"Dari mana saja? Kamu lihat, sudah jam berapa ini?
Baru saja Airin melangkahkan kakinya ke dalam kafe, Banyu sudah menghadangnya di depan pintu. Menghadiahinya dengan cecaran pertanyaan dengan raut muka yang sangat tidak bersahabat. Lelaki itu bahkan tak segan menegur Airin di depan para tamu. Benar benar bukan sifat Banyu yang seperti biasanya.
Gadis itu meneguk saliva pelan. Tidak tahu harus menjawab apa. Ini memang kesalahannya.
Hanya karena Banyu sudah mengizinkannya bertemu dengan Devan, lantas ia jadi lupa waktu bahkan sampai tertidur di rumah Devan.
Airin melirik jam yang bertengger di pergelangan tangan. Sudah hampir tiga jam dia bolos dari kerjaan.
"Maaf, Pak. Saya salah. Bapak boleh menghukum saya semau bapak, atau kalau perlu bapak bisa potong gaji saya bulan ini. Karena ini memang sepenuhnya salah saya."
Airin menundukkan kepala.
Tapi, bukan itu yang sebenarnya Banyu inginkan. Mengapa di depannya Airin seolah olah pasrah dan tidak mau berusaha untuk membujuk? Mengapa gadis itu tak mencoba memohon kepadanya agar tidak sampai memotong gajinya? Bukannya selama ini, gajinya adalah yang terpenting untuk Airin?
Kenapa gadis itu tidak berekspresi seperti saat ia memohon kepada Devan?
Perasaan tak nyaman semakin mengusik hati pria bertubuh tinggi tegap itu.
Tanpa menanggapi sepatah katapun kalimat yang diucapkan Airin, Banyu pergi meninggalkan kafe dengan kebisuannya.
Airin menggaruk kepala yang tak gatal. Bukannya lega, tapi justru merasa sangat bersalah terhadap atasannya. Jujur saja, dimarahi bagi Airin lebih baik dari pada di diami.
"Woy! Kemana aja, sih?" Nina menepuk pundak Airin cukup keras, begitu ia sampai di pantry. Membuat Airin yang masih belum kembali fokusnya, terlonjak kaget.
"Astaga, Nina! Bisa nggak jangan bikin orang jantungan! Biaya operasi mahal! Sanggup bayarin?" omel Airin.
"Dih, yang baru pulang jalan jalan, sensi amat. Abis ditegur bos, ya?" ledek Nina sambil menoel dagu Airin.
"Jalan-jalan apanya? Yang ada aku habis dijadiin babu sama Devan!"
Airin tidak berbohong. Selepas memasak, Devan memang meminta atau lebih tepatnya menyuruh tanpa tapi pada Airin agar gadis itu merapikan kamar pribadinya.
Kamar yang luas, bahkan bisa dikatakan lebih luas dari rumahnya yang berada di kampung. Dengan banyak barang-barang, termasuk koleksi buku yang memenuhi dua rak besar di sisi kiri kamar, berdekatan dengan jendela besar yang cukup nyaman untuk bersantai menikmati suasana asri dari taman belakang, dengan sebuah buku di genggaman.
Gadis itu memang tidak mengerjakan banyak hal, karena pada dasarnya kamar Devan sudah terbilang cukup rapi untuk ukuran seorang lelaki. Yang membuat Airin kelelahan hingga akhirnya tak sengaja tertidur pulas pada sofa dalam kamar Devan adalah, karena ia terlalu sibuk memerhatikan tiap-tiap judul buku yang telah dikelompokkan oleh empunya kamar, menurut genre, bahasa dan penulisnya.
"Kamu tau, ngga, sejak kamu pergi tadi, pak Banyu itu uring uringan terus!"
"Masa, sih?"
"Iya, Rin. Mukanya itu loh, lebih asem dari sayur asem sisa semalem!" Seru Nina ekspresif dengan membulatkan mata.
"Semarah itu, ya pak Banyu sama aku?" Airin memelas. Wajahnya nampak lesu, mengingat sang atasan yang tak segan menegurnya di depan banyak pengunjung tadi.
"Kalo menurut aku sih, bukan karena marah."
"Terus?"
"Kayaknya pak Banyu cemburu, deh. Fix dia cemburu kamu deket deket sama Devan."
Airin mengibaskan tangan.
"Mana mungkin, orang setampan, semapan pak Banyu bisa suka sama remahan rengginang kayak aku. Jangan samain dunia nyata sama sinetron ftv!"
"Dih, nggak percaya! Biar gendut gini, mantanku banyak, berderet. Bisa dibilang aku ini pakar percintaan. Aku tahu kapan cowok itu cemburu, atau cuma marah biasa."
Nina berbangga diri.
Sambil memajukan bibir, Airin berkata, "Percaya, deh, sama pakar percintaan!"
"Ni orang dibilangin nggak percayaan!"
"Udah, yuk. Nanti pak Banyu liat kita ngerumpi malah tambah marah lagi," Seru Airin segera beranjak. Tak menghiraukan Nina di belakangnya yang masih bersikeras dengan pendapatnya.
*
Hujan turun cukup deras menjelang petang. Kafe penuh dengan para pengunjung yang asyik menikmati secangkir kopi sambil menatap rintik hujan, atau mereka yang sekedar berteduh menghindari serangan dari langit.
Berbeda dengan suasana kafe, di dalam ruangannya Banyu justru merasa sepi. Ada sesuatu yang aneh dalam dirinya, entah dia harus menamai apa.
Tempias air hujan mengenai jendela kaca. Menimbulkan gradasi indah perpaduan titik air dengan embun diantaranya.
"Kenapa rasanya aneh." Banyu memegangi dadanya sendiri.
Belum pernah ia rasakan sebelumnya. Perasaan asing yang membuat hatinya tak nyaman.
Rasanya amarah membuncah hingga ke ubun-ubun setiap kali mengingat Airin yang lebih menuruti kemauan Devan ketimbang dirinya.
Banyu menyandarkan kepalanya pada meja, dialasi kedua tangan sebagai tumpuan. Matanya sendu menatap rinai hujan.
"Apa ini yang namanya cemburu?"
Lamunannya terjeda oleh ketukan ringan dari balik pintu.
"Masuk," Banyu mempersilakan.
"Maaf, pak. Saya ganggu. Nina bilang, dari siang bapak belum makan apa-apa. Ini saya buatkan sup daging untuk bapak."
"Saya nggak lapar."
"Tapi, pak. Perut bapak masih kosong, apalagi cuaca dingin begini. Nanti bapak bisa masuk angin kalau nggak segera diisi."
Banyu memegangi perut.
Memang sejak tadi perutnya terasa lapar. Tapi gengsi juga kalau harus menerima makanan dari Airin. Dia kan sedang marah.
"Pak Banyu masih marah sama saya? Saya harus apa biar bapak maafin saya, pak?"
Nah. Pucuk dicinta ulam tiba.
Mati matian Banyu menahan agar jangan sampai kelepasan senyum di depan Airin.
Dia harus tetap terlihat arogan biar Airin mau menuruti keinginannya.
"Oke, saya mau maafin kamu dan makan sup yang kamu bawa itu."
Wajah Airin sudah sumringah mendengar jawaban Banyu, namun segera memudar begitu atasannya melanjutkan kalimat.
"Tapi..."
"Ada tapinya?"
"Tapi kamu harus duduk di sini nemenin saya, dan makan bareng saya."
"Tapi, pak. Saya harus kerja."
"Yaa, itu terserah kamu. Kalau kamu pilih keluar, silahkan. Sekalian bawa makanan itu dan jangan harap saya mau keluar untuk makan sampai nanti malam."
Airin menggaruk tengkuk yang tak gatal.
Kesal sekali, kenapa harus di kelilingi orang orang aneh macam Banyu dan Devan.
Mereka yang lapar kenapa harus dia yang repot?
Rasanya ingin sekali mengumpat, kalau saja gadis itu tak ingat kalau yang sedang duduk di depannya kini adalah bossnya, sumber penghasilannya.
"Baiklah, pak. Saya akan duduk di sini nemenin bapak sampai bapak menghabiskan makanannya."
Meski dengan perasaan tak nyaman, akhirnya Airin duduk juga berhadapan dengan Banyu yang tersenyum penuh kemenangan sambil menyeruput nikmat rasa sup daging buatan Airin yang sedari tadi sudah sangat ingin ia santap.