webnovel

When Love Defeated Your Revenge

Devan Naraya, tidak pernah berpikir bahwa niatnya untuk membalas dendam pada keluarga yang telah menelantarkannya selama ini, berujung pada perasaan cinta. Perasaan asing yang selama ini tak pernah ia dapat. Akankah cinta mampu membuat Devan melupakan dendamnya?

Olil_Lia · 若者
レビュー数が足りません
12 Chs

Mungkinkah Mimpi?

Masih dengan piyama motif bulan bintang kesukaannya, Airin berjalan gontai menuju kamar mandi. Hidupnya sudah seperti kalong saja akhir-akhir ini. Bergumul dengan selimut dan guling di waktu siang, dan bersiap mandi untuk kemudian lanjut bekerja saat sudah mulai petang.

Gadis itu menghirup napas dalam-dalam saat aroma lavender dari sabun cair favorit yang ia gosok-gosokkan ke telapak tangan, memenuhi indra penciumannya. Rasanya begitu segar saat air yang mengalir dari keran langsung mengguyur tubuh mungilnya.

Jangan bayangkan ada bathub, shower, atau deretan lilin aromaterapi di dalam kamar mandi. Kost-an Airi tidak semewah itu. Yang ada hanyalah sebuah bak berukuran sedang, keran air yang menempel di dinding, tepat di atas bak, juga sebuah bangku kecil.

Meski sederhana, namun cukup untuk buat Airin merasa nyaman karena tempatnya yang bersih dan cukup lega untuk sekedar dibuat selonjoran.

Cuaca yang membawa hawa dingin akhir-akhir ini membuat Airin malas sekali untuk mandi. Seperti sekarang ini, dia baru mandi setelah semalam sepulang kerja hanya membersihkan tangan, kaki, dan membasuh muka, lalu terlelap. Bangun menjelang siang dan hanya bermalas-malasan di atas kasur, sampai melupakan agenda makan siangnya.

"Segarnya...." Gumamnya sambil menggosok-gosokkan busa sabun ke seluruh tubuh.

Terlalu asik bermain dengan air, membuat Airin lupa waktu. Ia bahkan tak menyadari ketika kulitnya mulai mengeriput akibat terlalu lama direndam dalam air.

Kesadarannya mulai kembali ketika terdengar suara ketukan pintu yang cukup intens dengan gerakan cepat.

"Huh... Dasar si Nina, biasa juga lelet. Lha sekarang, malah sok sokan ngerecokin me-time ku!" gerutu Airin sembari meraih handuk.

Langkahnya pelan namun tak bisa dikatakan santai, karena saat ini Airin berjalan dengan hati gondok ingin segera mengeluarkan sumpah serapah pada seseorang yang ia yakini sembilan puluh sembilan persen, bahwa yang berdiri di balik pintu adalah teman karibnya, Nina.

"Aduh, Na! Apaan sih, ganggu orang aja!" Cerocos Airin bahkan sebelum pintu sepenuhnya terbuka. Rasa sebalnya sudah sampai puncak tak bisa ditahan lagi.

Namun di detik berikutnya, lebih tepatnya saat pintu sudah terbuka sempurna dan mata lentik miliknya menatap sosok yang berdiri di hadapan, mulut mungil itu seketika mengatup tak bergerak dengan tubuh yang seolah membeku, saat di sadari yang ada didepannya kini bukanlah Nina seperti dugaannya.

Tak berbeda jauh dengan Airin, lelaki itu juga terdiam untuk beberapa saat. Namun hanya sesaat, untuk kemudian segera ia berhasil menguasai diri.

"Jam segini baru selesai mandi? Terus sampai kafenya mau jam berapa? Lelet banget sih, jadi orang!" Omel Banyu meski dengan suara yang sedikit berbeda.

Airin gelagapan.

"Bapak, kenapa ada di sini?"

Dengan penuh percaya diri, Banyu bersedekap.

"Saya ke sini, karena... Saya mau memastikan aja, kalau karyawan-karyawanku berangkat tepat waktu."

"I-iya. Tapi, kan .... biasanya juga nggak begini?" Sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gatal, bola matanya bergerak gerak menatap ke sembarang arah, bingung.

"Udah, deh, nggak usah kebanyakan ngebantah! Mending sekarang kamu ganti baju, atau kamu sengaja yaa, berdiri lama-lama di depan saya dengan hanya memakai itu untuk menggoda saya?" tebaknya penuh percaya diri.

Airin terbelalak, untuk kemudian baru menyadari kalau dirinya hanya menggunakan kimono dengan rambut yang basah.

Detik berikutnya, buru-buru gadis itu menutup pintu. Saking terburu-buru nya hingga tak sadar telah mendorong pintu cukup keras hingga menimbulkan suara gaduh. Beberapa tetangga kamar bahkan melongok ke arah pintu di mana Banyu berdiri, sekedar ingin tahu apa yang tengah terjadi. Membuat pria itu salah tingkah karena menjadi pusat perhatian.

Dalam hatinya merutuki sikap Airin, dan berjanji akan menghukum gadis itu sesampainya di kafe karena telah berhasil mempermalukannya.

Tak jauh berbeda, meski bukan karena hal yang sama, di dalam Airin pun tengah menyesali kebodohannya hari ini karena telah bertingkah sembrono. Bagaimana bisa dia berhadapan dengan bos hanya menggunakan kimono dengan potongan dada yang cukup rendah. Pantas saja kalau Banyu menuduhnya tengah menggoda.

"Mau ditaruh di mana mukaku ini ya Tuhan!" Airin meratap sambil memandang wajah nelangsanya dalam pantulan cermin.

Kalau saja tidak ingat si bos yang sedang berdiri di luar kamar menunggunya, sudah pasti Airin akan memilih untuk tidak masuk kerja hari ini. Meskipun konsekuensinya dia harus rela gaji bulan ini dipotong.

Namun lagi lagi suara ketukan pintu menginterupsi lamunannya.

Secepat kilat Airin mengganti pakaian. Menyisir sekadarnya, lalu diikat sembarangan tanpa menunggu kering lebih dulu. Jangan sampai Banyu semakin marah padanya karena terlalu lelet, padahal dari tadi dia masih sibuk menghayal, andai bisa memutar waktu. Pikirnya sebal.

"Iya, Pak. Aku udah siap!" Sambil membetulkan sepatu yang belum terpakai sempurna, buru-buru gadis itu membuka pintu.

"Pak?"

Airin melongo mendengar suara khas yang amat dikenalinya.

Lalu menyadari sepatu dekil berukuran besar yang ada di hadapannya kini jelas bukan milik Banyu.

Dengan gerakan cepat, Airin mendongak hingga oleng dan nyaris terjatuh begitu melihat siapa yang tengah berdiri di depannya.

"Eeh. Kamu kenapa sih, Rin? Salah minum obat, ya?"

Nina menatap Airin bingung.

Jangan tanya ekspresi Airin saat ini.

Setelah beberapa detik lalu mulutnya menganga, sekarang giliran matanya yang bergerak-gerak tak tentu arah.

"Heh!"

Nina menggoyang goyangkan tangannya di di depan muka Airin.

"Malah celingukan! Cari apa, sih? Ayo, kerja!" Dengan penuh pemaksaan, Nina menarik lengan Airin yang bahkan belum sadar dari rasa herannya.

Apakah tadi yang barusan dia alami itu hanyalah hayalannya saja. Apakah Banyu tidak benar-benar datang menjemputnya?

Dengan kaki yang terseok akibat terlalu cepat langkah Nina yang menarik lengannya, sementara dirinya belum mampu menyeimbangkan diri, pikiran Airin masih tertuju pada kejadian yang dialaminya beberapa menit yang lalu.

Gadis itu bahkan pasrah saja, tak menghiraukan Nina yang menghentikan angkutan, kemudian menaikinya. Dengan tetap menarik lengan Airin, tentu saja.

"Kamu kenapa sih, Rin? Kok aneh gitu? Pake panggil pak segala lagi tadi."

Sambil menikmati camilannya, Nina mulai menginterogasi Airin.

Yang ditanya hanya mengendikkan bahu.

"Aku aja masih bingung, Na. Masa' tadi pas aku lagi mandi, ada yang ketuk pintu nggak sabaran. Ya, aku pikir itu kamu, dong!"

Nina menyenggol lengan Airin tak terima.

"Yeh, maksudnya apa, nih? Emang aku nggak sabaran?" Dijejalnya snack bentuk kotak bolong-bolong dengan bungkus berwarna hijau bergambar anak lelaki dengan seekor monyet itu, hingga memenuhi mulut.

"Yaa, gitu, deh. Lagian siapa coba yang suka gangguin hidup aku kalau bukan kamu?"

"Dasar emang kamu, nih! Udah, deh! Lanjutin aja, ceritanya. Bikin penasaran tau nggak," sahut Nina khas dengan suara menggelegarnya.

Beruntung sore ini penumpang angkutan tak terlalu padat seperti biasanya, hanya diisi oleh mereka berdua dan seorang ibu-ibu yang sepertinya tidak tertarik dengan percakapan mereka.

"Pas aku buka pintu, yang aku liat itu bos Banyu!"

Saat nama itu disebut, keduanya spontan menjadi heboh.

Bagaimana tidak, bos yang dingin dan super cuek terhadap karyawannya itu tiba-tiba datang ke tempat kost-an karyawannya. Ada apa coba?

"Kok bisa? Ada apa? Kamu ngelakuin kesalahan?" Cerocos Nina tidak sabaran.

Airin menggeleng. Dan jelas bukan jawaban itu yang Nina harapkan.

"Terus kenapa dong, Na? Penasaran, nih!"

"Ya, aku juga nggak tahu, Na. Dia cuma bilang mau pastiin kalau karyawannya nggak dateng terlambat ke kafe. Terus aku tinggal masuk ke dalem buat ganti baju. Nah, giliran aku buka pintu, yang nongol malah kamu. Aneh, kan?"

"Ah, itu mah kamu cuma ngimpi doang, kali. Masak iya, ada manusia tiba-tiba hilang. Kamu ngarep banget ya, dijemput pak Banyu?" Setelahnya Nina tertawa. Tidak menanggapi dengan serius lagi pengakuan Airin yang baginya sedang bermimpi di siang bolong.

Lagi lagi Airin hanya mampu menggaruk kepala sambil melamun.

Benarkah yang di alaminya tadi hanyalah hayalannya saja?