Kencang angin berembus sore itu menerbangkan helai daun yang kering, terombang-ambing pasrah kemana tiup angin membawanya, untuk kemudian terjatuh, luruh ke tanah.
Namun ada satu, daun kering yang lebih beruntung nasibnya. Ia terjatuh di atas dasboard mobil merek kenamaan keluaran terbaru.
Meskipun tak lama, empunya mobil keluar, dan mengambil benda kecil -yang kebanyakan orang anggap- tak berharga itu. Meremas daun rapuh itu hingga remuk berkeping-keping.
"Kamu pikir aku akan diam saja, melihat kamu coba mendekati Airin? Heh, tidak akan semudah itu, Nyu. Meskipun kamu sahabatku sendiri, tapi maaf, dendamku terhadap Airin dan keluarganya jauh lebih penting dari hubungan kita."
Devan tersenyum separo. Aura dingin langsung terasa saat lelaki yang kali ini mengenakan kaos hitam itu menatap lekat Banyu meski dalam kejauhan.
Bola matanya melirik sekilas angkutan yang membawa gadis incarannya, kemudian segera beranjak. Menaiki mobil sport kesayangannya untuk segera mencegat angkutan berwarna biru muda itu.
"Aku harus bertindak cepat, sebelum Banyu berhasil menaklukkan hati Airin. Bagaimanapun juga, Airin harus jatuh dalam pelukanku." Sekali lagi Devan menyeringai.
Setelah berhasil menyalip, sengaja Devan keluar dari dalam mobil sport kesayangan, untuk turun dan menghalau laju angkutan itu.
Dari pinggir jalan raya, tangannya melambai-lambai pertanda ingin agar angkutan itu menghentikan laju kendaraannya.
"Ke kafe di pertigaan depan ya, Bang."
Suara bariton nan khas miliknya menyita perhatian Nina, yang memang memiliki daya ingat cukup kuat.
Buru-buru Nina menyikut lengan Airin yang masih khidmat memandang jalanan dari balik kaca belakang.
"Apa sih, Na?" Seru Airin merasa terganggu.
Sementara Nina, dia justru kebingungan sendiri bagaimana harus memberitahu Airin perihal kehadiran Devan.
Yang bisa ia lakukan hanyalah dengan memberitahunya dengan bahasa isyarat. Menunjuk-nunjuk Devan dengan pipi yang menggembung karena lidah.
Dalam hatinya berdo'a semoga sahabatnya itu peka, dan segera menangkap kode yang ia kirimkan.
"Dih, iseng banget deh, Na! Apa sih pipinya digitu-gituin!" Kesal Airin kemudian merogoh saku. Berniat untuk memainkan game kesukaannya, untuk menghapus kejenuhan selama perjalanan. Daripada harus meladeni Nina yang hari ini bersikap aneh. Pikirnya.
Baru hendak mengetikkan password untuk membuka gawai, angkutan yang ia tumpangi melewati jalan yang rusak, mengakibatkan guncangan yang cukup terasa bagi para penumpang.
Tak terkecuali Airin, yang terkejut sampai gawai kesayangan terlempar hingga kolong bangku di hadapannya.
Baru saja tangan mungil itu hendak merogoh kolong, sebuah tangan dari seorang penumpang yang duduk di bangku seberang terulur ke arah yang sama, membuat kedua tangan mereka saling bersentuhan.
"Eh, maaf."
Hampir gadis itu terjatuh dalam pesona lelaki di hadapannya kalau saja ia tak ingat bahwa lelaki itulah yang telah mempermalukannya di depan pengunjung kafe kemarin.
"Rupanya kamu, si ceroboh," cibir Devan. Membuat mood Airin seketika terjun bebas.
"Kamu? Sedang apa di sini? Bukannya kamu orang kaya? Sayang kan sepatu mahalmu harus naik turun angkutan?" Sindir Airin tak kalah sinis.
Mulanya ia merasa segan pada Devan begitu mengetahui kalau ia memiliki hubungan entah kerabat atau sekedar partner dengan Banyu, bosnya.
Tapi lama-lama, jengah juga harus bersikap baik pada orang yang minim sopan santun. Masa bodoh lah kalau lelaki itu lebih tua darinya secara usia. Kalau ingin dihargai, setidaknya dia juga harus belajar menghargai orang lain. Jangan maunya cuma dihargai tapi bersikap angkuh dan masa bodo terhadap orang lain.
Yang disindir hanya tersenyum sekilas. Tak terlalu memedulikan ucapan Airin. Membuat gadis itu semakin dongkol dibuatnya.
Sementara di sampingnya, Nina hanya mampu mengelus dada. Bisa-bisanya dia kenal dan dekat dengan seseorang yang stok ke-Pede-annya jauh di atas rata-rata.
"Hape ini," Devan menggoyang-goyangkan benda persegi itu tepat di depan muka sang pemilik, "Sementara saya sita sampai kamu berhasil membelikan saya hape baru yang sama persis seperti hape saya yang sudah kamu rusakin itu."
Saat ini Airin cuma bisa menepuk jidat. Terlalu fokus mencaci Devan dalam hati, sampai lupa kalau tadi belum jadi mengambil gawainya.
"Jangan gitu, dong! Itu hape walopun murah, tapi sangat berharga. Gimana aku bisa hubungi keluarga kalo kamu sita."
Devan membuang muka.
"Bodo amat! Bisnis saya juga terancam mengalami kerugian gara-gara alat komunikasi penting milik saya kamu rusak!"
"Aku kan nggak sengaja, Pak. Tolonglah, kasihani aku, balikin hape itu." Airin sedikit merengek, berharap Devan memiliki sedikit belas asih dan segera mengembalikan gawainya.
"Udah, deh! Daripada kamu merengek-rengek nggak jelas begitu, mending kamu pikirin gimana caranya biar bisa dengan cepat ngabulin tuntutan saya. Masih untung saya cuma minta kamu buat gantiin hape, bukan kerugian yang harus aku tanggung akibat pembatalan kerjasama dengan klien, saat saya nggak bisa dihubungi gara-gara ponsel saya rusak karena K-A-M-U!"
Devan menekankan kata-katanya di kalimat terakhir dan meletakkan telunjuknya pada dahi Airin yang tertutup poni saat mengeja kata 'Kamu'.
Bibir Airin mengerucut seketika.
Seenak jidat lelaki asing itu menyentuhnya tanpa permisi.
"Bisa nggak, nggak usah toel-toel? Sok asik banget, sih!" ketus Airin.
Bukannya marah, Devan justru tertawa puas. Matanya yang sipit seakan tertutup ketika dia tertawa. Semakin manis saja tampangnya hari ini, ketimbang hari hari sebelumnya yang lebih sering menampilkan wajah arogan tak tersentuh.
Nina bahkan tak sadar kalau sudah menampilkan wajah melongo tak elegan saat menatap Devan, apalagi saat pria itu menyibakkan rambutnya yang menutupi dahi.
"Masya Allah... Surga dunia memang benar-benar ada," gumam Nina yang langsung dicubit perutnya oleh Airin.
Apa-apaan sih Nina malah memuji orang yang sudah bersikap menyebalkan sama temannya sendiri. Membuat pria itu semakin di atas awan, kan?.
Airin menggerutu panjang lebar.
Tak pedulikan Nina yang mengaduh kesakitan. Juga Devan, yang tersenyum penuh kemenangan.
"Bang, kiri, Bang!" Seru Airin tiba-tiba.
"Lho, kok di sini, Neng? Biasa juga di kafe depan, kan?"
"Nggak apa-apa, Bang, turun sini aja. Lagi pengen jalan."
"Tumben bener si Eneng."
Menuruti permintaan penumpangnya, supir angkutan itu memperlambat laju kendaraan dan berhenti tak lama setelahnya.
Meskipun sedikit bingung, tetap saja Nina menurut. Mengekor Airin yang sudah lebih dulu berjalan di depannya.
"Kok turun di sini sih, Rin? Masih jauh juga," protes Nina dengan napas pendek-pendek akibat kelelahan.
Maklum saja, tubuh yang penuh lemak itu membuat langkah kakinya kesulitan berjalan dengan cepat, sementara ia sudah tertinggal cukup jauh dengan Airin yang berjalan seperti orang kesetanan.
"Eh, pelan-pelan dong, jalannya! Kamu mau liat aku mati di jalan gara-gara kehabisan oksigen!"
Nina akhirnya menyerah! Berselonjor di trotoar dengan bersandarkan pohon bintaro yang berjajar di sepanjang pinggiran jalan.
Sebenarnya, malas sekali harus meladeni Nina. Moodnya sedang tidak bagus. Tapi, kasihan juga kalau dia harus meninggalkan Nina sendirian di pinggir jalan. Bisa-bisa nanti malah di angkut truk sampah.
Airin tersenyum sendiri dengan pikirannya. Jahat sekali dia menyamakan teman sendiri dengan sekantong sampah.
"Ayo!"
"Bantuin."
Sekuat tenaga Airin menarik tangan Nina yang terulur ke arahnya.
"Kenapa sih, harus jalan kaki, Rin? Capek tau!" Sekali lagi Nina protes. Kali ini mereka berjalan dengan ritme yang lebih pelan.
"Males. Ada orang sok asik!"
"Oh, si Surga Dunia itu."
Tuh, kan. Si Nina malah memancing emosi Airin dengan menyebut pria menyebalkan itu dengan sebutan 'Surga Dunia'
"Dasar ganjen! Cowok nyebelin kayak begitu di sebut surga! Kalo gitu, mending aku masuk neraka sekalian dari pada harus se surga sama dia! Cih!"
"Hush! Nggak boleh ngomong gitu! Ucapan adalah do'a, Rin. Siapa yang tahu, hari ini kamu benci setengah mati, besok kamu bisa jatuh cinta sejatuh-jatuhnya! Ingat, ada Tuhan yang Maha Membolak-balikkan hati!"
"Sok religius, lu!"
Airin menoyor kepala Nina pelan.
"Dih! Emang bener begitu, kok! Makanya, sekali kali nonton itu pengajian, jangan drama korea mulu!"
"Eleh... Baru sekali ikut pengajian aja, lagaknya udah kayak Ustadzah!"
"Yee... Mending lah, walopun baru sekali, seenggaknya aku pernah ikut kajian. Dari pada kamu, emang pernah?"
Airin termenung.
Nina benar. Semenjak di perantauan dia jadi jarang sekali mengingat Tuhan. Jangankan mengaji, sholat saja dia jadi lebih banyak bolongnya.
Seperti ada sesuatu yang kurang, saat gadis itu menyadari telah meninggalkan kewajibannya dengan beribu alasan duniawi.
Allah, ighfirly