat tak tersentuh, ia tetap wanita yang hatinya akan luluh jika terus menerus dicurahi perhatian.

"Liat aja, kurang dari tiga bulan lo pasti bakalan jatuh cinta dan bertekuk lutut di hadapan gue!"

Seharusnya setelah mengucapkan kalimat itu, Devan akan merayakannya dengan tawa tanda kemenangan. Sayangnya ponsel mini milik Airin bergetar, pertanda ada sebuah panggilan masuk.

Di layarnya, tertulis sebuah nama 'My LovEmak'.

Seketika tubuh Devan bergetar, hatinya bergejolak menahan rasa yang entah harus dinamai apa.

Dilemparnya ponsel itu ke seat belakang, kemudian menyetel keras keras radio dalam mobilnya untuk mengalihkan perhatian.

Namun sayang, bukan berhenti dering itu justru semakin mengusik Devan membuatnya tak tahan dan pada akhirnya kembali memungut ponsel itu dari jok belakang.

Hatinya bergetar.

Kebencian itu terlalu dalam. Tapi tak bisa dipungkirinya pula, bahwa dalam lubuk hati terkecilnya ada perasaan rindu. Rindu ingin mendengar suara wanita itu.

Meski dengan hati juga tangan yang gemetar, Devan memencet tombol hijau pada layar ponsel.

Tak lama sebuah suara yang dari seseorang yang tak pernah ia jumpai wajah nya, namun amat dirindui suaranya itu terdengar.

"Halo... Nduk? Kamu kemana aja, toh? Dari kemarin kok nggak telpon ibu, tumbenan. Ada apa, toh, Nduk? Kamu baik kan di Jakarta?"

Ada nada khawatir di sana. Kekhawatiran yang jelas semakin membuat hati Devan teriris.

Apakah wanita itu juga mengkhawatirkan nya sama seperti dia mengkhawatirkan Arini?

"Nduk? Arini? Kok diem wae, Nduk?"

Devan hanya diam, mendengarkan. Mulutnya terlalu kelu untuk berbicara.

Tak lama, sosok wanita di sebrang berbicara dengan orang lain di sana.

Mempertanyakan mengapa Airin hanya diam.

Setelah bersusah payah mengumpulkan keberanian, akhirnya Devan bisa juga menggerakkan pita suaranya.

"Maaf, salah sambung."

Akhirnya tetes tetes air itu tak dapat dibendungnya lagi setelah ia memutus panggilan.

Ada banyak kata yang ingin ia ucapkan, tapi hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya.

Hatinya pilu menahan rindu.

Namun juga benci dengan yang mereka perbuat terhadapnya dulu.

Bagaimana seorang yang seharusnya menjadi pelindung, justru tega membuang anak kandungnya sendiri?